Jumat, 30 Desember 2011

twitter berpotensi menimbulkan perang!

Berawal dari rasa suntuk membaca puluhan naskah audisi penulis yang bertema patah hati, aku membuka tweetdeck dan mulai asyik berkicau.

Ada satu tweet yang mengusikku, dan dengan segera kureweet.

@bdandelions : ini nih cewek yang cantik & cerdas @MerryRiana, idolaku :D RT@MrX : Entah kenapa drdlu sampe sekarang ga pernah suka atau cepet ilfell tuh klo liat cewek cantik tapi bodoh :)

Dan langsung direply:

Ini lg begonya ga ketulungan >.< semua org jg udh pd tau kali, klo doi udh pnya suami dan ank! RT @bdandelions

Tergelitik, kuretweet lagi:

Emang idola harus single? -,- RT @MrX: Ini lg begonya ga ketulungan >.< semua org jg udh pd tau kali, klo doi udh pnya suami dan ank!

Dia yang kebetulan jebolan dari fakultas hukum (bukan dengan jalan wisuda tapi dengan cara DO karena sering bolos kuliah) cepat tanggap:

Awalnya kita ngmgin apa ya :) cb dibaca ulang..*tepok jidat* RT @bdandelions

Rasanya pengen nyakar tembok, tapi berhubung hatiku sedang senang menyambut libur tahun baru, aku memutuskan untuk mengakhiri perdebatan konyol ini dengan satu kalimat “Lupakan aja, gak penting. Wkwkwkwk”

Kretekkk…kretekk…kretek…. (suara tembakau imajiner  yang terbakar) memenuhi otakku. Dan setengah sadar aku memposting beberapa kalimat berikut:

Ketiadaan intonasi dan pengetahuan lingusitik yang rendah menyebabkan kesalahpahaman yg berakibat fatal. Itulah sebabnya Amerika, Eropa dan Timur Tengah sangat mengapresiasi ‘Bahasa’. Sebab mereka sadar bahwa komunikasi adalah segalanya. Para pekerja media di sana memiliki prestige yang tinggi dan gaji yang diimpikan banyak orang. Bandingkan dengan pekerja media di Indonesia..eh..Endonesia pake E. Pekerja media identik dengan kerja keras dan gaji kecil. Fakultas Sastra dan Bahasa masuk ke kelas C alias fakultas yang nggak favorit sama sekali. Kalah pamor dengan jurusan informatika, ekonomi-bisnis, dan psikologi.

Berhubung aku bekerja di perusahaan media berbasis online, tiba-tiba saja aku merasa sangat beruntung. Untuk mengkonsep iklan online yang baik dan melakukan branding via Social Media (fb, twitter, blog, web, dll) memang harus cermat merangkai kalimat. Dan inilah pertama kalinya aku merasa jatuh cinta pada pekerjaanku dan merasa bangga jadi sarjana Sastra. Setidaknya rasa bahagia itu muncul ketika aku sadar bahwa pekerjaanku sejalan dengan apa yang kuusahakan selama 3,5 tahun di universitas. Ilmu yang kutempa akhirnya berguna juga! Hahahaha…

Sesuai dengan prediksi beberapa pengamat bisnis yang kubaca di majalah “Marketing”, bisnis online akan semakin mengeliat dan itu berarti akan dibutuhkan banyak Sarjana Sastra dan Bahasa. Merangkai kalimat untuk kemudian dilemparkan ke ranah publik jelas bukan perkara mudah. Bukannya berbicara tanpa dasar, tapi sebagai konsumen media, aku sendiri kerap merasa gemas jika membaca iklan di media online yang terkesan sembarangan dengan tata bahasa yang kacau, dan kerap menimbulkan kesalahan persepsi.

Kejadian kecil di twitter siang ini menciptakan atmosfer semangat untuk menutup tahun 2011. Ah, mari beresolusi ^^

Cukup sekian monolog otak saya yang abstrak. Tahun depan, saya janji akan menata potongan-potongannya agar terlihat lebih rapih.

Kamis, 22 Desember 2011

Belajar tentang Lelaki

"Aku perempuan, dan kau lelaki muda. Waktu itu, di tengah ratusan manusia, kita terhimpit. Aku merasa sanggup menerobos kerumunan, maju mendahuluimu, menggandengmu lalu membuka jalan. Merangsek maju nggak peduli harus berbenturan dengan orang-orang. Hanya beberapa langkah saja, kau menarikku ke belakang dgn agak kasar. Kau membuka jalan dan membiarkanku terlindung dibalik tegapnya badanmu. Ah.....aku ini sbenernya cewek apa cowok sih? kenapa terobsesi sekali ingin melindungimu? #Kepanasan"


Kutipan di atas adalah status FB-ku hari ini. Kalimatnya sangat berantakan, jauh dari kesan artistik, dan kumaafkan. Kumaklumi. Sebab aku menulisnya dengan kondisi setengah sadar menahan kantuk sambil mencoba berdamai dengan nyeri rahimku. Derita perempuan dewasa setiap bulan. Nyeri haid membuatku sangat tidak produktif.

Status itu terinspirasi dari kisah nyata pada 12 November 2011 kemarin. Yak, untuk pertama kalinya, aku dan Naga pergi ke event Ngayogjazz di KotaGedhe. Tahun lalu, seorang cowok mengajakku nonton acara itu, tapi dengan keterbatasan pengetahuan tentang musik jazz, aku menolak mentah-mentah. Saat itu, aku khawatir akan mengantuk dan mati bosan mendengar suara-suara terompet. Bodohnya!

Rasa ingin tahuku mulai meluap justru ketika melihat foto Naga bersama teman-temannya di event Ngayogjazz tahun 2010. Bukan karena jenis musiknya, tapi lebih karena suasananya. Ramai! Penuh! Padat! Kerumunan orang-orang berjejalan, tumplek blek! Itu yang kusuka. Itulah kenapa aku selalu suka festival dan karnaval. Sebab aku suka melihat berbagai macam orang, dari berbagai macam lapisan sosial.

