Jumat, 28 September 2012

Finally.....I'm Home...



Finally, i'm home.....hahha karena deadline yang mendesak dan sakit demam yang tak kunjung turun, aku memutuskan pulang ke surga. Surga buatan Ayah. Rumah tengah sawah dengan suara gemericik air di kolam tengah. Rencanaku simpel, pulang ke rumahtempat di mana selalu ada makananbekerja di bekas kamarku yang sejuk, selesai, lalu pulang ke kota. Tapi ternyata aku belum menulis apapun sampai detik ini. Wahahaha, aku malah bernostalgia tentang sejarah rumah ini.

Tahun 2006 lalu, saat aku sedang menganggur karena ‘apes’ diterima di UGM lewat jalur Ujian Masuk yang berarti cukup lama menunggu untuk mulai masuk kuliah karena yang lain masih harus UMPTNdatanglah bencana itu. Gempa bumi. Yap, saat itu kami sekeluarga masih menempati rumah jelek di pinggir jalan solo dekat Hotel Jayakarta. Pagi buta itu kami sangat panik. Terutama karena Ayah sedang berada di Jakarta. Pemukiman padat penduduk dan tembok retak serta rumah tetangga yang ambruk rata dengan tanah jelas membuat kami trauma. Aku ingat, waktu kami panik dengan isu tsunami, aku, ibuku, dan tiga adekku bergegas pergi membawa map dokumen berharga, laptop dan melaju dengan dua motor. Ikut arus. Sementara mobil kami tinggal begitu saja di garasi, komputer, dan barang elektronik lainnya kami tinggalkan. Beruntung, tak hilang dijarah.

Sekembalinya Ayah dari Jakarta, Beliau dan kami sekeluarga langsung sibuk dengan agenda masing-masing. Ayah sibuk mendistribusi bantuan dan mengurus rekonstruksi masjid yang hancur di pedalaman Bantul. Aku melihat tumpukan dokumen Muslim Helfen Germany dan beberapa NGO lainnya. Sementara Si Nomor 2 menjadi relawan di sekolahnya. Si nomor 3 dan Si Nomor 4 yang masih kecil ikut membungkus makanan di Dapur Umum setiap hari. Aku yang berlabel pengangguran akhirnya ikut Ayah blusukan ke Bantul. Bagian dokumentasi tentu saja.

Baru setelah tanggung jawab Ayah selesai, beliau mulai memandang penting ke arah retakan tembok di rumah jelek kami. Retak yang cukup mengerikan. Lalu dengan penuh kerelaan, Ayah mulai mendesain sebuah rumah. Rumah agak besar, di tengah sawah. Yup, sebenarnya Ayah sudah membeli tanah di pedalaman Kalasan. Tanah itu dibiarkan kosong bertahun-tahun lantaran Ayah terlalu sibuk untuk mengurus pembangunan rumah. Wihihiihii...Anak-anaknya diberi hak untuk mendesain sendiri tempat tidurnya. Ayah cuma menyediakan kayu jati glondongan. Haseek.....aku mendesain dua tempat tidur dan menawarkan salah satunya pada adikku. 
Namanya Gledek. Insipirasi gledek simbah. Fungsi gledek biasanya untuk menyimpan padi, sedangkan di atas digunakan untuk tidur. Emm...sejak adekku yg nomor 2 kerja di jakarta, Gledek ini ngaggur. Dulunya, dia suka ngumpet tidur di kolong bawah. Alasanny? simple, biar nggak dicari disuruh bersih-bersih rumah.

Ayah membuat desain rumah yang aneh. Aneh karena nggak jelas mengadopsi gaya apa. Sepintas lalu, rumah kami terlihat seperti rumah tradisional. Ayah mengaplikasikan dinding bata dengan dua tiang besar penyangga di teras. Ayah memilih pintu kayu dengan ukiran minimalis sebagai pintu utama. Lucu adalah ketika Ayah benar-benar bisa meluangkan waktunya untuk berburu batu kali berwarna putih kecoklatan sampai ke luar kota. Batu-batu kecil seukuran satu kepalan anak usia tiga tahun itu beliau gunakan untuk melapisi tembok. Bisa bayangkan bagaimana pak tukang kami adalah seorang yang sangat sabar dan telaten? Menempel batu-batu kali satu persatu di tembok besar setinggi hampir lima meter? Makasih Mas Santo, mandor sekaligus tukang kami yang baik hati merealisasikan mimpi Ayahku. ^^
dinding putih yang dibuat dari batu kali kecil-kecil...


Selain berburu batu kali sampai Kebumen, Ayah juga berburu bongkaran gedung lawas peninggalan belanda. Akhirnya Ayah berhasil memboyong beberapa jendela super besar dengan ukuran 2x3 meter dari bongkaran kantor PLN. Beliau memasangnya di setiap kamar anak-anak yang menghadap ke taman depan. Dan demi keselamatan, beliau memasang teralis. Ah, ya, mungkin agar anak-anak berhenti berpikiran untuk keluar-masuk kamar melalui jendela yang lebih tepat dibilang semi-pintu itu. 
ini wujud jendela semi-pintu bekas Bangunan Belanda


Ayah membangun dua kolam. Yang pertama, di bawah teras depan. Beliau mengisinya dengan ikan bawal karena banyak sekali anak kecil yang berkunjung ke rumah berniat memancing ikan-ikan koi cantik peliharaan Ayah. Dan terpilihlah si bawal untuk jadi korban mainan anak-anak. Koi peliharaan Ayah ditaruh di kolam tengah, bersanding dengan dua kura-kura tua yang kami pelihara sejak masih bayi sampai sekarang sebesar dua telapak tangan orang dewasa. Ralat, dulu kami pelihara dua, tapi yang satu jalan-jalan entah kemana. Menghilang begitu saja. Akhirnya Ibuku membeli satu lagi kura-kura besar untuk teman. Namanya? Ah aku lupa, bukan aku yang kasih nama. Hehehe....Ibuku hampir berhasil membuatku percaya kalau si kura-kura yang hilang itu kembali ke rumah. 
si kura-kura.....yang lagi berjemur itu namanya "Kura" yang paling lama *barusan tanya adekku...
 
