Senin, 22 Agustus 2011

Aku nemu Mantera Jawa!!


Iseng-iseng buka flashdisk Babi, aku nemuin folder betittle 'KAKANG KAWAH' dan setelah kubaca, wao...isinya mantera Jawa. Watta!! dan ternyata nih mantera bisa diaplikasikan di agama nasrani dan islam (walau beberapa bagiannya jelas-jelas ada kalimat tahlil). Mantera yang cukup fleksibel ya....sementara aku posting dulu mantera ini, untuk opininya, aku posting lain hari. #kembali ke pekerjaan.




SEDULURMU
A. SEDULUR PAPAT KELIMO PANCER 
Orang jawa tradisional percaya akan eksistensi sedulur papat/saudara empat yg selalu mendampingi seseorang dimana saja dan kapan saja selama orang itu masih hidup. Mereka memang ditugaskan oleh kekuasaan alam untuk selalu setia membantu. Mereka tidak mempunyai badan jasmani tetapi ada baiknya kamu mempunyai hubungan baik dengan mereka 
Adapun yang disebut sedulur papat adalah: 
1. KAKANG KAWAH: saudara tua kawah, dia keluar dari gua garba ibu sebelum kamu, tempatnya d timur warnanya putih 
2. ADI ARI-ARI: adik ari-ari, dia keluar dari gua garba ibu setelah kamu, tempatnya di barat warnanya kuning 
3. GETIH: darah yang keluar dari gua garba ibu sewaktu melahirkan, tempatnya di selatan warnanya merah 
4. PUSER: pusar yang dipotong sesudah kelahiranmu, tempatnya di utara warnanya hitam 
Selain sedulur papat di atas, yang lain adalah kelima pancer itulah badan jasmani kamu. Merekalah yang disebut sedulur papat kelima pancer, mereka ada karena kamu ada. Sementara orang mengatakan mereka kiblat papat lima tengah (empat jurusan yang kelima di tengah). Mereka berlima dilahirkan melalui ibu. Mereka itu adalah MAR dan MARTI, berbentuk udara. MAR adalah udara yang dihasilkan karena perjuangan ibu saat melahirkan bayi sedangkan MARTI adalah udara yang merupakan rasa ibu sesudah selamat melahirkan si jabang bayi. Secara mistis MAR dan MARTI ini warnanya putih dan kuning. Kamu bisa minta bantuan MAR dan MARTI setelah kamu melakukan tapa brata (laku spiritual yang sesungguhnya). 




B. AKTIVASI SEDULUR PAPAT KELIMO PANCER 
"Bismillahirrohmanirrohim...Kun kata Allah, fayakun kata Muhammad, robbukum kata jibril, Ya Jibril Ya Mikail Ya Isrofil Ya Izroil, Ya iku Sang Ratu Kepyok Sang Ratu Herang Putih, Ka dulur bathin Ka anak bathin kanu opat lima pancer, Ya ALLAH aku mohon diantar ke dulur bathinku ke anak bathinku, yang hidup dalam satu hari satu malam. Wahai dulur bathinku anak bathinku, bantulah aku................Berkat LA ILAHAILLALLAH MUHAMMADUR ROSULULLAH, aku tahu asal mu 204 sambungan HU ALLAH (di baca 13X atau 75X selama 7 hari berturut2) 




C. UNTUK MINTA BANTUAN SEDULUR PAPAT KELIMO PANCER 
"Kakang kawah adi ari-ari sedulur tua papat lima pancer, sing dumunung ana ing awak ingsun, jungkungana laku ingsun jabang bayine...(nama anda) bisa kasembadan apa sing ana ati lan pikiran ingsun yaiku...(sebutkan permintaan anda ex: bisa ketemu kelawan sira sedulur kabeh), kanti kalis ing sambekala padang panjang...Amien..." 
Sebelum membacanya sebaiknya baca alfatihah bagi orang muslim, bapa kami bagi nasrani atau doa doa yang lainnya, mudah2an bisa bermanfaat


Rabu, 17 Agustus 2011

Terapi Menulis


Kisah Meja Kerja-Part 2

‘Menulis dapat menurunkan Symptom Asma dan Rheumatoid Arthritis. Selain itu terapi menulis juga bisa menurunkan berat badan (untuk cewek-cewek yang ingin langsing nih), meningkatkan kualitas tidur (untuk para insomniac), melawan penyakit, dan mengurangi stres. Selain itu, menulis dapat mengatasi kebiasaan buruk, mengatasi trauma, sebagai alat transformasi diri, mengubah perilaku, membantu kinerja memori, membantu kesadaran personal,dan meningkatkan kecerdasan intrapribadi. Semua hal di atas bukan sekedar wacana tetapi merupakan hasil penelitian para ahli, mulai dari linguis, psikolog sampai dokter syaraf. Dijamin Ilmiah deh!’

Paragraf diatas adalah kutipan hasil reviewku hari ini. Yah, kalian tahu, mereview buku adalah pekerjaan yang sangat menyenangkan buatku selain mendowload dan merapikan naskah masuk dalam folder-folder. Hahahaha…mulai kacau, beberapa jam setelah makan siang adalah waktu yang membahayakan bagiku. Sebab, proses pencernaan karbohidrat dalam tubuh menurunkan tingkat kesadaranku sampai titik terendah. Persis seperti saat aku dan babi keluar dari Woareng Steak. Perut yang dipenuhi daging sapi dan kentang membuat kami malas jalan-jalan. Ampun dueh, dan aku selalu membutuhkan waktu lebih untuk mengedit tulisanku sebelum siap publish. Ya!! Salah ketik selalu terjadi di saat kesadaranku menipis.