Foto ini yang bikin aku mupeng. Backgroundnya ya, wkwkwkwk

Ow ow, yang kusuka jelas bukan sembarang keramaian. Aku nggak suka keramaian konser band sebab yang akan kujumpai di sana adalah ratusan orang dengan tipe yang sama. Kalau yang manggung band pop, penontonnya ababil-ababil dengan kaos distro, rambut segi, dan poni lempar. Kalau yang manggung band metal-punk, penontonnya punya dandananan yang sama. Rambut Mohawk, celana pensil super ketat dengan banyak pernik, jaket junkies, piercing. Kalau yang manggung band grunge, aku bisa melihat-lihat parade kemeja flannel gratis. Hihihihihi [aslinya aku penggemar kemeja flannel]

Berbekal rasa penasaran [selain karena memang aku jarang jalan bareng Naga yang katanya agak ganteng itu], aku dandan manis dan memakai wedges mungilku. Wedges kebanggaanku, yang sering disebut sepatu peri [ukuran kakiku cuma 36]. Wedges pilihan Babi dengan sol setebal 5 cm. Jangan tiru kebodohanku!!! Lantaran terlalu antusias, aku lupa diri. Berjalan di kerumunan manusia dengan wedges itu sama sekali nggak gampang! Aku janji, tahun depan aku akan pakai sepatu kanvas!

Benar saja, aku kerepotan dan nggak bisa mengimbangi langkah Naga yang lebar. Kami berdua berjalan dari parkiran menuju panggung hampir 1 kilometer jauhnya. Awalnya aku agak menyesal sudah memakai sepatu peri ini, tapi penyesalan itu lenyap begitu mendengar suara MC bersahut-sahutan dalam guyonan konyol berbahasa jawa. Hahaha, khas seniman. Slenge’an.

Setelah naga sibuk menelpon sana-sini, kami memutuskan untuk menghampiri teman-temannya di dekat panggung Horn di Ndalem Sopingen. Saat itu kami berada di tepi lautan manusia di depan panggung Gaog, panggung utama. Beberapa orang kawanku mengirim bbm, mengabarkan bahwa mereka ada di antara lautan manusia itu.

keramaian inilah yang akan kami tembus. Sumber: elafiq.blogdetik.com

Untuk sampai ke panggung Horn, kami harus menembus lautan manusia itu. Aku sedikit gemas melihat Naga yang masih diam dan kebingungan mencari jalan. Dengan nggak sabar, aku menarik tangannya dan nekat menerobos orang-orang. Aku tahu, aku sih sadar diri kalau aku ini kontet. Tapi aku yakin bisa, nyatanya keagresifanku membuahkan hasil. Kami berdua berhasil maju beberapa meter. Belum juga sampai tujuan, Naga menarik lenganku. Aku yang tadinya berjalan di depannya, menggandeng tangannya, kini berbalik posisi. Aku tersembunyi dibalik badannya yang tegap dan tinggi. Ganti tangannya yang menggenggam tanganku. Eh? Batinku. Apa dia nggak suka caraku membuka jalan tadi? Padahal aku membukakan jalan untuknya lho.

Insiden kecil ini terjadi dua kali. Aku berada di depan Naga, menerobos orang-orang dan Naga kembali menarikku ke belakang. Apakah ini soal harga diri? Apakah memang seorang lelaki itu gengsi kalau berada di balik perempuan? Mungkin, pikirku. Sebab Naga juga cerewet setengah mati kalau aku bilang “Kujemput aja di rumahmu”. Dia akan berteriak dan bilang, “Nggak usah! Nggak etis! Cewek kok ngejemput cowok!”. Atau lagi, kalau aku menawarkan diri menyetir paus, beat biruku itu. Aku pengen banget ngeboncengin Naga. Tapi dia selalu menyentak dan beralasan “Nggak Etis ah!”. Atau kalau aku menawarkan diri mengisi pulsa di handphone jadulnya itu. Dia selalu menolak mentah-mentah.

Hla…hla…aku bengong sendiri. Ini zaman kapan sih? Udah bukan zaman nenekku, kan?? Aku hampir saja menuduhnya kolot kalau nggak ingat komentar seorang kawan, “Naga itu orangnya gengsi tinggi.”

Oh…ini toh yang namanya harga diri lelaki?

Mendadak aku teringat komik “Married With Brondong” karya Mira Rahman & Vbi Djenggotten. novel grafis based on true story yang berkisah tentang pernikahan Bo dan Jo ini kocak banget. Jo adalah perempuan karier berumur 32 tahun, memutuskan untuk menikah dengan Bo, brondong lucu yang usianya 7 tahun lebih muda.

Ini nih novel grafis yang oke punya, recommended deh!

Kisah favoritku adalah ketika mereka berdua mempersiapkan pernikahan. Mereka saling berterus terang soal gaji. Jo, sebagai perempuan yang lebih dulu eksis di dunia karier, memiliki gaji 3 kali lipat dari Bo!! Tapi Jo sangat menghargai Bo dan mengatur keuangan rumah tangga hanya dengan uang yang diberi Bo!! So Sweet!

Pelajaran Moral:

Semandiri apapun perempuan, sekuat apapun perempuan, harus tahu diri. Harus tahu bagaimana bersikap dan mempertunjukkan sisi lemahnya pada si lelaki. Sebab, naluri lelaki memang ingin melindungi dan mengayomi. Sebab, naluri perempuan memang ingin dilindungi dan diayomi. Perempuan harus bisa menghormati lelakinya.

He….aku? kenapa aku terobsesi melindungi dan mengayomi? Nggak tahu ya :D

Rabu, 21 Desember 2011

Ke Surga Naek Sepeda


by Black Dandelions on Wednesday, November 17, 2010 at 4:18am


Suatu sore di angkringan belakang lembah UGM...dua orang bego minum es teh sambil saling memukul dahi.

Babi : aku punya cerita. Ada 2 orang pria yang baru saja mati. Keduanya dihampiri malaikat penjaga kubur. Si Malaikat bertanya pada pria A "kamu menikah berapa tahun dan berapa kali kamu selingkuh?" jawab Si A "Aku menikah selama 30 tahun dan selingkuh 3 kali" lalu kata Si Malaikat, 'Oke, kamu kuberi kijang innova untuk pergi ke surga"

Aku : Terus? Yang B??

Babi : Si Malaikat mengajukan pertanyaan yang sama ke pria B. Si B menjawab "Aku menikah selama 50th dan tidak pernah selingkuh" lantas Si Malaikat memberinya sebuah ferarri.