Sejak aku memutuskan pergi dari rumah, memang ada beberapa yang terlewat. Misalnya koleksi sepeda kuno yang diboyong Ayah dari rumah Eyang ini. Juga satu set meja-kursi kayu tempat minum teh milik simbah yang digotong pindah ke teras depan. Semua item itu benar-benar tampak jadul. Beruntung sih Ayah batal membeli gerbang bekas keraton yang gedhe-nya naudzubillah. Ratusan juta untuk sebuah gerbang? Aku yang akan marah -_-a

Berikut beberapa komentar yang masuk ke kupingku:

“Rumahmu kayak rumah dukun. Pake payung segala sih di depan kamar adekmu.”

“Ayahmu tinggi besar ya?” | “Ha? Enggak. Beliau hitam dan pendek.” | “Rumahmu tinggi banget. Kupikir Ayahmu kayak gitu.” | -_-a

“Rumahmu tingkat dua lantai?” | “Nggak kok. Itu langit-langitnya emang dibuat tinggi.”

“Rumahmu klasik deh. Tembok bata. Aku suka.”
bagian depan rumah....bunga apa itu? Gak tau :D


“Rumahmu kelihatan asri banyak tanaman gitu.” | “Kemasukan ular sawah juga.”

bougenville di bawah jendela kamarku

Suatu ketika rumahku didatangi wartawan media lokal dan aku ngakak-ngakak membaca artikelnya. Ayahku mencoba membahasakan membangun rumah dari barang bekas. Rumahku masuk koran karena unik. Aku jadi kepikiran, jangan-jangan ‘penghuni tambahan’ di kamar baju di pojokan rumah itu bawaan dari ‘barang bekas’ bangunan Belanda yang Ayah beli. Ngiiiik.....aku sudah terlalu banyak bercerita....waktunya kembali bekerja. See yaa......

Dedicated for myBeloved Dad. Thx untuk suara gemericik airnya yang membuatku tambah malas untuk bangun tidur :p

Kamis, 20 September 2012

Selalu Ada Hikmah di Balik Peristiwa: Resign



Beberapa hari ini sarapan di RSU Sardjito (Rumah Sakit Umum terbesar di Yogyakarta) menjadi rutinitas dan berkeliaran dari satu poli ke poli yang lain menjadi aktivitasku. Alhmdulillah, ayahku, ibuku, adek-adekku, pacarku, pakdheku, budheku, omku, tanteku, dan eyang-eyangku dalam keadaan sehat walafiat. Trus? Aku bukan dokter bukan perawat bukan, tapi ‘Kurir Pendamping’. Lucu ya istilahnya?

Semua berawal ketika banyak orang berbahagia mendengarku resign dari kantor lawas. Serius, ibuku menelpon menyuruhku pulang karena beliau membuat syukuran ‘kemerdekaan’ 16 Agustus 2012 sementara Ayah tak hentinya berceramah tentang bagaimana membangun bisnis sendiri, memayungi orang-orang atau minimal jika terpaksa bekerja di orang, mengabdilah pada orang yang pantas. Aku tersenyum manis seharian. Ya, aku nggak akan bisa memahami seberapa pantas seseorang menjadi leader sebelum melewati leader yang tidak baik, kan? Biar bagaimana pun, aku berterima kasih pada pelajaran yang lalu.

Di luar keriuhan rumah tengah sawahku yang penuh dengan ponakan-ponakan berlarian dan pakdhe-budhe berdiskusi soal Jokowi-Ahok dan isu rasial mereka, seorang sahabat baru menanyakan alamat rumahku. Katanya, dia akan memberiku hadiah sebuah buku. Sahabat baruku ini namanya Mbak Eva, seorang perempuan tangguh yang suka mondar-mandir jogja-magelang. Kami bertemu di sebuah acara seminar sederhana yang diselenggarakan @AkberJogja. Dia seorang womanpreneur tangguh, mengelola bimbel di magelang. Awalnya, kukira dia womanpreneur baru, tapi ternyata bimbelnya sudah menyebar di penjuru kota dan akhir tahun ini akan berangkat umroh. Tentu, dari hasil usahanya sendiri. Mbak Eva masih suka wira-wiri naik motor, salah satu alasannya adalah agar bisa melihat sekeliling dengan lebih jelas. Penampilannya sederhana, nggak mewah, dan aku langsung jatuh respect padanya. Benar kata Opta (teman enterpreneur pemula) : BOS itu punya sikap bossy, tapi nggak semua BOS bisa jadi leader. BOS dan leader itu dua hal yang BERBEDA.

Mendapat hadiah dari orang yang kukagumi, tentu membuatku sangat senang. So, ketika buku itu ada di tanganku, kulahap habis bis dalam sehari. Buku terbitan Mizan, sangat ringan karena dibuat dengan paperbook (atau bookpaper?), bahasanya? Juga sangat ringan dan mudah dipahami otak kecil sepertiku. Penulisnya @saptuari, leadernya Kedai Digital, Mas Kingkong, Joggiest, dan apalagi ya. Aku lupa :D

ini wujud cover bukunya :D


Setelah di-mention Mbak Eva, cc @saptuari, aku langsung follow Mas berbadan besar dan berwajah konyol itu. Dan mulailah aku berkenalan dengan yang namanya @Srbergerak. Sebuah komunitas sedekah jalanan yang digagas @saptuari dkk. Pertama melihat wujud mereka ketika aku menghadiri syawalan pengusaha di RICH Hotel. Rombongan cowok-cowok berkaus hitam dan celana tanggung selutut datang terlambat dan duduk di pinggir aula. Mencolok, sangat mencolok. Bahkan ya, ketika banyak orang menghampiri Ustadz Yusuf Mansyur, yang terjadi adalah kebalikannya, Ust Yusuf Mansyur yang datang menghampiri dan menyalami mereka. Wahahahhaa, gokil!