Btw, cerita hari ini adalah tentang buku yang kureview. Aku memang—jujur—belum membacanya sampai tuntas. Tapi sejak pertama membaca kata pengantarnya, aku jatuh cinta. Dan buat kalian yang nggak hobi alias malas baca buku, baca aja notesku ini. Notes yang kubuat dalam keadaan setengah sadar.

a.       Menulis dapat mengurangi berat badan. Para peneliti dari Women’s Health Initiative menarik kesimpulan bahwa kesimpulan bahwa catatan harian tentang makanan yang dikonsumsi membantu menimbulkan kesadaran tentang konsumsi kalori maupun asupan lemak. Dan, jika Anda mengetahui seberapa banyak yang telah dilahap, akan lebih mudah menguranginya.

*Ayas Comment : Hiaiihiiahiia, the problem is ‘Gimana caranya membujuk si gendut untuk bergeser dari depan Tv, membuang semua kudapannya ke perutku dan memaksanya menulis???’

Tapi memang ada baiknya para genduters, atau cewek-cewek paranoid yang terobsesi ingin langsing (termasuk aku!!!) untuk mencoba tips ini. Paling tidak aku harus menyiapkan notes pengganti untuk menumpahkan seluruh daftar menu makan siang yang ada di kepalaku. Coret kentang goreng, burger, minuman bersoda, dan menggantinya dengan nasi, sayur kangkung, tempe, timun, kacang panjang mentah, daun kemangi, kubis, dan sambal tomat (Lho?? Jadi menu penyetan deh T.T). Jujur saja kuakui, ketika aku menulis comment ini, ada sepiring gorengan pisang dan tempe di balik layar notebook. Aku janji akan memakannya setelah tulisan ini selesai.

b.      Menulis meningkatkan kualitas tidur. Ilmuan di Temple University (Mana ya??) menemukan fakta bahwa wanita (perempuan-red) yang menuliskan pengalaman traumatisnya—seperti pemerkosaan atau kecelakaan lalu lintas yang parah—(apakah patah hati termasuk kecelakaan yang parah? ahiiihiihiii) ternyata jarang mengalami sakit kepala, susah tidur, dan gejala depresi dibandingkan mereka yang tidak mau menuliskannya.

*Ayas Comment: Oke, oke, walaupun aku pernah—bahkan sering—patah hati, tapi aku nggak mau patah hati lagi untuk sekedar mencoba apakah tips itu benar adanya. Oh ya pembaca sekalian, silakan bagi yang berminat menjadi objek penelitianku, tolong kirim mesej ke inbox Fbku berisi nama, alamat email dan nomor Hp (=.=a)

c.       Menulis bisa melawan penyakit. Berdasarkan sebuah penelitian pada tahun 2002 di ben-Gurion University, Israel (heiih, aku nggak mengakui adanya negara ini), disimpulkan bahwa mereka yang menuliskan sebuah kejadian yang menjadi beban pikiran, akan mengurangi frekuensi kunjungan mereka ke klinik pengobatan selama 15 bulan kedepan.

*Ayas comment: para pengemis dan pemulung di negaraku malah hampir tak pernah berkunjung ke klinik seumur hidupnya (Bangga!), dan mereka tidak menulis sama sekali. Aku bahkan sangsi bahwa mereka bisa membaca. Hahahahha…maaf kalau komentar ini Out Of Topic. Tapi memang beginilah negriku tercinta. Klinik, atau puskesmas, atau Rumah sakit, apapun itu nggak ada yang gratis. So, terpujilah bunda Theresa dan Butet Manurung. Paling tidak anak-anak pedalaman bisa belajar baca tulis sehingga tak perlu lagi mengemis ke klinik milik pemerintah.

d.      Menulis mengurangi stress. Sebuah studi di ChicagoMedical School menemukan bahwa ketika penderita kanker yang kurang diperhatikan keluarganya menuliskan tentang penyakit yang dideritanya selama 20 menit setiap hari, mereka jarang mengalami stress selama 6 bulan berikutnya.

*Ayas comment : apakah ini berlaku untuk para penderita Kanker (kantong Kering) stadium empat seperti aku sekarang ini? Ohohoho…sekian pertanyaanku. 


Minggu, 14 Agustus 2011

Mas Tukang Parkir, maaf ya.




Suatu sore di bulan Januari, aku bersama seorang teman-sebut saja si Kriting-menghabiskan waktu senggang dengan menonton film Sherlock Holmes di bioskop XXI. Begitu kami keluar, mendung pekat menyambut. Secara kami nggak mau kehujanan, kami berdua berlarian ke halaman parkir yang terletak di sebelah barat gedung bioskop. Helm milikku masih nangkring manis di tempat semula, tapi helm si kriting telah bergeser ke motor sebelah. Helm merah dengan stiker Emily the strange itu terbelit di spion. Spontan si Kriting melepas belitan helm miliknya dengan tampang tidak bersalah (sebenarnya memang mukanya selalu seperti itu). Lalu tak disangka-sangka, seorang tukang parkir dengan kepala bulat telur yang sedikit mirip Fauzie Baadila datang dan bertanya yang manakah motor kami. Dia ‘mengamankan’ helm merah si Kriting. Oh waw…kami disangka mencuri. Hujan mulai turun dengan deras membuat keadaan menjadi dramatis.