Dalam perjalanan, Si A mendapati pria B berhenti dan menangis dalam ferarriny. Si A bertanya "Kenapa menangis wahai sahabat?" Si B menjawab dengan nada pilu '"Barusan aku melihat istriku berangkat ke surga naik sepeda. Hhuhuhuhu."

Aku terdiam. Mencerna agak lama dan kemudian tertawa sambil menjitak kepala Babi. Setelahnya, kami berpulang ke rumah masing-masing. Cerita di atas seperti cerita Babi yang sangat idiot setia sm satu cewe playgirl yang hobi gonta-ganti pacar [sopo yo??hhaha]. Dalam perjalanan, sambil mengendarai pausku yang bersih dalam kecepatan sedang, terlintas dalam pikiranku sebuah statement konyol.

Sesampainya di rumah, aku kirim SMS untuk Babi "Ndud...NAEK SEPEDA LEBIH SEHAT LHO DARIPADA NAEK FERARRI...WAHAHAHAH"

Jangan Jadi Anak Baik, deh!



Okey, ini cerita konyol salah seorang rekan kerjaku. Sebut saja dia Miss.R. Umurnya hampir 27 tahun. Awal masuk kerja, kukira dia sudah sangat senior lantaran dandanannya persis seperti ibu muda umur 30-an. Eits, bukan karena wajahnya terlihat tua ya. Tapi karena style-nya. Kebetulan aku bekerja di perusahaan media, jadi aku nggak menemui seragam formal seperti rok span dan blazer. Aku sendiri masih setia dengan jeans hitam, kaos oblong, dan sepatu kanvas. Muda banget? Aha!

Dan Miss R, hobi pakai sepatu pantofel hitam. Guys, baca baik-baik, dia pakai pantofel seperti yang biasa digunakan ibu guruku semasa sekolah dulu. Pantofel dengan gaya kaku (dan klasik), bukan wedges, atau high heels, atau stiletto dengan corak dinamis. Aku memang bukan pengamat fashion yang baik, tapi setidaknya beberapa rekan lain beranggapan kalau tampilan Miss.R memang seperti ibu-ibu.

Oke, langsung ke pokok permasalahan. Miss R adalah tipe perempuan baik-baik yang nggak mengenal kata kasar, coffe shop, tempat nongkrong, apalagi rokok, alkohol, dan pacaran. Dia bahkan pertama kali menonton film di bioskop sebulan yang lalu, di usia 26 tahun. Aku berusaha untuk tidak kaget. Padahal dia tinggal di kota, I mean, dia nggak tinggal di desa yang nggak ada akses internet atau tidak terjangkau siaran televisi. Dia terlalu lugu.

Pagi ini, dia memasang status YM [yang notabene dibaca semua karyawan kantor dan sebagian klien perusahaan kami] kurang lebih seperti ini :





"Hari senin jalan macet, hari sabtu liat bokep. Kamu itu sok banget, wajah pas-pasan ngaku paling cakep."


Awalnya aku nggak ‘ngeh’ dengan status itu. Baru setelah seorang rekan nyeletuk, “Miss. R paham arti BOKEP nggak sih? Kok pasang status YM kayak gitu?”

Heboh lah satu kantor. Kami semua penasaran, dan benar dugaan kami, Miss.R cuma copy paste sebuah pantun di web rajagombal.net tanpa tahu arti BOKEP yang sebenarnya. Parah lagi, dia pikir kata itu plesetan dari BOKAP!

Everybody know, bahkan anak SD zaman sekarang-pun sudah tau apa itu bokep a.k.a sepep a.k.a blue film atau istilah lain seperti IGO (Indonesian Girls Only) atau JAV (Japan Adult Video). Selama hampir setengah jam, kantor kami penuh dengan tawa. Sampai beberapa rekan terbatuk dan aku sendiri sakit perut lantaran tertawa terbahak-bahak dalam waktu lama. Hiburan gratis.

Status YM Miss R jadi trending topic selama sehari penuh. Ketika aku dan genk-ku beranjak untuk pergi makan siang, seorang rekan nyeletuk,

“Bayangin ya kalau misal Miss R besok punya anak. Terus anaknya pamit,
Anak Miss R : Mbok, aku pergi dulu
Miss R : Oke, kemana nak?
Anak Miss R : Nonton bokep bareng temen-temen
Miss R : Oh ya, ati-ati di jalan. Mau dikasih sangu nggak?”

Sontak semua yang mendengar kembali tertawa keras. Aduh duh…sangu sabun?? Batinku.

Di zaman sekarang ini, jangan deh jadi orang terlalu baik. Jangan terlalu naïf, sebab dunia nggak seramah yang kita idamkan. Dunia itu keras, banyak penipu, banyak kaum oportunis bertebaran. Sebagai seorang perempuan yang kelak menjadi ibu, aku merasa beruntung punya banyak teman-teman yang hidup besar di jalanan. Maksudku, aku punya teman-teman yang dicap ‘rusak’ atau ‘sampah masyarakat’. Aku bersyukur mengenal mereka, setidaknya aku punya sedikit gambaran bagaimana kondisi yang akan dihadapi anakku kelak. Mengenal kejamnya dunia luar secara otomatis menguatkan jiwa. Itu yang kupelajari.

Pengetahuan tentang segala hal yang berbau negative itu perlu. Ya, sangat perlu. Sebab, di dunia ini akan selalu ada hal-hal negative (dengan standar nilai yang relatif), nggak bisa dihindari. Dan kita perlu mempelajarinya. Okey, cukup pelajari teorinya. Nggak perlu praktek. Sebagai perempuan, kita harus tahu penyebaran video porno, seks di sekolah, seputar narkoba, kriminalitas, vandalism, dan silakan kalau mau lanjut mempelajari degradasi moral dan ideologi. Monggo.