Proyekku sudah hampir selesai, uang makan untuk dua bulan ke depan nggak lagi kukhawatirkan. Niatku berlibur ke Bali kubatalkan. Aku mau kenal mereka dulu. Segera. Aku masuk ke komunitas SedekahRombongan, dibawa ke salah satu Rumah Singgah #RSSR di kawasan Blok-O dan bertemu banyak pasien. Aku masuk sebagai ‘Kurir Pendamping’ yang bertugas mendampingi pasien mengurus administrasi Rumah Sakit. Bukan rahasia lagi kalau pasien Jamkesmas, Jamsostek, Askin, dan semacamnya mendapat pelayanan diskriminatif dari pihak Rumah Sakit. Separah apapun penyakit si pasien, kalau belum ada uang, belum akan diproses. Kalaupun akhirnya benar-benar gratis, si pasien akan disuruh mengurus administrasi super ribet yang bisa memakan waktu seharian. Aku yang sarjana saja bisa kebingungan (salahkan aku, bukan  gelar sarjananya) apalagi orang-orang kampung yang hanya terbiasa menggarap sawah atau buruh yang bahkan tak sampai SMA. 

Hari pertama bertugas, aku membawa pasien yang kami daftarkan lewat jalur ‘umum’. Jelas sekali, agar segera ditangani dan memperpendek penderitaan pasien. Pasien pertamaku Bu Ooh, dari Kuningan Jawa Barat. Payudaranya tinggal satu, kankernya sudah diangkat. Aku hanya perlu mengantarnya kontrol dan membeli obat. Satu pasien lagi namanya Pak Zamah. Tumor mata membesar dan bernanah. Bu Ooh memperlihatkan sebelah dadanya yang rata dan gosong akibat penyinaran. Sedangkan Pak Zamah, banyak diam. Aku mengajaknya berkenalan, berkata jujur bahwa aku tak bisa bahasa jawa kromo. Beliau maklum. Kami mengobrol tak lama, karena aku canggung sendiri. Gumpalan daging di mata kiri beliau berbau busuk, membuatku mual. Aku menahan tangis.

Pak Zamah waktu diganti perban


Hari itu, aku mengeluarkan uang senilai setengah gajiku di kantor lawas dengan perasaan ringan tanpa beban. Jelaslah tanpa beban, karena kalau aku menghabiskan hari-hariku di kantor lawas, aku tak akan punya waktu dan uang banyak untuk membantu orang-orang seperti pasien ini. Aku masih setengah yakin soal balasan langsung Tuhan yang Maha Kaya itu. Tapi aku tetap tenang karena rekeningku masih dalam batas aman. Sebagai seorang perfectsionis, aku memastikan batas aman tabungan selama ‘menganggur’ alias off dari proyek. 

Setelah selesai bertugas, aku pulang dengan Pausku sayang. Sepanjang perjalanan, aku menangis. Jalan hidup ini sedemikian indah. Aku sehat, rejeki berlimpah, dan kalau kuhabiskan untuk diriku sendiri, sepertinya akan membuatku jadi orang paling tak berguna di dunia. Aku menangis dan tambah menangis lagi ketika beberapa hari berikutnya seorang kawan menawariku proyek baru dengan nominal cukup besar. Berurutan dengan tawaran kawan-kawan lain yang memberi bantuan gratis mulai dari domain, hosting web, layanan design, percetakan, dan banyak lagi. Ternyata benar, hidup memang tentang bagaimana kita berguna untuk orang lain dan Tuhan itu Maha Kaya :’)




               


Jumat, 24 Agustus 2012

Ketika Perempuan Memilih

Selamat lebaran semuanya! Euforia lebaran sudah mulai menipis ya, tapi tulisanku ini terinspirasi dari dialog singkat pasca lebaran. Yah, kalian tahu tradisi mudik? tradisi dimana banyak saudara berdatangan dan naas, untuk gadis usia nyaris 24 tahun dan sudah bekerja seperti aku, pertanyaan "Kapan menikah?" atau "Mana calonmu?" dan "Nunggu apalagi?" adalah rentetan pertanyaan yg kuterima setiap habis sungkem.

Nice!
Akhirnya sampailah ke perdebatan itu panjang tanpa ujung itu. Ibuku, sambil tertawa-tawa bertanya
"Kamu milih yang udah jadi atau masih proses?"

So, dengan tegas kujawab, "Yang masih proses." Jawaban khas anak muda yang gemar sekali mengambil resiko. Begitulah aku. Ibuku memang hebat belum juga putus asa. Setelah dulu merayuku dengan calon master di korea, tahun ini beliau (duet dengan Ayah) merayuku dengan dokter muda yang sedang mengambil studi spesialis. Oh oke, secara finansial terbilang sangat aman. Rumah, mobil, tersedia. Soal agama? Kalau ayahku sudah turun rekomendasi, artinya beliau paham benar siapa pria itu. Orangtua mana yang ingin lihat anaknya susah? Tapi mungkin mereka lupa, kalau anaknya ini lebih suka berpetualang dan nggak nyaman kalau harus jadi ratu di rumah.

Logikaku seperti ini: Ketika memilih seseorang untuk berproses bersama, tentunya akan mengalami banyak hal sama-sama. Susah, senang, bareng. Asumsinya, akan timbul rasa saling menghargai satu sama lain. Idealnya seperti itu. Tumbuh empati dalam kebersamaan. Apalagi kalau memang memperjuangkan sesuatu dari awal bersama-sama. Oke, soal jodoh memang Tuhan yang atur, tapi manusia juga punya kewajiban berikhtiar. Yang penting berusaha, sisanya pasrahkan sama Tuhan.

Aku kerap dibilang sinting oleh sesama teman perempuan karena logikaku ini. Dikasih yang enak malah pilih yang susah. Kalau Ayahku bilang, aku sedang jatuh cinta jadi tai kucing pun berasa coklat. Wey.....ini soal rasa, kan? Kalau dengan cinta, tai kucing berasa coklat, itu lebih baik daripada coklat rasa tai kucing, kan? *tolong gak usah dibayangkan.

tunggu sebentar....aku lapar. Nanti aku lanjutkan lagi.... 
 


Jumat, 17 Agustus 2012

Undefined

Ada masanya,
mendadak dadaku sesak dan gelisah tak bisa pejamkan mata
kalau tak mengingat ancamanmu,
aku akan memutar kunci dan menghempas menghabiskan malam
di pinggiran jembatan, seperti dulu
meredam gelisah dalam dingin dan kota yang sepi
menunggu pagi, lalu kembali ke peraduan

tapi karena aku mencintaimu,
aku memilih memeluk guling dalam selimut
berperang dengan nada-nada busuk yang bermain dalam pikiranku
sambil sesekali menghapus rembesan air mata sebelum bercampur ingus
Ahh....

maaf membuatmu bingung...
kalau kau tanya aku kenapa,
aku jawab entah...

aku cuma ingin bertemu,
memelukmu lalu menepuk-nepuk rambut tebalmu itu...