Kami, dengan saran si Kriting akhirnya berteduh di Plat R sambil menunggu si pemilik motor sebelah datang dan mengkonfirmasikan keberadaan si helm merah. Aku sedikit merutuk. Selama hampir dua jam kami makan ayam bakar dan secangkir coklat panas tanpa sedikitpun melepaskan pandangan dari motor kami. Ketika hujan mulai reda, si Kriting memutuskan untuk menyerahkan KTP sebagai jaminan untuk membawa helm merah itu pulang. Aku berpikir itu tindakan yang ngga bagus sama sekali karena dia akan repot bolak-balik untuk mengambil KTPnya.

Akhirnya kami menghampiri tukang parkir dengan badan yang sedikit basah. Mulanya kami meminta baik-baik, meyakinkan bahwa helm merah itu bener-bener milik kami. Kira-kira beginilah obrolan kami,

Tukang Parkir                     : “Kalau ternyata helm ini punya motor sebelah, nanti saya yang disalahin. Ntar saya yang disuruh nuker. “

Si Kriting                               : “Tapi helm itu bneran punya saya,mas. Saya udah nunggu lama banget nih.”

TP                                           : “kami nggak mau ambil resiko,mas. Ntar kami yang rugi. Banyak kehilangan kayak gini, ngaku ambil helm temennya ternyata pencuri.”

Aku                                        : “aha…kalo gitu kami aja yang klaim kehilangan helm. Beres kan,mas? Berarti kami berhak minta tuker ke mas.”

TP                                           : “Nggak bisa donk. Kan helm mbaknya nggak hilang tapi cuma pindah ke motor sebelah.”

Aku dan si Kriting             : “ Nah!!!itu masnya tahu!!!”

Tukang Parkir itu melancarkan kalimat pembelaan lagi. Bla..bla..bla….yang intinya kami nggak bisa ambil helm merah itu sebelum si empunya motor sebelah datang. Aku ngotot minta ganti rugi, toh sama aja kan kami kehilangan helm walau dengan cara yang aneh. Di tengah kericuhan itu, datanglah seorang cowok dengan wajah yang biasa aja, dengan santainya mengeluarkan motor sebelah. Aku, si Kriting memberondongnya dengan pertanyaan, “ Mas yang punya motor ini? Masnya sendirian?Tadi helmnya satu kan? Helm merah yang disana (menunjuk ke tempat pengamanan helm) bukan punya Mas, kan?”. Mas tadi menjawab dengan muka bingung. “ iya..iya..iya..”

Dengan sedikit lega, si Kriting mengambil helm merahnya sementara aku ngomel-ngomel di bawah hujan. Gila aja nunggu berjam-jam buat hal yang sepele kayak begini. Udah ujan, basah, pengen cepet nyampe kontrakan, mandi, ganti baju terus tidur. Aku masih ngomel-ngomel dengan muka jelek ketika si Kriting bilang, “uwis tho..uwis. ayo ndang bali. (udah tho udah…ayo cepet pulang)”. Lalu di perjalanan si Kriting bilang, “ ya kalo ada di posisi mas tukang parkirnya tadi, emang serba salah sih. Dia percaya helm itu punya kita tapi juga khawatir kalau seandainya bukan. Kalau dia nuker juga kan dia rugi. Wes lah..rapopo. (udahlah..gak apa-apa)

Aku berpikir dengan lambat. Iya juga sih. Tukang parkir kerjanya keras gitu, kasihan ujan-ujan. Harga helm kan mahal nggak boleh seratus ribu. Kudu nunggu ada seratus motor yang parkir dulu baru bisa dapet uang segitu. Belum lagi setoran ke Bosnya. Hemmm…Maap ya mas udh ngomel-ngomel. Maklum cewek PMS (alibiii…hhehehe)

Jadi kesimpulannya: kalo kita parkir, sebisa mungkin helm di taruh di jepitan bawah jok biar nggak jatuh dan pindah tempat.

Jumat, 12 Agustus 2011

Dini Hari di McD

Dini hari tadi, 8 september2010, sekitar pukul 3, aku dan Babi memutuskan untuk pergi sahur di McD Sudirman. Aku duduk di tenda luar menatap pemandangan jalan raya yang lenggang. Aku duduk memandangi jembatan kewek, sepertiny di sana aku pernah punya kenangan. Sepertinya aku pernah duduk di sana dengan seorang pria, dengan dua botol mixmax, bir, dan dua bungkus rokok. Di tepi jembatan kewek yang menghadap ke selatan,di sana aku punya kenangan...pun di sini, di tempat aku duduk, ada kenangan tentang ulang tahun seorang lelaki, dengan nasi ayam dan es krim...

Lamunanku buyar ketika Babi datang membawa burger, kentang dan pepsiku. Aku mulai ngemil dan bercerita tentang kenangan tempat duduk yang sedang kududuki. Kubilang, “Tau rasany sesak?? Serangan sperti ini datang tiba-tiba gak diduga. Kapanpun di manapun.”

babi : “Dikontrol donk.”

aku : “Kamu gak tahu rasanya.” [jawaban paling klise]

babi : “Apa perlu aku nyakitin kamu, bikin kamu sakit hati biar kamu bisa lupain Paijo?? Biar kamu selalu inget aku...km selalu bisa mengingat orang-orang yang nyakitin kamu.”