Kalau sekarang sudah banyak moralis berteriak-teriak tentang betapa mengerikannya pergaulan remaja masa kini, apalagi belasan tahun yang akan datang. Okey, umurku sekarang 22 tahun. Sudah mengenal nikotin, alkohol, vandalism, dan beberapa hal negatif lainnya dan sudah mencapai kesimpulan bahwa semua hal itu memang benar rugi adanya. Kalau dulu kumpul kebo, MBA (Married by Accident), aborsi, Sakaw, bla..bla…bla..dianggap tabu, sekarang mulai dianggap trend. Remaja zaman sekarang lebih style oriented dan berusaha keras menjadi eksis, tapi intelektualnya nggak dipelihara. Para Ababil itu hanya akan mendadak cerdas saat berkilah di depan orangtua mereka yang hampir nggak tahu dunia luar seperti apa.

Yak, memang zaman sudah berbeda. Zaman Nyak Babe-ku dengan zamanku saja sudah sangat berbeda. Untuk kasus Miss. R, kami semua [aku dan rekan-rekan yang lain] mengkhawatirkan nasib Miss.R. Orang lugu seperti dia akan mudah sekali ditipu, dikelabuhi, parahnya lagi diperalat untuk kejahatan. Kami hanya bisa berdoa dan mencoba mengajaknya berjalan-jalan melihat dunia luar. Dunia Luar yang belum semuanya kami kenal.

Tuhan, lindungi kami semua. Amin :)




Senin, 19 Desember 2011

Dialog Bodoh

Aku : Hizz...menyebalkan. Cowok bermobil kok kebanyakan belagu. Sok kece, anjing ah!

Naga (sambil konsentrasi ke kertas yang sedang dia gambari) : Nggak juga. Semua cowok itu anjing.

Aku : Iya sih, bener banget.

Naga : Tapi aku anjing yang lucu. [berucap dengan spontan, dengan intonasi seperti anak TK yang bangga. Masih tetap konsentrasi menggambar]

Aku terdiam beberapa detik. Aku menoleh ke arahnya, memegang dagunya yang berjanggut.

"Lucunya anjingku ini... Leviiii....Leviiiii"



-_____-

Rabu, 16 November 2011

Kalau bukan penulis mana bisa jadi editor???

“Haruskah D3/s1?? Yang diutamakan dlm kreatifitas adlah mngerti EYD...kalau bukan penulis mana bisa jadi editor....logikanya dimana?”

Kalimat yang berantakan itu mampir si sebuah status Fb sebuah Penerbit Besar di Jogja yang sedang membuka lowongan editor. Kalimat itu terasa agak sinis dan menyebalkan, terutama kalimat terakhir “Logikanya dimana?” Sangat mengganggu untuk seorang editor (freelance) sepertiku.

Baiklah, mari kita bahas satu persatu.

a.       Haruskah D3/S1??

Kualifikasi yang dibuka untuk editor memang min D3/S1. Sepertinya hampir di semua penerbit mematok standar yang sama. Malah ada beberapa penerbit yang secara spesifik meminta jurusan tertentu seperti Psikologi. Baiklah, mari kita pahami dulu apa sebenarnya editor itu?

Editor (sepanjang pengetahuan saya yang belum genap setahun nyemplung di dunia penerbitan) adalah seseorang yang bertugas menyeleksi naskah, menyunting (edit aksara, EYD ataupun konten), dan menerbitkannya. Susah? Jelas.  Seorang editor dituntut untuk PEKA, punya SELERA TINGGI dan yang jelas JELI melihat pergerakan pasar. Nggak sembarang orang bisa jadi editor. Itulah yang ada dalam benak saya.

Saya bukan seorang ektrimis akademik yang mendewa-dewakan gelar Sarjana. Buat saya pribadi, pengalaman jauh lebih berharga daripada transkrip nilai. Saya sudah membuktikannya. Mantan Pimpinan Redaksi saya (dan pernah menjadi editor), hanyalah seorang lulusan SD. Tapi dia (yang umurnya cuma setahun lebih tua) bisa benar-benar cerdas dan membuat saya yang bergelar S.S merasa malu dengan sepak terjangnya. Dia malang melintang di beberapa komunitas penulis di beberapa kota dan penerbit. Namanya berkibar dan nggak susah untuknya mencari pekerjaan sebab yang datang padanya adalah penawaran. Look!

Berkaca pada Mantan Pimred saya itu, saya setuju untuk menghilangkan kualifikasi D3/S1. Namun kemudian sebuah kalimat menyentil saya. “INI INDONESIA”. Ada berapa persen orang yang mau mencerdaskan diri sendiri dengan belajar otodidak?? Sarjananya saja dicetak dengan uang (masuk univ terkenal pakai uang pangkal super besar), dan lulus dengan kualitas SDM pas-pasan.

Yah, menurut saya, kualifikasi itu tetap perlu. Sebab INI INDONESIA a.k.a ENDONESIA pake ‘E’. Pesimisme berlanjut defensif berlebihan sangat dibutuhkan. Sarjana-nya aja banyak yang nggak kompeten.  Memang, banyak karyawan pribumi yang sukses di perusahaan. Eh, tapi lihat perusahaannya, Ownernya orang asing! Miris!

So, intinya, kualifikasi itu tak perlu dihilangkan. Bukannya nggak memberi kesempatan pada orang-orang yang nggak berpendidikan formal, tapi ini dimaksudkan untuk memotivasi mereka agar mau berusaha lebih keras lagi. Kalaupun pahitnya kualitas SDM Endonesia anjlok di mata internasional, pemerintah kita akan mulai memberi perhatian lebih pada dunia pendidikan. Ehm…itu kalau mereka masih punya nurani sih.

b.      Kalau Bukan Penulis Mana Bisa Jadi Editor….Logikanya dimana?

Wah, kalau bahasan ini sih, saya cuma mau bermain opini. Kalau bukan penulis, mana bisa jadi editor?? BISA DONK. Malah lebih mampu, sebab seorang editor melihat karya dari luar dalam, dari jarak dekat maupun kejauhan. Beda dengan penulis yang melihat karya dari dalam.  

Jelas beda dan nggak bisa disamakan. Seorang penulis nggak akan bisa melepaskan diri dari sifat subjektif (sangat manusiawi dan bisa dimaklumi), sementara seorang editor dituntut (dan memang bisa) bersifat objektif. Kenapa? Sebab sekali lagi, editor memandang karya sebagai sesuatu di luar dirinya. Menurut saya, seorang editor memang wajib menguasai gramatikal maupun trend berbahasa tapi tidak perlu mempunyai kemampuan menulis.