Aku merasa sedih tanpa alasan...
Apa justru kau yang sedang bersedih? tapi kau tak mau bilang?
Apa justru kau yang merasa sesak? tapi kau diam saja?

*mungkin cuma karena kangenku nggak kesampaian dan lapar tingkat dewa plus nyeri haid

Senin, 13 Agustus 2012

welcome back

 Welcome, Naga!! >.< udah bukan Husky lagi....Huskyku ilang.... huhuhu agak sedih sih.... kalau dulu masih keliatan jalan bareng temen sebaya atau bahkan ketahuan kalo dia brondong...sekarang aku kayak jalan sama om-om >.<

wajah sangar itu dulunya selucu ini >.< dulu ngemut kacamata, sekarang ngemut gudang garam >.<

Rabu, 08 Agustus 2012

Para Tuan Muda ini

Belum subuh,

Aku behenti sebentar dari pekerjaanku mengedit tulisan yang masuk untuk scrapbook MyMemz. Ya, berhenti sebentar untuk menulis ini. 

Membaca tulisan-tulisan sahabatku, aku sangat tertusuk. Yang dia tuliskan adalah kisah anak pemulung, kisah guru miskin dengan vespa tuanya, dan yahh...hal semacam itu. Sepertinya cocok untuk mengisi acara “Jika Aku Menjadi...”. Aku tersentuh? Iya. Lebih tersentuh lagi karena aku tahu si penulisnya adalah anak orang kaya yang punya pom bensin bertebaran dimana-mana. Tuan Muda. Yah....setipe sekali dengan Husky yang anak seorang pengacara dan notaris itu. 

Aku selalu suka tipe tuan muda yang sok proletar seperti mereka. Tambahan satu lagi, seorang teman baru dari Bali. Anak seorang exportir, menjadi seorang penyuluh di Kementrian Perindustrian dan usianya 22 tahun. Mereka bertiga satu tipe. Sama-sama Tuan Muda yang terlahir di keluarga kelas menengah ke atas. Yang satu, memilih menekuni biola, beraktivitas di LSM bentukan alumnus relawan merapi. Yang satunya lagi membangun LSM di bidang kewirausahaan dan berniat membangun perekonomian rakyat yang mandiri terbebas dari kapitalis asing. Dan Husky? Nggak usah kuceritakan, sudah terlalu banyak penjelasan tentang dia.

Lucu, ketika mereka ngotot tetap memakai motor butut mereka. Lucu, ketika mereka berkeras nggak mau ganti HP yang lebih canggih. Lucu, ketika melihat mereka bercakap dengan penjual angkringan atau berkumpul di tengah-tengah proletar. Ah...kalau orang nggak tahu background ketiganya, mungkin orang akan bilang biasa saja. Tapi karena aku tahu aslinya mereka tuan muda, aku menganggapnya manis. Ya, manis.

Dan semoga semakin banyak lagi orang manis bertebaran di bumi Endonesia ini. Amin.

Ps : Husky pernah bilang, ‘idealisme muncul ketika kita merasa cukup’. Oke, aku mengerti sekarang.

Senin, 06 Agustus 2012

NO FEAR

Seperti judul lagu? Iya, lagu lawas. Dinyayiin sama band The Rasmus yang booming saat aku masih ingusan dan malas mandi.

Beberapa malam yang lalu, saat santap sahur di rumah, seperti biasa, Ayah mengadakan konferensi meja makan. Adik lelakiku yang baru saja lulus kuliah dan sedang galau karier, mulai curhat. Aku, yang merasa senior ikut-ikutan curhat tentang kondisi di kantor dan konfrontasiku dengan Si Bos. Aku ungkapkan sedetail-detailnya. Oke, begini respon keluargaku.

Ibu : Mundur ke sandaran kursi dan bilang, "Kamu kok berani banget ngomong kayak begitu sm Bos?"

Ayah : senyum-senyum mesam-mesem

Si Nomor 2 : "Emang beda ya. Kalau orang nggak punya rasa takut kehilangan uang, bener-bener berani frontal."

Deg.... Aku mengkeret. Selama ini sih aku memang dikenal agak reaktif dan frontal. Bukan sekali aku menggebrak meja, membanting pintu dan berkata dengan nada tinggi. Tapi suer, aku orangnya kalem kok. Aku hanya akan emosi jika menghadapi 'Orang berpengetahuan minim tapi sok tahu' atau 'Orang yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya di perusahaan'.

Misalnya : Seorang PimRed yang nggak tahu buku-buku apa yang sedang populer di pasaran, atau seorang enterpreneur yang memaksa menerapkan sistem penjualan buku amazon.com di pasar Endonesia tercinta yang notabene minat baca masyarakatnya masih sangat rendah. Ah satu lagi, misalnya seorang manager yang membandingkan omzet perusahaan penerbitan dengan omzet pemotongan ayam!!! Halooo....aku ini bukan orang pintar, aku cuma lulusan sastra, berkecimpung di dunia bisnis pun cuma sekedar jualan genteng. Tapi, meskipun aku nggak pintar, aku masih merasa logikaku normal. 3 contoh yang kusebut di atas merepresentasikan apa? keluguan? kepolosan? atau apa?

hal-hal semacam itu kerap kali diperdebatkan dan membuatku naik darah. Aku memang agak kurang ajar. Waktu SMA, di kelas bahasa Inggris, aku berani tidur lagi setelah ditegur guru. Waktu SMA pula, buletinku dibredel pihak kepala sekolah dan aku dipanggil maju menghadap. Bukannya menunduk pasrah meminta maaf, aku justru adu argumen dengan kepala sekolah meskipun akhirnya tetap kalah. Ya iyalah, siapa sih gue?? So, aku nggak heran dan maklum kalau aku lebih banyak berdebat dengan Bos. Aku bukan tipe karyawan yang patuh langsung bilang 'oke'. Yah kadang-kadang kalimatku sinis juga sih. Takut dipecat? Dulu sih iya....tapi akhir-akhir ini aku heran sendiri, ketakutan itu mulai hilang.