Aku berhenti makan kentang. Bengong....aku gak bisa membaca ekspresi Babi waktu itu. Tapi pertanyaan terakhirnya membuatku sadar, betapa manusia itu egois. Lebih tepatnya, aku egois. Aku sibuk mengeluh tentang rasa sakitku, sibuk menjelajah malam dengan alasan menghilangkan pilu, terlalu sibuk mengeluh dan mengeluh sampai gak sadar kalau teman-temanku berusaha melucu, berusaha membuatku ketawa, berusaha membawaku ke dukun, cari hipnotis, dan Babi terus-terusan melakukan apapun permintaanku.

Aku pikir, betapa manusia kerapkali menutup mata dan enggan bersyukur. Betapa sempitnya hati manusia, betapa sombongnya, sehingga melewatkan kebahagiaan begitu saja. Sombong tentu saja, karena seolah-olah manusia tahu kebahagiaan yang paling tepat, dengan seenaknya mengatakan “aku tak akan bahagia jika....” padahal Tuhan lebih tahu.

Akhirnya kami beranjak pulang, Babi mengambil motornya sementara aku membersihkan paus [motor biru kesayanganku] dengan lap. Ketika itu adzan subuh berkumandang, aku melihat seorang gelandangan merogoh tempat sampah, tempat di mana aku tadi membuang sisa makan. Begitu ngilu, seharusnya gelandangan itu lebih pantas mengeluh daripada aku yang bisa makan kentang dengan orang yang sangat menyayangiku....

bukan Madman-nya Nietzsche

Madman berkata : ketika tuhan-tuhan kita duduk melingkari cangkir-cangkir kopi....aku mengkhawatirkan kediamanmu...

aku lupa sejenak tentang perjudian tuhan-tuhan kita..

aku sibuk..menata rautmu yang tak lagi bahagia...

sementara tuhan-tuhan kita masih bercengkrama dengan cangkir-cangkir kopi. menonton dua sejoli yang dipertaruhkan atas nama iman (18.07.2010)


sayang...kau dimana? aku sangat berharap, tidak menemuimu sedang bercengkrama dengan Tuhan. Duduk berdua dengan meja bundar di tengah..aku enggan menemuimu di situ... tinggalkanlah kopi-kopi itu..biarkanlah dingin...menjauhlah sebentar dari Dia..aku hanya ingin bercakap..berdua saja..ttg cinta..tanpa Dia (20.07.2010)

ada yg menjawab : hari ini aku tidak pergi ke gereja -ini suatu sore di hari minggu-, karena kau bilang ingin berdua saja. tapi haruslah kau ingat..bahwa cinta ini dari Dia (25.07.2010)

Aku berusaha membersihkan noda kopi yg terjatuh di atas lembar-lembar wahyuMu...membersihkan sementara Kau terus menumpahkan...sampai pekat dan rasanya tak sanggup...(27.07.2010)

Suatu Senja Di Kolong Jembatan Gondolayu


23 februari 2011

Hari yang sibuk. Tapi benar-benar berhasil membuatku kembali ke netbook selain urusan kantor. Menulis sesuatu yang [mungkin] tak penting untuk kalian, kawan.

Aku pulang dari kantor, tanpa memasukkan Paus ke garasi kost, langsung menuju bantaran kali Code—selain karena astrada (asisten sutradara) berjaket hijau sudah menanti di depan kost selama puluhan menit— yeah, aku sedang mencari lokasi yang pas untuk memancing imajinasi. Tanpa mandi, tanpa cuci muka. Hanya menukar wedges dengan sandal jepit berwarna hijau. Lusuh? Jelas. Apalagi setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang membuat jemariku tak pernah menjauh setengah meter dari keyboard. Lelah? Hilang sudah.

Setelah sempat bertanya dengan beberapa orang [termasuk sepupuku yang katanya mirip Nicholas Saputra], aku berhasil menemukan Museum Romo Mangun. Sebuah bangunan bertingkat, berdinding anyaman bambu, dilukis sederhana. Terlihat manis di antara rumah-rumah sempit dan, maaf, terkesan kumuh.

Agak kecewa rasanya, karena Museum Romo Mangun tidak seindah yang ditampilkan oleh salah satu televisi nasional. Di tivi, museum itu bersih. Tidak ada sampah, jemuran, ataupun tai burung (atau tai bebek aku nggak tahu) yang memenuhi anak tangga. Buku-buku di dalam ruangan-pun berserakan. Sebagian berdebu. Ada dua unit komputer di salah satu sudut museum (wait, rasanya akan lebih tepat jika aku menyebutnya Rumah Baca ktimbang Museum) yang juga berdebu. Dua unit komputer itu berwarna hitam, jadi debu yang menempel terlihat sangat jelas dan sangat tebal.

Di sisi lain, sebuah bendera kecil tertempel di dinding. Bendera kecil itu berwarna kuning metalik, dengan tulisan Universitas Katholik Atmajaya (Kampus yang punya mahasiswa Babi paling ganteng). Ketika aku memandang keluar jendela, tampak bongkahan besi bercat hijau yang teronggok sepi di bantaran sungai. Pasir merapi membuat sungai menjadi dangkal, dan perisi seperti bibir pantai berpasir kehitaman.