Ektrimnya lagi, editor memposisikan diri sebagai konsumen alias pembaca. Dia akan memilih naskah, mengkoreksinya sedemikian rupa sehingga jadi bacaan yang nyaman dan mengasyikkan. Jelas, kan. Logikanya, nggak perlu jadi penulis untuk bisa menilai mana tulisan yang bagus mana yang enggak.

Cerita Jadul Zaman Seragam Merah Putih

Baru gabung di KBJ (Komunitas Blogger Jogja) belum lama, dan sering bolos alias nggak ngikutin perkembangan gara-gara sibuk kerja, tiba-tiba dapet PR dari Kak Iwan restiono. Padahal ya aku ini masi bego-bego banget untuk urusan blogging. Taunya nulis-nulis-nulis dan buang sampah di otak. Tapi PR kali ini tetep harus aku kerjain. Secara ya dari dulu aku ini siswa yang rajin ngumpul tugas walaupun sering bolos (lho? Bisa? Nyatanya bisa tuh)

SD paling elite se-Jogja

Ayahku yang paling TOP itu adalah seorang akademisi dan praktisi pendidikan. So, bagi beliau, pendidikan adalah yang nomor satu. Ilmu pengetahuan yang dikolaborasikan dengan ilmu agama dan dikemas secara modern menjadi titik tolak pemikiran beliau. Zaman dulu sih, waktu beliau baru-baru menyandang gelar Drs dan belum sempat mendirikan SD sendiri, beliau nekat menitipkan aku di SD Muhammadiyah Sapen. SD yang waktu itu (sampai sekarang juga) adalah Sekolah elit yang uang masuknya terhitung MAHAL, dan isinya anak-anak ORANG KAYA. Alasannya cuma satu: Pengen anaknya dapat pendidikan terbaik dan berkualitas. (Sayang banget deh sama Ayah T.T) 

1994: Wujud bangunan sekolah tercinta

Kalian tau nggak? Waktu itu ayahku cuma punya satu toko material kecil, itu pun masih NGONTRAK. Waktu itu ayahku cuma punya mobil Chevrolet tua yang sudah pantas didaur ulang saking rongsoknya. Ranger kuning namanya. Kalau aku diantar sekolah pakai mobil itu, bakal kelihatan deh aku ini miskin. Habisnya, mobil-mobil lain mewah dan kinclong sih.

Bersekolah di sekolah orang-orang kaya ngebuat aku terlihat mencolok. Mencolok karena paling kucel dan nggak kinclong maksudnya. Mulai dari sepatu, tas, mukena, sampai jenis snack yang dimakan waktu istirahat memperlihatkan banget kalau aku ini anak orang biasa-biasa aja. Minder? Jelas donk ya. Namanya juga anak kecil, belum bisa mikir logis. Akhirnya aku jadi anak yang pendiam dan nggak banyak omong. Kalem gitu deh.

Mencongak? Oh Tidak!

Ingatanku itu pendek. Sangat pendek malah. Ini emang penyakit yang lumayan berbahaya. Tapi aku terima apa adanya. Jangankan nama teman-teman SD, nama teman-teman SMA aja udah banyak yang lupa.

Nah, kejadian membingungkan yang kuingat sampai sekarang adalah kejadian waktu kelas 6 SD. Waktu itu aku lumayan pintar dan bisa masuk kelas 6A1 (dibuat tingkatan sesuai prestasi akademik. 6A yang paling pintar, 6F yang paling bodoh). Setiap pelajaran matematika, ada yang namanya “mencongak”.

Apa itu mencongak? Mencongak adalah ketika guru menyebutkan pertanyaan hitungan, si murid harus menjawab dengan super cepat. Kalau si murid telat menjawab alias berpikir lambat, dia akan kena hukuman. So, mencongak ini semacam pertaruhan harga diri. Kebodohanmu akan terpublikasikan dengan jelas. Aku sebagai pendatang baru (dan nggak bertahan lama) di 6A1 jelas ketakutan. Itu kelas dengan strata tertinggi, aku ini sadar diri, bukan anak genius yang pintar matematika. Aku selalu berkeringat dingin dan gugup setiap kali mencongak dimulai.

Aku ingat, waktu itu Pak (Tuh kan aku lupa namanya) Guru Matematika memberiku pertanyaan, “7x6 berapa?” waktu itu aku spontan menjawab 42. Tapi entah kenapa beberapa orang teman mendengarku bilang 48. ARGHH!! Super parah!! Aku yakin sekali menjawab 42. Tapi beberapa benar-benar yakin telinga mereka mendengar kata 48!! Apa-apaan nih?? Undefined feelings banget waktu itu sampai aku nyaris menangis.

Apa aku hampir diculik??

Kisah yang satu ini juga nyaris nggak bisa kulupakan. Waktu aku kelas 6 SD, adek laki-lakiku juga sekolah si SD Muhammadiyah Sapen ini. Waktu itu dia kelas 3 SD. Kami biasa pulang bareng, nunggu jemputan bareng.

Suatu hari, kami berdua seperti biasa, duduk di depan sekolah. Mengunggu Ayah datang dengan Ranger Kuningnya. Semenit, dua menit. Sejam, dua jam. Sekolah mulai sepi, nggak ada lagi murid yang tersisa. Cuma tinggal guru piket. Kami masih setia menunggu.

Tiba-tiba Guru Piket mendekati kami. “ Aya sama Fii? Tadi ada telpon dari Ayah. Katanya beliau nggak bisa jemput karena harus layat, terus nanti disuruh ikut mobil sedan hitam. Itu mobil temennya Ayah kalian. Mobilnya lagi berangkat ke sini.”

Aku saling berpandangan dengan adekku. Kemudian mengangguk paham padahal kami hanya pura-pura paham. Sesungguhnya kami sangat bingung. Sedan hitam? Kalau nggak bisa jemput kami, biasanya Ayah menyuruh kakak sepupu kami untuk ganti menjemput. Dan itu selalu dengan motor, nggak pakai sedan hitam. Soalnya waktu itu saudara-saudaraku nggak ada yang pakai sedan.

Tapi kami tetap setia menunggu.

Selang agak lama, Ranger Kuning muncul lengkap dengan wajah keeling Ayah dan cengirannya yang unik itu. Menampakkan giginya yang putih bersih.