Entahlah, aku merasa benar. dan kalau aku bersikap tak hormat dengan seseorang, bisa dipastikan orang itu pasti lebih dulu tak menghormatiku atau dia melakukan sesuatu yang membuatku hilang respek. 2 kali selingkuh mungkin. Nah, tipa orang seperti itu, meskipun dia presiden sekalipun, nggak akan ada rasa hormatku padanya.

Hilangnya rasa takut ini sepertinya efek doktrinasi Ayah deh. Ayah kan sering bilang, "Jangan takut sama manusia. Yang memegang nasibmu bukan bos, bukan penguasa, tapi Tuhan."

Bener banget. Tuhan kan bekerja dengan cara yang tak terduga. Tuhan kan berkuasa atas segalanya. Bisa melenyapkan harta dalam sekejap. Bisa membuat keberuntungan dalam sedetik. Asal kita yakin, Tuhan kan selalu sayang dengan hambaNya apalagi yang imut kayak aku. Amin...

last,  TIDAK ADANYA RASA TAKUT a.k.a KEBERANIAN MELAWAN (ketidakadilan) adalah salah satu nikmat Tuhan yang suangaaaat berharga dan nggak semua orang bisa menerima. Maka bersyukurlah kalian yang pemberani, hidup kalian lega dan bahagia, kan? :D

Jumat, 03 Agustus 2012

Ketika Materi bukan segalanya

Sudah beberapa hari ini aku dibuat bosan dan nyaris menggebrak meja seperti biasa. Balada seorang manager, lebih sering kena semprot bos daripada karyawan lain. Okey, menghadapi mood bos yang buruk dan sikap keras kepala serta tak mau mengalah memang konsekuensi pekerjaan. Rekan kerjaku, seorang marketing manager dengan leluasanya mencari alasan untuk keluar kantor alias melarikan diri dari amukan si bos. Aku? iseng untuk menguji kesabaran serta memperbanyak pahala di bulan puasa (apalah ini), sengaja duduk manis di kantor dan menunggu didebat si bos besar tentang strategi bisnis, analisis produk, inovasi, pasar, dsb.

Aku seorang sarjana sastra, menjadi business development manager bermodal ilmu bisnis yang kupelajari secara otodidak sejak kecil. Aku belajar negosiasi dari ayahku, yang sering membawaku pergi menemui klien untuk mendapatkan deal besar. Aku belajar menjual dari Ayahku, yang tega meninggalkan seorang anak kecil di sebuah toko genteng dan hanya diberi price list. Ketika aku menunjukkan nota pembayaran pertama yang ada tanda tanganku, Ayahku bangga dan membelikanku bakso 2 mangkok. Aku yang masih berseragam merah putih jelas terlonjak senang meskipun ternyata aku salah hitung dan membuat ayahku tak untung.

Selepas kuliah, aku memutuskan untuk bekerja di orang sambil belajar bagaimana rasanya jadi anak buah. Yah, akhirnya aku benar-benar merasakannya. Aku mengalami semuanya, hinaan, pelecehan secara verbal berupa rayuan-rayuan mesum, tekanan deadline, disudutkan ketika tak kunjung memberi konsep baru, dipersalahkan ketika program yang ada tak berjalan sebagaimana mestinya, gaji yang tak sesuai dengan volume kerja, bla..bla...dan berbagai tetek bengek lainnya. Pokoknya segala macam yang bikin emosi dan sakit hati.

Dalam suatu waktu yang sempit, aku curhat tentang semua beban batinku pada Ayah.Lalu Ayah menjelaskan sistem yang beliau terapkan di yayasan yang beliau pimpin. Kebetulan waktu itu ayahku baru saja meresmikan pabrik kue kering dan catering (dan aku nggak tahu prosesnya sama sekali! Keterlaluan! Aku baru tahu setelah nggak sengaja menemukan laporan bulanan di meja kerja Ayah. Bakery dan Catering?? wew).

Kurang lebih begini penjelasan Ayahku,
Kami menerapkan sistem bagi hasil. Selain UMR sebagai gaji pokok, laba perusahaan dibagi secara proporsional kepada semua karyawan yang terlibat. Jadi, take home pay yang diterima karyawan memang nggak sama setiap bulannya, tapi naik turun sesuai dengan laba perusahaan. Setiap raker, direksi selalu menjelaskan semuanya, secara transparan. Kembali ke niat awal Ayah dan teman-teman membangun yayasan ini, membuka pintu rejeki bagi teman-teman yang lain. Jadi pada akhirnya setiap karyawan merasa memiliki perusahaan dan dengan senang hati bekerja dengan ikhlas. Kami semua keluarga. Kalau ada anak buah yang berhasil ganti mobil, kami yang duduk di jajaran direksi justru merasa bangga. Artinya kami berhasil menyejahterakan karyawan, kan? setuju?

Aku mengangguk paham. Memang sih, loyalitas para karyawan ayahku nggak diragukan lagi. Mulai dari aku TK sampai aku sudah bekerja begini, orang-orang yang datang ke rumahku selalu sama. Dulu mereka muda, sekarang mereka sudah semakin tua, itu bedanya. Dulu mereka datang ke rumah kecilku yang jelek pakai motor, sekarang mereka datang ke rumah besarku pakai mobil. Itu bedanya.

Aku tahu, Ayahku tetap idolaku yang nomor satuuuuuuuu. dan butuh tempaan super untuk bisa jadi orang seperti ayahku. Aku setuju, aku percaya, materi bukan segalanya. Kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika bisa membuat orang lain tersenyum karena kita. Ayahku benar. Thx God.

Senin, 23 Juli 2012

Day-1

Inilah hari dimana aku hanya bisa terkapar di atas kasur, tengkurap menghadap laptop, dengan bantal di bawah perut. Wajahku? meringis jelek sekali. Bangun? aku bisa mendadak jatuh karena jalan yang terhuyung dan kepala pusing seperti mau pingsan.

Inilah hari dimana biasanya Husky bisa berhenti mendengar ocehan-ocehanku yang menyebalkan, sikapku yang 'mbingungi' alias membuat bingung dan berganti dengan rintihan-rintihan kecil.