“Itu yang hijau-hijau di pinggir sungai, apa ya, Mas? Seperti ayunan,” tanyaku pada penjaga Museum yang sedikit gondrong dan bau, tapi ramah dan murah senyum.

“Oh, itu kanopi, Mbak. Sumbangan dari mahasiswa KKN UGM. Tapi karena cor-coran fondasinya nggak kuat, langsung hancur waktu banjir lahar dingin,” jawab si penjaga Museum.

Aku langsung teringat bangunan Ruko yang ambruk dan jalanan yang ambles. Semua karya cipta pemerintah selalu gampang rusak karena sebagian besar dana pembangunan di korupsi para pemborong. Hadduh, problem klasik.

Aku melanjutkan perjalanan, melihat-lihat bangunan disekitar sungai. Rumah-rumah itu sempit, dan pastinya apek. Ada bebek-bebek berkeliaran. Dinding dan pintu penuh coretan. Jemuran bergelantungan dimana-mana. Sumpah sungguh, aku merasa kesulitan untuk mendiskripsikannya dalam tulisan ini.

Satu hal yang pasti, dari bawah sini aku bisa melihat jembatan Gondolayu. Silakan baca notesku ‘Dini Hari di McD’. Ada beberapa potong kenangan. Kenangan tentang sisi jembatan Gondolayu yang menghadap selatan, motor satria FU, sekaleng bir, sebotol Mix-max lemon, Djarum Black Slimz, dan sebungkus rokok yang aku lupa merknya (maafkan aku, Mantan. Sekarang aku lupa merk rokokmu) dan suasana tengah malam.

Ya, ketika itu kami bisa menikmati lalu lalang mobil mewah yang berangkat clubbing, yang dengan sangat noraknya menyetel music superkeras hingga memecah keheningan malam sampai radius sepuluh meter. Kami bisa menikmati segerombolan anak muda dengan gaya gaul, memajang motor-motor mereka yang lumayan bermerk. Kami bisa menikmati gadis-gadis muda berhot pants.Saat itu aku hanya berpikir, apa gadis-gadis itu tak kedinginan sementara aku harus mengenakan jaket berbulu, Black Slimz favorit dan Mix Max nggak cukup untuk menghangatkan badanku. Padahal, badanku nggak lebih gemuk daripada gadis-gadis itu.

Kami berdua (aku dan lelaki pecinta bir itu) bisa menikmati nyawa malam sebuah kota bernama Yogyakarta, tanpa tahu bahwa di bawah kami, keluarga-keluarga tidur dalam ruangan sempit. Berdesakan, dan mungkin kedinginan karena selimut mereka tipis dan lusuh. Kami masih bisa membeli cashbeulrgh. Sementara mereka susah payah mencari air bersih untuk minum, dimanapun, di setiap sudut rumah, yang ada hanya genangan air penuh jentik. Tahi-tahi bebek dan burung berceceran, air sungai tampak keruh, bau dan membuat badan gatal.

Aku bersyukur terlahir sebagai aku. Paling tidak, Tuhan masih membuatku mengingatNya. Terima kasih Tuhan, dan sayangi manusia-manusia di bawah jembatan gondolayu.

Kalian? Ketika kalian merasa sebagai orang paling sial sedunia, hubungi aku. Aku akan dengan senang hati mengantar kalian jalan-jalan melihat kehidupan.

Dear Marzuki Ali


“Jangan polemik di DPR itu melibatkan rakyat. Rakyat itu perlu ketenangan agar bisa bekerja untuk kehidupan sehari-hari,” 

“Kalau dibawa memikirkan bagaimana perbaikan sistem, bagaimana perbaikan organisasi, bagaimana perbaikan infrastruktur, rakyat biasa pusing pikirannya,”
(dikutip di Kompas, edisi Kamis 7 April 2011)

Kalimat bernada melecehkan itu terlontar dari mulut seorang H. Marzuki Alie SE, M.M , seorang pria kelahiran Palembang, 6 November 1955. Apa salah jika lantas saya merasa sakit hati sebab saya adalah bagian dari rakyat? Faktanya, saya memang seorang pekerja yang setiap hari berjuang untuk membeli beras dan membayar kost. Faktanya, saya nggak punya banyak waktu untuk menonton televisi dan ikut demo. Cukup beberapa lembar Koran dalam sehari, sudah cukup untuk tahu.
 
Kontroversi pembangunan gedung DPR baru memang nggak kalah heboh dengan berita pernikahan Pasha ataupun KD. Dimana-mana rakyat mencibir, berbagai kolom opini dipenuhi protes. Tulisan-tulisan pelepas penat macam tulisan saya ini-pun ada naudzubillah banyaknya. Tapi apakah para pejabat Senayan itu mendengar, melihat, dan mengacuhkannya? Jika melihat komentar Marzuki di atas, sepertinya tidak sama sekali. Bagi mereka, kita hanyalah manusia-manusia bodoh.