“Ayah, kok telat?”

“Maaf tadi lagi ngirim barang. Tapi alamatnya agak susah, jadi lama deh.” (Ayahku dulu pemilik toko merangkap karyawan merangkap supir juga)

“Iya…” Aku dan adikku naik ke jok depan (Ya iyalah! Namanya juga mobil bak terbuka, mana ada jok belakang!)

“Katanya layat? Trus yang mau jemput pakai mobil sedan siapa?” Adekku langsung tanya ceplas ceplos.

“Layat?” Ayahku bingung. Aku lihat beliau pakai kaos yang penuh noda tanah liat dan peluh. Jelas bukan tampilan seseorang yang baru pulang melayat.

“Kan tadi Ayah nelpon. Bilang layat, trus aku sama mbak Aya mau dijemput pakai sedan hitam sama temennya Ayah.”

Kira-kira begitu percakapan kami. Sudah aku rekonstruksi sedemikian rupa. Maklum, kejadiannya sudah belasan tahun lalu.

Waktu aku SMU, aku ungkit cerita itu lagi. Ayah cuma tersenyum dan bilang, “Untung kalian nggak jadi diculik.”

Inget, kan? Ayahku dulu seorang organisatoris garis keras yang menentang Orde Baru habis-habisan. Inget, kan? Ayahku pernah dipenjara gara-gara menolak azas tunggal Pancasila. Organisasinya pernah diblacklist pemerintah Soeharto. Waktu SMU juga (pasca Orde Baru tumbang) aku baru tahu nama asli ayahku. Ternyata nama yang biasa beliau pakai itu nama palsu!!! Beliau memakai nama palsu sebab nama asli beliau terdaftar di TO pemerintah Soeharto!!!

Astaga!! Kalau waktu itu ayahku datang terlambat, entah apa jadinya kami berdua.

Selasa, 15 November 2011

Hey!! Menara!!!!!!!!!!!!

Hey! Menara tinggi!

Bongkar-bongkar folder lama, nemu foto ini:
2011: kondisi menaraku skg menyedihkan, penuh karat, nggak terawat

Menara favorit kami. Aku pertama kali dibawa ke sini sama Babi. Katanya, itu tempat dia mbolos semasa SMU, membeli beberapa botol minuman dan mabuk di kaki menara. Yah, kenakalan anak SMU yang wajar saja.

Menara itu tinggi menjulang. Dulu (lima tahun lalu) menara itu merah warnanya. Merah dan bersemangat. Merah dan tinggi. Dulu, aku yang takut ketinggian, berani naik sampai ke puncak. Sama Babi yang waktu itu pakai jumper merah.
2006: Jangan Liat Babi-nya, liat backgroundnya ^^ foto ini diambil di atas menara. 

Dari atas menara itu, aku bisa melihat wilayah kaliurang. Atap-atap vila yang tampak berantakan dan jalan-jalan aspal yang berkelok. Aku juga bisa melihat moncong merapi dan puncaknya yang kering berpasir, lalu hutan-hutan di kakinya. Bagus. Aku suka. Suka sekali. Entah, sudah beberapa kali kami bolak-balik menara (sebelum erupsi merapi).

Di saat aku sedih, aku marah karena urusan rumah, Babi meluangkan waktu untuk menemaniku duduk berjam-jam di sana. Dan kalau kabut datang, rasanya asyikkkkkk sekaliiii…..semua-mua terlihat putih. Berasa di atas awan deh ^^ sangat dingin dan menenangkan. Nggak ada suara-suara mobil yang berisik. Cuma ada wangi pegunungan dan kabut. Cuma ada suara angin dan gemerisik pepohonan.

Aku rindu tempat itu. Terakhir aku melihatnya (setengah tahun lali), waktu aku datang ke acara perpisahan Si Bungsu. Hotel tempat acara berlangsung hanya berjarak beberapa meter dari Menara itu. Pada saat itulah, aku foto Menara Merahku. Yah, sudah nggak lagi merah, tapi kini berkarat. Dan ketika aku mencoba naik, aku dimarahi. Sudah terlalu rapuh kata pengawasnya, jadi digembok deh. Aku kecewa.

Kenanganku juga seperti itu (sudah kubilang ingatanku pendek). Suatu saat akan berkarat dan terasa kabur, nggak lagi bisa dijangkau otak kecilku. Apapun itu, walau sudah tak terasa jelas, tapi aku masih bisa tersenyum ketika merasakannya. Bahkan mungkin, suatu waktu, aku akan tersenyum karena suatu kenangan yang aku nggak tahu itu apa :)

Minggu, 13 November 2011

Dilema: Tidak Bisa Tidak Pilih Kasih

FAKTA: Aku memang yang paling pendek

Ini hari minggu, dan seharian tadi aku menghabiskan waktu untuk rapat kerja. Sekitar pukul dua siang, kepler kesayangku berdering, Si Bungsu menelpon.

“Mbak Aya kapan pulang? Aku mau berangkat ke asrama nanti jam 4. Aku mau minta uang saku.”

“Sabar ya, Mbak Aya masih rapat. Nanti aku usahain pulang sbelum jam 4, tapi kalau nggak bisa, berangkat habis maghrib nggak apa ya?”

“Mmmm….iya udah. Nggak apa-apa, tapi diusahain ya.”

Si Bungsu, kelas 1 SMP [lagi-lagi di yayasan milik ayahku] dan memutuskan untuk asrama. Dia pulang ke rumah setiap sabtu sore pukul 4 sore dan kembali ke asrama pada hari minggu pukul empat sore juga. Aku sampai di rumah jam setengah enam sore, jadi aku langsung mandi dan terlambat ikut makan malam bareng tiga adekku lainnya.

Setelah Si Bungsu selesai mengangkut koper ke bagasi mobil, aku masuk ke menyusulnya dan mengangsurkan uang saku untuk seminggu.

Dari jok belakang, Si Bungsu menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan. Katanya, “Ini minggu kemarin kelebihan sepuluh ribu, Mbak.”

Ew…manisnya adekku yang satu ini. Kalau adek-adekku yang lain pasti bakal bilang, “Kembaliannya buatku ya!”

Sepanjang perjalanan kami mengobrol.