Inilah hari dimana aku tidak makan seharian dan hanya minum air putih. Hari Pertama. Haid. Menstruasi. Sangat tidak produktif dan membuatku mencoret semua jadwal kegiatan di buku agendaku. Membatalkan janji-janji dan tidur jauh lebih lama dari biasanya. Terima kasih laptop, terima kasih modem. Terima kasih Tuhan.

Bicara soal mestruasi, yang sakitnya minta ampun ini, cowok nggak ngerasain ya? Bicara soal perempuan, soal hamil dan melahirkan, cowok nggak ngerasain sakitnya.

Seorang teman yang sudah melewati proses persalinan dengan selamat menceritakan dengan detail gimana rasnya ngidam, selalu muntah saat ada bau-bauan. Kebayang nggak tuh?? bau aroma bakso aja bisa muntah. dan muntahnya itu nggak bisa ditahan!! Bikin gak nafsu makan, padahal dia harus banyak makan untuk dedek bayi dalam perut.

Udah gitu, kalau perut membesar, tidur nggak bisa tengkurap (padahal ini pose tidur favoritku -_-). Kalaupun mau tidur miring, harus miring ke kanan. Seraaaam.....padahal aku kalau tidur bisa muter 180 derajat. Huhuhuhu....perut penuh kekenyangan aja udah males gerak, apalagi kalau misal hamil isi bayi seberat 2-3kg. Itu dibawa kemana-mana. Tambah lagi kaki bengkak kayak kaki gajah, terusss pas ngelahirinnya....astaga, emang bener-bener harus kuat. Nggak boleh teriak-teriak kayak di film-film. Kalo teriak, kecapekan, bisa MATI. whoaaaaaa....

*berhenti menulis, tarik selimut, tidur

Rabu, 18 Juli 2012

Mimpi yang Timbul Tenggelam

Beberapa hari yang lalu, ketika aku sibuk mengatur jadwal kerjaku, keplerku bergetar. Sebuah SMS masuk. Dari 'KlienXxxxx'. 

"Mbak....mau jadi talent di filmku nggak?"

Deg! banget! Aku baca ulang untuk memastikan si pengirim (sebab semua klien kantor kuberi tulisan Klien di depan namanya). Oh, mahasiswi sebuah universitas swasta di Jogja. Ngomong-ngomong soal film, itu kan cita-citaku sejak zaman batu. Pokoknya aku pengen bikin film sendiri, perkara menang nggak menang saat festival, aku gak peduli. Dengan penuh perjuangan, karena nggak punya dana banyak, aku bisa menghasilkan 2 film pendek bersama teman-teman. Nagih? pasti donk. Aku jelas kangen sekali suasana ribut saat proses pembuatan script, atau keluhan-keluhan yang terlontar saat take.

Film pendek terakhirku, kubuat tahun 2010 saat KKN. Sudah lama sekali yaaa....so, ketika band Husky, si Joker Jester ditawari bikin video klip sama anak Akindo (klo gak salah) aku langsung sangat antusias dan mengemis-ngemis sama Husky biar boleh ikut proses pra-produksi ataupun waktu produksinya. Bahkan ya, aku menawarkan sejumlah uang sebagai produser. Sayang beribu sayang, aku cuma bisa gigit jari ketika Husky menolak dengan tegas. Alasannya sih, dia nggak akan bisa bersikap profesional kalau ada aku (percaya gk?)

Setelah dibuat kecewa, aku kembali menenggelamkan diri ke pekerjaan. Melupakan mimpi kecilku itu. Cita-cita jadi seorang scriptwriter dan copywriter tertimbun kesibukan kantor yang nggak ada ujung. Yaaa...yaaa....benar-benar lupa sampai ada SMS dari klienku itu tadi. Deg! banget rasanya. Memoriku langsung balik ke beberapa tahun lalu ketika laptop jadulku banyak berisi script film pendek. Huhuhuhu...nangis darah. Apalagi ketika script si klien terkirim ke emailku, membacanya saja hatiku ngilu. Rindu! 

Tuhan baik kali ya mengingatkanku akan mimpi awalku, berkarya utk kebaikan masyarakat. Aku nggak pernah kepikiran bakal dihubungi klien untuk urusan di luar pekerjaan seperti ini. Wew....aku pikir aku belum terlalu tua untuk kembali menekuni hobiku. Aku belum tua. Tentu saja, aku masih 23 tahun. Terima Kasih Tuhanku Yang Maha Baik.

Oke, intinya, God, Trims sudah mengingatkanku akan nilai hidup yang harus aku perjuangkan. Jujur sih, aku sempat bosan dengan pekerjaanku sampai-sampai menghamburkan tabungan untuk menghibur diri. Ternyata hidup tanpa memperjuangkan sesuatu itu hampa. Hidup untuk diri sendiri dan tak berbagi itu tidak membahagiakan.


Senin, 02 Juli 2012

Why Dandelions?

Banyak yang tanya kenapa aku memilih nama Dandelion. Parahnya lagi, banyak yang nggak tahu apa itu Dandelion. Oke, come here....

Dandelion adalah bunga rumput. Bunga putih, berbatang panjang seperti alang-alang, rapuh dan jika tertiup angin, langsung berai. Tapi jangan salah, berainya cantik sekali. Di zaman sekarang, di kota-kota besar, Dandelion menjadi bunga yang sangat langka. Bunga kecil sederhana yang tidak seseksi mawar, seharum melati, atau semanis tulip ini memang nggak laku dijual alias nggak punya sisi komersil sama sekali. Biasanya tumbuh di padang rumput, pinggir lapangan, dan nggak akan dilirik orang kalau nggak berai karena angin.

Waktu kecil-pun, aku sengaja memetik Dandelion lalu kutiup keras-keras. Whateverlah, entah yang kutiup itu putik atau benang sarinya, tapi buluh-buluh putih yang berterbangan itu keren sekali dengan background langit biru. Itu dulu ketika Jogja masih sepi tak sepadat sekarang.
sumber: mbah Google yg gaul

Ketika umurku 18 tahun, patah hati lalu kenal Babi, aku yang hobi mimbik-mimbik ini disebutnya "Dandelion". Katanya, aku rapuh dan cengeng. Nggak salah sih, Babi benar. Lagipula, dulu aku kurus sekali dan ada kemungkinan diterbangkan angin besar. Hahaha.... (apa sih?)