“Jangan polemik di DPR itu melibatkan rakyat. Rakyat itu perlu ketenangan agar bisa bekerja untuk kehidupan sehari-hari,” 

Dear Marzuki Alie, bagian mana yang Anda tidak tahu bahwa kami sama sekali tidak tenang? Sebagian dari kami masih harus berurusan dengan rentenir. Sebagian dari kami masih harus mencuri dan mencopet untuk bisa memberi makan keluarganya. Sebagian dari perempuan-perempuan kami masih harus melacur untuk mengobati orangtua mereka yang ditolak rumah sakit.

Saya bukan seorang pemerhati sosial yang bisa menyajikan data akurat mengenai berapa jumlah penduduk miskin di Indonesia, berapa jumlah pengangguran, berapa jumlah anak jalanan, dan seberapa tinggi tingkat kriminalitas di Negara ini. Tapi saya adalah bagian dari mereka. Anda terlalu tinggi terbang, hingga Anda lupa bumi yang tadinya Anda pijak. 

Dear Marzuki Alie, bagian mana yang Anda tidak tahu bahwa kami sama sekali tidak tenang? Sebagian dari kami hidup dalam ketakutan tentang ketiadaan beras esok hari. Sebagian dari anak-anak kami ketakutan dikeluarkan dari sekolah lantaran nggak mampu membayar SPP. Sebagian dari kami hidup dalam ketakutan karena tiadanya harapan untuk bisa lepas dari kemiskinan.

Bagian mana yang Anda tidak tahu??? Tidakkah Anda menonton televisi?? Jika memang pada akhirnya gedung DPR baru yang supermewah itu berhasil dibangun, saya sangat berharap ada ribuan televisi dengan layar ekstra lebar. Saya dan kawan-kawan akan dengan senang hati menyetorkan CD berisi cerita nyata rakyat jelata. Semuanya demi mengganti koleksi sinetron yang Anda tonton!! Iya kan? Selama ini Anda sekalian hanya menonton sinetron, So, kalian hanya tahu bahwa anak-anak sekolah zaman sekarang sudah hidup tenang dengan mobil ber-AC, para orangtuanya sibuk menyiapkan pesta. Itu kan yang Anda lihat??? Itu kan yang Anda lihat???

Benar, kami butuh ketenangan. Tapi bagaimana kami bisa tenang jika UMR tak kunjung naik sementara harga bahan pokok dan bahan bakar terus melambung. Bagaimana kami bisa tenang jika generasi muda kami direcoki ideology hedonis yang membuat mereka bodoh dan gampang dibodohi oleh kalian, para penguasa. Bagaimana kami bisa tenang jika perempuan-perempuan kami direcoki ideolgi feminis hingga mereka berhenti melahirkan anak-anak kami. Bagaimana kami bisa tenang jika toh kami punya anak, kami depresi melihat biaya pendidikan yang terus menerus merangkak naik. Jika kami kemudian sibuk mencari uang, meninggalkan anak-anak kami tumbuh tanpa perhatian orangtua sampai terjadi banyak kerusakan moral, kami lagi yang disalahkan. 

Benar, kami butuh ketenangan. Karena itulah kami berpartisipasi dalam pemilu. Kami pikir Anda- Anda sekalian yang bergelar tinggi mampu mewakili suara hati kami hingga lantas tercipta ketenangan. Ya, tercipta ketenangan seperti yang Anda bilang. Anda kan sudah duduk di singgasana, itu semua tanggung jawab Anda. 

“Kalau dibawa memikirkan bagaimana perbaikan sistem, bagaimana perbaikan organisasi, bagaimana perbaikan infrastruktur, rakyat biasa pusing pikirannya,”

Dear Marzuki Alie, Anda memang manusia super cerdas dan luar biasa. Kami memang manusia-manusia bodoh yang nggak paham reorganiasasi, perbaikan infrastruktur, bla..bla..bla..Kami hanya tahu bagaimana berkumpul dalam satu semangat dan satu tujuan. Kami hanya tahu bagaimana bermusyawarah dan menjalankan kesepakatan serta komitmen bersama. Kami hanya tahu bagaimana membangun sarana dan prasarana yang kokoh dan tidak mudah goyah. Kami hanya tahu lapangan, kami tak tahu bangku Pascasarjana seperti Anda, apalagi buku-buku teori.

Dear Marzuki Alie, tidakkah kalian (Anda dan kawan-kawan) yang merasa pusing? Kalian pusing bagaimana caranya menghabiskan gaji kalian. Kalian pusing memilih mobil baru untuk anak kalian. Kalian pusing memilihkan berlian dan permata untuk istri dan mungkin juga simpanan kalian. Kalian pusing memilih hotel berbintang yang cocok untuk melangsungkan pesta. Dan yang terakhir dan sangat penting, kalian pusing memikirkan bagaimana caranya agar tak kehilangan kursi dan mendapat proyek-proyek fiktif sana-sini. 

Kenapa kalian tak mau belajar pada sebagian dari kami?? Belajarlah bagaimana sebagian dari kami membagi sebutir telur menjadi delapan. Belajarlah bagaimana sebagian dari kami tertidur di emperan. Belajarlah bagaimana sebagian dari kami mencuri kue untuk sebagian lainnya. Belajarlah bagaimana sebagian dari kami bertahan hidup dalam gubuk kumuh yang terbakar berkali-kali. Belajar bagaimana sebagian dari kami harus berlari menghindari polisi dengan barang dagangan yang jatuh terburai dan terinjak. Belajarlah bagaimana sebagian dari kami tidak menangis bahkan ketika tak ada lagi sepeser uang di tangan.