“Aku kepilih jadi wakil sekolah untuk lomba paskibra, Mbak. Kayaknya nanti aku butuh sepatu sama perlengkapan lainnya. Trus minggu besok, minggu besoknya lagi (maksudnya dua minggu yang akan datang) aku boleh nginep di rumah rahma nggak? Boleh ya? Itu temen sekamarku di asrama.”

“Hmmm….gimana, Bro?” tanyaku sambil menoleh ke Si Nomor Dua yang sibuk menyetir. Plis deh, obrolan kami udah kayak orangtua yang lagi nganter anaknya ke sekolah!

“Ya, nggak apa-apa. Tapi Mas yang nganter-jemput kamu ke rumah Rahma ya?”

“Dijemput sama eyang uti-nya Rahma kok.” Jawab Si Bungsu.

“Ya udah, biar pulangnya aja yang dijemput Masmu. Gimana?” tanyaku.

“Kan pulang dari rumah Rahma langsung ke asrama, Mbak. Ya dianter eyang uti.”

“Udah biar aku yang anter jemput aja. Biar aku juga bisa masrahke dia Eyangnya Rahma.”

“Yawda…. Dua minggu lagi, kan? Ingetin Mbak Aya biar ngasih uang sakunya skalian double dua minggu.”

“Makasiiiiiih ya Mbak Ay…”

Ya ampun. Adekku yang satu ini manis banget sih. Prestasi akademiknya bagus, kalem, kalau ngomong lemah lembut, penurut, nggak suka bentak-bentak dan nggak pernah lupa bilang tolong dan terima kasih. Anak siapa ini? Belajar jadi anak baik gitu dimana sih? Soalnya nih ya, ketiga kakaknya brengsek semua.

Yang sulung alias aku sendiri hobi bolos sekolah, keluyuran, brantem sama ibu hampir tiap hari, kasar, nggak tahu aturan, zaman smp malah suka mukulin orang. Yang nomer dua, sama-sama hobi ngeluyur, berantem, dan know lah, kenakalan khas remaja. Sementara yang nomer tiga lebih bikin frustasi. Bolosnya nggak sehari dua hari, tapi seminggu lebih. Kalau ngomong kasarnya minta ampun, nggak peduli sama orang yang lebih tua kayak aku sekalipun. Kelewat cuek. Kalau udah marah, misuhnya lebih fasih daripada aku. Udah gitu pacar ganti tiap beberapa bulan sekali, gimana nggak bikin jengkel??

Tambah lagi ya, kalau misal toko sedang kosong dan nggak ada karyawan, Si Bungsu lebih bisa menghadapi pembeli daripada kakaknya yang notabene 4 tahun lebih tua itu. Si Bungsu bisa menghitung dengan cermat, bisa membuat nota sesuai instruksiku, dan bisa negosisasi harga. Apa nggak keren??

Dalam perjalanan pulang, aku dan Si Nomor Dua terlibat pembicaraan serius.

“Bro, kamu urus Si Nomer Tiga donk. Kalau Si Bungsu, nggak perlu dikhawatirkan. Udah dewasa, bisa urus dirinya sendiri. Aku percaya kok sama dia. ”

“Ya nggak gitu. Tetep harus dikasih perhatian yang sama.”

Adil bukan berarti harus sama, Bro. Adil itu sesuai proporsi masing-masing.”

“Kamu luangin waktumu lah, pergi nemuin guru BK nya Si Nomor Tiga. Konsultasi ada masalah apa di sekolahnya.”

“Aku kan kerja full dari pagi sampe sore. Sore mpe malem ngurus toko-tokonya Ayah. Belum lagi kalian bertiga kalau minta uang nggak liat sikon. Musim ujan gini stock barang habis, nggak ada produksi. Pemasukan juga menurun. Tolonglah, urus si Nomor Tiga. Kamu dampingin dia. Dia butuh dukungan psikologis tuh.”

“Lho, aku kan sibuk kuliah. Bolak-balik Solo-Jogja. Belum lagi tugas numpuk, trus juga mikirin Sabi [nama pacarnya]…”

“Untung banget deh aku punya pacar yang nggak ngrepotin, nggak sering berantem, nggak nambahin beban pikiran,” aku memotong rentetan kalimatnya.

“Bukannya sering berantem, tapi kan mikir ke depan. Mikir nikah. Nggak apa kan kalau aku ngelangkahin kamu?”

“He’emh…santai aja lah,” sahutku malas. “Tapi kalau semua urusan rumah dipasrahin ke aku, aku capek jiwa raga ya. Biar aku kerja ma urus bisnis, kamu urus adek-adek. Okey?”

“Oke deh, Sist. Nanti kalau aku udah selesai kuliah, aku handle satu toko. Kamu satu toko, dan ortu kita biar konsen ke Si Nomor Tiga.”

“Yaa…ya…” aku mengantuk dan begitu sampai rumah langsung berangkat tidur.

PAGINYA

“Sist, Bangun. Minta duit bensin donk,” Si Nomor Dua dan Si Nomor Tiga kompak menendang-nendang badanku yang tergeletak di kasur di depan TV. Aku menguap dan membuka dompet.

“Sist, nanti malem aku nggak pulang ya. Pulang lusa!!! Bye! Muach!!” Si Nomor Dua berlari terburu ke garasi. Aku terduduk bengong seperti orang bodoh. Eh…..adek brengsek!!!!!

Jumat, 11 November 2011

MyBlack, where are u???

Sore gerimis. Ketika aku masuk kamar kost dan melihat meja kecilku, tiba-tiba aku rindu koleksi lamaku yang sudah kubuang sebulan lalu. Koleksi? Apa ada kata lain yang lebih tepat untuk setumpuk bungkus Djarum Black Slimz di atas meja? itu koleksiku, dulu. Sebelum masuk tempat sampah pada awal oktober. Sehari setelahnya aku dibuat menyesal lantaran semua Circle K mengatakan satu hal yang sama “Djarum Black slimz sudah nggak diproduksi lagi, kak.”

Alamak!!
sebagian dari koleksiku dulu....