Kembali ke konteks semula, Dandelion, di mataku, bukan sembarang bunga. Kalau bunga lain terlihat cantik saat kelopaknya utuh, Dandelion justru sebaliknya. Dia akan terlihat cantik setelah bertemu angin, berai, lalu mengangkasa di langit biru. Buluh-buluh Dandelion sangat sederhana. Warnanya pun putih, tak meriah seperti tulip, anggrek, bougenvile, atau mawar. Bentuknya? aduh, bulat sederhana seperti itu. Tak pantaslah dibuat buket bunga untuk persembahan spesial saat candlelight dinner. 

Aku suka.
that's all...

Aku suka yang seperti itu dan nggak butuh alasan untuk suka, kan?? :D

Selasa, 08 Mei 2012

Thx God...For Make Me Sick :D


Sakit gigi karena geraham bungsu tumbuh? Wew, kalau nggak kapok, bukan aku namanya. Nyaris setiap 2-3 bulan sekali (sejak 3 tahun lalu), aku pasti ijin sakit, demam tinggi, satu pipi bengkak besar dan menjadi pengkonsumsi bubur bayi selama lebih dari seminggu. Apa pasal? Seharusnya setelah sembuh, aku segera operasi gigi, tapi aku bandel dan ‘lupa’ kembali ke dokter.

Bulan ini, Mei 2012, aku menyerah dan mengaku kapok. Bukan karena aku nggak tahan sama sakitnya, tapi lebih karena si demam sangat mengganggu aktivitasku yang seabrek. Oke, karierku mulai beranjak ke jalan yang lebar dan itu berarti aku harus lebih berhati-hati. Kecepatan kerja menjadi salah satu tuntutan. Dan semuanya akan kacau balau kalau si geraham bungsu berulah tanpa peringatan.

Bulan ini, Husky mengantarku ke Dokter Gigi. Oke, aku tahu dia makhluk malam yang memilih apel sekitar pukul stengah 9 daripada sore hari. Aku bisa membuatnya keluar rumah selepas maghrib dan mengantarku ke dokter gigi meskipun dia terus menguap. Ketika aku keluar ruang periksa, kulihat dia tertidur dengan manis di sofa ruang tunggu. Bayangkan, seorang cowok bercelana jeans yg sobek besar di lutut, rambut disemir pirang kemerahan yang campuraduk dengan warna hitam rambut alami, tertidur pulas. Huuuu.... maaf :( 

Si CapCay dan Si FuyungHay
Sepulang dari periksa Gigi, kami makan chinesse food favorit di depan SMU BODA. Dia tanya, “Mau makan apa?”

Kujawab dengan menahan ngilu, “Fuyunghay, pake nasi setengah.”

“Fuyunghay aja, nggak pake nasi.”

“Tapi aku mau pake nasi. Nasinya setengah aja, “ rengekku.

“Nggak boleh. Nggak. Nggak boleh pokoknya.”

“Maunya pake nasi. Dikit aja....”

“Hayooo..nggak usah. Nanti kamu nggak habis.”

Aku merenggut ujung kausnya, “Habis kok. Bener...”

“Nanti aja kalau fuyunghay-nya masih sisa tiga potong baru boleh tambah nasi. Oke?”

Aku menyerah. Aku menurut sajalah daripada berdebat di depan Si Penjual. Dan, bisa ditebak? Ketika Fuyunghay-ku habis separuh, aku merasa sangat kenyang. Perutku penuh, dan aku cuma bisa cengar-cengir sambil mengiris makanan olahan telur itu kecil-kecil. Husky yang melihat cengiranku tertawa penuh kemenangan.

“Nah kan, bener nggak habis.”

“Hehehehe....iya. Bantuin donk. “ kataku. Husky segera memindahkan beberapa potong fuyunghay ke piringnya.

“Jadi, sebenernya kamu sakit itu karena salahmu.”

Hehe, oke seminggu sebelumnya aku memang terkapar dengan tak elit di kost karena e karena...pola diet yang tak sehat. Aku mengurangi porsi makanku menjadi seperempat bagian dari porsi makanku yang biasa. Aku berhenti makan malam. Padahal, cuaca Jogja sedang tak bersahabat dan agenda kerjaku amat sangat padat. Satu hari sebelum jatuh sakit, aku memaksakan diri beraktifiktas dari jam5 pagi sampai jam 9 malam non-stop. Dengan tidur hanya 4 jam sehari, aku merasa sanggup. Tapi ternyata....aku tepar juga. Tekanan pekerjaan membuatku terus berpikir dan sedikit stress. Asam lambungku naik, dan program dietku memperparah keadaan.

Husky mulai cerewet dengan nada galaknya, “Nggak usah pakai diet-diet segala. Gendut ya biarin. Kamu sakit itu karena kamu makan nggak teratur. Kamu jarang makan, kamu jarang makan buah. Nggak mengkonsumsi vitamin. Kamu kurang istirahat. Kamu terlalu maksa. Ngerti?!?”

“Iya...Ngerti,” Aku mengkeret. Kalau udah begini, siapapun nggak akan pernah nyangka kalau Husky itu brondongku. Mahasiswa akademi design yang baru semester 2, sedangkan aku sarjana sastra yang lulus hampir dua tahun lalu. Yah, memang kedewasaan itu benar-benar nggak bergantung usia. 

Sometimes, Husky benar-benar jadi pria dewasaku yang nomor dua. Dia yang nggak mengeluh ketika kuganggu jadwal tidur siangnya, yang selalu datang di saat aku sakit. Meskipun akhirnya dia tetap tidur siang dan aku duduk kebingungan di sampingnya.
Yang sakit sapa yang boci sapa :D

 Dia yang langsung memeluk ketika aku cemberut. Yah, meskipun dia nggak bisa memuji dengan manis. Dia nggak akan bilang, “Makan donk sayang, biar nggak sakit”. Dia akan bilang, “Makan sana!” tapi sambil tersenyum. Dia nggak pernah bilang, “Pacarku manis. Pinter deh udah dapet posisi manajerial di umur segini. Selamat ya, Sayang”. Dia justru bilang, “Nyatanya kamu bisa, kan berhasil di posisi itu dengan cara yang bersih?” (aku baru tahu belakangan kalau ternyata kalimat bernada keras ini dia maksudkan sebagai pujian).