Apa Anda pusing membaca tulisan saya ini??
Ps: Tulisan ini saya buat dengan perasaan melayang lantaran demam. Lagi-lagi, tingkat kesadaran saya menipis.





Biar Kere Asal Sombong

Pagi ini, saya iseng saja membuka-buka majalah politik. Bukan karena apa-apa, saya benar-benar iseng karena sejatinya saya adalah seorang manajer band yang pastinya penggemar berita infotaintmen. Saya sangat kuper terhadap perkembangan politik di indonesia. Terakhir kali saya menghafal nama mentri sekitar tigabelas tahun lalu, itupun demi memperoleh nilai 7 pada pelajaran PPKN.

Saya baru ngeh, kalau ternyata DPR punya tradisi pemberian cincin dan lencana emas yang sudah berlaku sejak dulu. Sekitar 678 anggota dewan akan memakai cincin emas murni sebagai tanda terima kasih. Sedangkan lencana emas akan menghiasi jas para anggota dewan sebagai tanda selamat datang. Alamak, saya emang tahu kalau gaji dan tunjangan anggota DPR mencapai 1 milyar per-orang tiap tahun (anggaran total keseluruhan Rp 1,3 triliun), tapi kalau tanda selamat dan terima kasih ini, wah. Saya cuma bisa bilang wah!

Semua anggota mendapatkan jatah yang sama, emas murni. Biarpun kecil mungil kalau namanya emas murni pastilah mahal harganya. Anggaran terakhir yang dikeluarkan DPR untuk si emas itu mencapai Rp 4,9 Miliar. Rp 4,9 Milyar hanya untuk aksesori berupa cincin dan lencana. Alangkah borosnya. Sekretariat DPR menganggap angaran sebesar itu merupakan pengeluaran yang wajar karena sudah menjadi “tradisi” sejak puluhan tahun silam. 

Saya pikir, nggak masalah kalau Indonesia itu negara kaya raya, nggak terlilit hutang. Pemberian cincin dan lencana itu nggak jadi masalah kalau Indonesia sudah terbebas dari gelandangan dan orang miskin. Kalau semua warganya sudah dapat rumah yang layak, pekerjaan tetap, bisa makan teratur, nggak ada lagi penggusuran. Halah!!mimpi!!! Siapapun juga tahu kalau indonesia terkenal kere. Negara dunia ketiga yang miskin tapi senang benar menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal nggak penting. Cincin dan lencana itu contohnya. Kalau komputer dan mobil masih bisa diklaim sebagai fasilitas untuk menunjang kinerja anggota DPR, cincin dan lencana kan cuma aksesoris. Ngapain juga harus pakai emas murni? Sombong betul para petinggi di Senayan sana.

Biar kere asal sombong. Kata-kata yang kerap terlontar dari mulut saya ini selalu menuai prostes dari pacar saya. Dia menuding saya seorang hedon, mentang-mentang berkecimpung di dunia entertaintmen. Tudingan ini tidak sepenuhnya salah. Memang dunia entertaintmen tidak jauh beda dengan kehidupan di Senayan. Sama-sama glamour. Dunia yang sama-sama dipenuhi ambisi untuk tampil Wah! dan Wow! Jujur saja, terjun ke dalam entertaintment, dan juga politik, sama-sama membutuhkan banyak uang. Iming-iming kesuksesan dan materi melimpah awalnya menjadi tujuan utama, namun seiring berjalannya waktu, prestige menduduki peringkat satu.

Ada yang salah dengan bangsa ini. Sebagian orang menyadari, sebagian lagi tidak. Konsep “Biar kere asal sombong” sepertinya sudah menjadi tradisi bangsa ini(saya sebenarnya hanya merekonstruksi pepatah lama yang berbunyi “Besar pasak daripada tiang”). Itulah indonesia. Modernisasi yang bergaung keras di perkotaan memberi dampak terhadap pola kehidupan dan perspektif masyarakat. Ketika TV masuk desa, secara otomatis hidup glamour perkotaan terekspose jelas. Cewek-cewek modis yang menenteng kantung belanjaan, mobil-mobil mewah, cafe, dan mall-mall menjadi tontonan sehari-hari. Sinetron memiliki tanggung jawab yang sangat besar terhadap kerusakan tatanan ideal pedesaan.

Imej gadis desa yang pemalu dan sopan terkikis habis dengan munculnya “Tumini-tumini” yang menjamur. Imej Tumini yang dinyanyikan oleh grup band Jahanam benar-benar membuat saya tertawa. Kulit wajah sawo matang dipaksa menjadi putih dengan bedak setebal beberapa centimeter, body arem-arem dipaksa tampil seksi dengan tanktop dan rok mini. Gigi mrongos lima centi dengan bibir bergincu murahan. Maunya tampil Wah! dan Wow! tapi malah jadi huweeeek. 

Rasanya miris ketika melihat anak-anak petani memaksakan diri tampil mewah. Ada yang minta motor, ada yang minta handphone Blackberry, ada yang minta gaun, sepatu cethak-cethok dan make-up biar cantik seperti mbak-mbak di TV. Terlalu memaksakan. Akhirnya mereka malah jadi makhluk jadi-jadian seperti Tumini. Biar kere, asalkan mereka bisa tampil gaul, nggak masalah. 