Ternyata, sakit gigiku, juga sakit lambung membuatku bisa melihat satu sisi lain Husky yang makin mirip ayahku. Thx God, for make me sick :D




Kamis, 19 April 2012

always be your lil' girl


Semalam, sekitar pukul 7, aku masih duduk manis di meja kerjaku, menghadapi beberapa surat penawaran, berbagai social media, dan laporan penjualan. Aku belum juga selesai menyusun laporan untuk meeting all manager besok pagi. Semuanya terasa biasa saja saat tiba-tiba keplerku berkedip, dan kulihat chatbox bbm. Ayah, mengirim pesan super panjang yang sontak membuat mataku berkabut. Untung nggak ada satu orangpun di ruanganku. Jadi aku bisa leluasa menderaskan air mata. Aihh..cengeng. 

Pemicu pesan panjang yang menohok hati itu adalah, Display Picture bbm-ku sore tadi. Aku memasang Foto Husky berambut merah dengan senyum manisnya. Ayahku menjadi sangat khawatir dan mengirimkan banyak kalimat berisi wacana calon suami yang baik, kriteria pemimpin rumah tangga yang ideal dsb. Aku tahu, beliau sedang benar-benar khawatir. Waktu dulu aku memasang foto Husky berambut hitam dan berkemeja, beliau sama sekali tak keberatan. Tak ada nada protes. Tapi sekarang?

 Foto yg kupakai untuk Display Picture bbm

Aih...sepertinya aku sudah sangat jahat pada lelaki dewasa nomor 1-ku itu. Aku kan belum menikah dan masih anak gadisnya. Aku sudah membuatnya khawatir, jauh lebih khawatir daripada waktu beliau menemukan rokok di tasku saat SMP dulu.

Perdebatan via bbm semakin panjang dan memanas. Aku memutuskan untuk segera pulang ke kost dan menangis sepanjang perjalanan. Mungkin tubuhku lelah, jadi perasaanku menjadi sangat sensitif. Atau karena aku terlalu sedih tak bisa memenuhi keinginan ayahku (hari minggu lalu aku menolak dikenalkan dengan salah satu muridnya yang berprofesi sebagai dokter). Huwaaaaa....

Perang chat itu berlanjut sampai larut malam sampai akhirnya aku ketiduran dan bangun sekitar pukul tiga dini hari. Mungkin Tuhan menyuruhku menghadap-Nya, menyuruhku meminta bantuan-Nya saat itu juga, saat orang-orang terlelap tidur. Waktu yang katanya sangat manjur untuk berdoa, dan sangat dekat dengan-Nya. Whateverlah, aku terbangun karena mules di perut tak tertahankan, kebelet P*P.

Aku merenungi banyak hal. Aku ingat ketika aku patah hati karena gagal menikah beberapa tahun silam, beliau memang diam tak memelukku. Waktu aku putus dengan mantan tunanganku itu, beliau sedang berlibur ke Bali, dan ketika beliau pulang, beliau tak mendapatiku di rumah. Aku tak pulang sekitar 3 minggu. Aku tahu beliau sangat sedih, bahkan tanpa perlu bicara. Beliau sedih melihatku bersedih, sampai akhirnya Beliau membelikan Paus (beat biru mungil) untukku. 

Aku tahu Ayahku super posesif. Terlihat sekali dari caranya membesarkanku. Waktu aku SMP, aku dilarang pacaran. Bahkan Ayahku pernah menguntitku dari sekolah ke gramedia hanya untuk melihat aktivitasku (karena saat itu aku jalan berdua dengan seorang sahabat lelaki). Ayahku itu gampang sekali khawatir. Kalau lepas maghrib aku belum pulang, handphoneku tidak akan pernah berhenti berdering. Beliau akan membentak keras, dan menyuruhku segera kembali ke rumah.

Ayahku itu, sangat paranoid. Waktu aku belajar naik motor, beliau membonceng di belakang dan berteriak-teriak panik dengan nada marah jika aku mengerem mendadak atau tidak sengaja menarik gas terlalu kencang. Beliau takut aku jatuh. Hal itu berulang ketika aku belajar menyetir mobil. Beliau akhirnya berhenti mengajariku hanya karena takut melihatku terluka.

Seorang kawan beliau yang waktu itu datang berkunjung, juga budheku, menasehati Ayah, “Biarin jatuh, biarin nabrak. Kalau nggak kayak gitu nggak akan bisa.”

Ah, beliau masih saja terlalu mengkhawatirkanku. Bahkan di usiaku yang sekarang menginjak 22 tahun, beliau masih saja menganggapku gadis kecilnya. Mungkin, di mata beliau, gadis kecilnya sedang bersanding dengan preman bercelana jeans belel berlubang, rambut disemir merah menantang, gondrong, dengan rokok di bibir, dan lagu-lagu nirvana yang menghentak. Okelah, orangtua mana yang nggak khawatir melihat anaknya seperti itu?? (ini salahku karena aku berpose terlalu manis & penurut di depan beliau).

Sepertinya aku mulai mengerti.

Selesai P*P, aku mengirim pesan panjang ke ayahku. Aku tahu, beliau masih terlelap dan baru akan bangun subuh nanti. Tanpa berderai air mata dan penuh semangat aku memohon pengertian. Aku tidak lagi berusaha membela Husky sebagai pacarku, tidak lagi membela diri dan meyakinkan bahwa pilihanku adalah yang paling benar. Namun, aku memohonkan kesabaran beliau untuk menunggu proses pendewasaanku. Aku memohon pengertian beliau serta menenangkan bahwa aku sedang dalam proses memperbaiki diri agar mendapat jodoh yang baik pula.

Syukurlah, diskusi malam tadi berakhir dengan kalimat “Tapi bagaimanapun...Ayah percaya Mbak Aya akan bisa melewati dan menimbang masalah ini dg dewasa. I am proud of you.”

Legaaaaaaaa...... sekarang tugasku hanya membuktikan bahwa aku berproses menjadi lebih baik dengan Husky di sampingku. Dan semoga Husky juga demikian. Amin u.u

*terkenang pertengkaran minggu lalu (15 April 2012) ketika aku menolak pulang & masih pengen nongkrong padahal sudah lewat 12 malam, dan Huksy bilang “Aku cuma pengen kita jadi lebih baik aja...maap kalo caraku salah.” :’(