Obsesi untuk menjadi wah! dan wow! pada akhirnya memaksa mereka untuk menghalalkan berbagai macam cara. Yang anggota DPR berikhtiar lewat korupsi, yang seleb berikhtiar dengan perselingkuhan, tidur dengan sutradara biar dapat peran, yang anak petani ya berikhtiar dengan mencuri, mencopet dan kalo kepepet ya merampok. Bangsa ini terlalu mengerikan ternyata. Kehancuran suatu bangsa di zaman modern seperti ini bukan melalui invasi senjata dan perang, tapi karena penyakit budaya. Mental yang rusak seperti ini harus diperbaiki dengan cara apa? Sudahlah...kita bikin negara baru saja.

Ps: Tulisan ini saya buatkan untuk tugas mata kuliah seorang sahabat.

19 November 2010

19 November 2010

             Hari ini aku berangkat ke kantor setelah menguras air mata, menelan sisa sarapan berupa argument-argumen pedas dari Ayah dan berusaha mencari makanan yang lebih lezat untuk makan siang. Aku berusaha melebarkan mata sipitku yang semakin sipit karena lelah menangis. Cahaya LCD membuatku merutuk, memaksaku membuat garis mata seperti Cina. Sialan!

            Sungguh, aku semakin tak mengerti dan semakin tak ingin menikah.

            “ Ayah takut kalau kamu terbiasa bebas bekerja, kelak kamu nggak akan memiliki waktu untuk suami dan anak kamu” Oh..terlontar dari mulut seorang praktisi Parenting yang sedang naik daun.

          Dan kubilang, “ Aku BELUM berniat menikah” a.k.a “ Aku GAK MAU menikah”

        Sepanjang perjalanan tadi aku melamun, pahitnya sarapan yang kutelan masih terasa sampai sekarang. Sebuah pertengkaran konyol menurutku. Hanya karena, aku meminta izin untuk menambah jam kerjaku sampai jm 9 malam. See… dari jam 7 pagi sampai jam 9 malam. Sangat standar untuk ukuran pekerja, jangan dibandingkan dengan Ibukota. Aku memang bekerja di Yogyakarta, tapi bukan berarti aku harus bersantai sepanjang waktu menerima telpon dari karyawan dan memantau transaksi jual-beli dari rumah kan? 

            Kerja santai dan tak menghabiskan banyak waktu, itulah yang ayah ingingkan dariku. Sepertinya dia teracuni oleh teori-teori ciptaanya tentang formula keluarga bahagia. Oh my God!! Ini semua tentang suami karrier dan perempuan-perempuan modern yang masih sempat membuat sarapan untuk anak-anak. Arghhh…aku amat sangat frustasi. Wacana seperti itu memang ada di otakku tapi bukan untuk dibuka SEKARANG…tapi lima tahun lagi ketika umurku genap 27 tahun.

            “Jiwa, bukan kayu atau adonan tepung yang bisa dibentuk seketika. Ayah bukannya menyuruh kamu untuk segera menikah, tetapi masalah karakter dan gaya hidup memang harus ditata” Itu bunyi SMS yang kuterima beberapa menit setelah aku menaruh pantat di kursiku. Pening!! Untung pekerjaanku hari ini tak banyak, jadi aku bisa menyelesaikan lembar keluhanku ini dengan santai. Hahhaah..santai? sedikit, karena Bosku gak berkeliaran di sekitarku.

           Aku inget banget respon negatif dari ayah ketika aku memutuskan untuk mundur sementara dari usaha konstruksi miliknya dan beralih ke penerbitan kecil yang belum genap dua tahun. “ Lha kok malah milih jadi bawahan padahal kamu bisa jadi Bos”.

       Ayahku sayang..hhhuhuhu..betapa susahnya meyakinkanmu. Aku bukan lagi gadis kecilmu yang menangis minta dijemput dengan seragam warna-warni belepotan lumpur. Usiaku sekarang 22 tahun, dan beberapa teman seusiaku sudah menimang anak. Jadi sepantasnyalah kau menganggapku perempuan dewasa atau setidaknya dalam proses kedewasaan. Kenapa kau begitu enggan melepasku untuk pulang larut? Benar-benar cinta seorang ayah yang susah dipahami. 

            “ Kamu masih tanggung jawab Ayah sampai sebelum kamu menikah. “ 

            Oh Ayaaaaaah…benar-benar membuatku menangis. Aku benar-benar sedang tak ingin menikah dan memang belum menemukan siapa yang akan kunikahi… Ampuuun….peniiing… Apa harus mencari? Sangat menyebalkan. Amat sangat menyebalkan. Huwaaaaa ingin rasanya kembali menjadi anak SMA yang dipusingkan dengan ujian Matematika dan praktikum. Bagiku, Menikah adalah wacana paling mengerikan!! *aaa…lebay

Bdw, semalam aku pusing memikirkan, Apakah Bunda Maria Sang Perawan Suci itu menghabiskan hari-harinya untuk beribadah dan mengasuh anak tercinta??

11.41 WIB
Sebentar lagi istirahat siang, dan aku merasa kacau balau sehabis mendata fb ibu-ibu muda yg dengan semangatnya mengumbar bayi-bayi. Astaga…..sabar Aya…jangan mengamuk!!