Aku nggak benci perokok, sebab aku sendiri konsumen rokok. Dan sudah bertahun-tahun lamanya aku setia dengan Djarum Black. Sejak awal kemunculannya pada tahun 2006, mulai dari Djarum Black original (halah), djarum Black tea (yang mati di pasaran), Djarum Black capucino (yang mati dipasaran juga), Djarum Black Slimz (favoritku dan akhirnya raib juga) sampai Djarum Black menthol (yang nggak akan pernah kuhisap sebab aku nggak suka rokok menthol).

Baiklah, point pertama yang akan kita bahas adalah respon orang-orang terdekatku:

Ayah   : Marah besar ketika beliau menemukan rokok di saku tasku ketika aku SMP. Beliau ngamuk untuk kedua kalinya saat menemukan rokok [lagi-lagi di tasku] saat aku SMU. Seiring berjalannya waktu, ayahku nggak lagi merazia tasku. Beliau makin sibuk, dan aku makin tahu diri untuk nggak membawa rokok ke rumah.

Ibu       : Diam, sepertinya sedih tapi kemudian disibukkan dengan hal lain.

 Sahabat kecilku          : Marah, dan dengan ketus bilang “Pilih rokok atau aku?”. Ketika kujawab aku memilih rokok, kami berhenti bertegur sapa bertahun-tahun lamanya. Sampai semester akhir kuliah kami bertemu lagi dan kembali dekat. Tentunya nggak ada lagi pilihan sulit “Sahabat atau Rokok?”

Muk     : Meminta beberapa batang rokokku saat kami berjumpa dalam kondisi galau. Dia santai dan nggak melakukan protes apapun

Babi     : Mengizinkan aku merokok hanya di tempat sepi, dimana nggak ada orang lain yang melihat. Dan dia paling nggak suka melihatku merokok di depan teman-temannya. Terakhir kali, dia mengizinkan aku merokok di tempat umum (game center dan isinya memang teman-teman kami) adalah ketika aku stress berat karena kasusnya. Mungkin dia merasa bersalah, merasa membuatku mellow galau gitu.

contoh orang bodoh yang suka ngambil Blackku -___-

Naga    : Dia nggak suka melihatku merokok, tapi juga nggak melarangku. Dia bilang,”Mau gimana lagi? Aku sendiri perokok, masa sih ngelarang kamu ngerokok?”.

 Hal yang unik dari Naga adalah:
-          Dia nggak mau menyalakan pematik untukku. Contoh ketika aku harus menemaninya manggung di klub malam, dengan hawa dingin dan musik yang jedug-jedug itu, aku bisa benar-benar mati gaya tanpa rokok. Melihat sebatang Black terselip di bibirku, dia cuma menyodorkan pematik. Nggak menyalakannya untukku!! Wew! Kalau cowok-cowok lain sudah pasti menyalakan pematik untuk cewek ya, semacam tindakan yang gentle begitu?? Waktu kutanya kenapa, Naga menjawab, “Risih ah…terkesan kayak aku ngedukung pacarku ngerokok.”

Point kedua yang akan dibahas adalah wacana umum tentang perempuan perokok. Perempuan perokok kerapkali dianggap sebagai perempuan nggak bener. Apalagi di mata orang-orang tua. Berani sumpah budhe-budheku bakal cerewet menahun kalau sampai tahu aku seorang perokok. Di mata mereka, di mata orangtuaku juga, perempuan perokok identik dengan perempuan nakal yang nggak bisa menjaga diri. Di zaman dulu, perempuan-perempuan yang merokok adalah para pelacur. Seorang gadis biasa dari keluarga terhormat nggak akan merokok.

Ayahku (dulu perokok berat dan berhenti saat aku lahir. Beliau nggak mau bayinya yang super imut ini terkontaminasi asap nikotin) pernah bilang, orang yang pintar dan cerdas serta berpengetahuan ilmiah nggak akan merokok. Komentar beliau yang paling pedas, “Orang itu bodoh. Naik motor sambil merokok, jelas rokoknya habis tertiup angin. Sudah merusak kesehatan, sia-sia pula.” Di telingaku terdengar seperti ,”Seorang perokok adalah orang bodoh. Perempuan yang merokok adalah perempuan bodoh.” I see, dan aku bukan ABG keras kepala yang tak tahu diri dengan merokok di sembarang forum.

Aku pernah berkelit, “Ini hidupku sendiri. Kenapa mesti repot ngurusin pendapat orang lain? Biar orang ngomong a i u e o kek, kalo faktanya kita nggak a i u e o ya ngapain dipikir?”

“Orang lain itu cuma melihat dari luar, nggak memahami. Mereka memperlakukan kamu sebagaimana kamu terlihat. Sekarang cewek pulang dini hari, pakai rok mini. Yaaa, mungkin dia pulang kerja lembur dari kantor atau apalah, lantas dia diperkosa. Menurutmu kenapa? Ya karena mindset masyarakat kita kan? Cewek pulang pagi dan berpakaian seksi jelas identik dengan cewek nggak bener. Gasak abis sekalian.” Ujar seorang kawan dengan berapi-api.

Kalau kata Naga, “Kalau mau cuek nggak mikir pendangan orang, idup aja di hutan. Sendiri, berbuat semaumu.”

Kalau kata kawanku yang lain, “Silakan bertingkah seperti apapun, tapi harus siap resikonya. Siap dilecehkan, siap diperkosa, siap dicibir, siap dicaci maki, siap dihujat. Halooo, ini Indonesia ya, bukan Amerika.”

So?? Aku memutuskan untuk: MEROKOK HANYA SAAT BUTUH DAN DI TEMPAT YANG TEPAT.

Aku merokok saat berada di tempat yang super dingin. Aku merokok saat stress mengerjakan tugas kantor. Aku merokok saat membuat tulisan-tulisan tentang ide gila dalam kepalaku. Aku merokok saat merenung, menganalisis diri sendiri untuk kemudian membuat resolusi. Semacam itulah. Bukan fiksi, skripsiku selesai dengan cepat (meskipun sedang patah hati) karena Black Slimzku selalu setia menemani.

Yang perlu kalian tahu:
  • Tembakau paling tidak mempunyai dua dampak positif pada pikiran: pertama, tembakau menimbulkan perasaan tenang dan kedua, dapat meningkatkan ingatan dan kewaspadaan.
  •    Nikotin meningkatkan pemrosesan informasi dengan cepat. Dan juga meningkatkan ingatan jangka pendek, ingatan spasial, dan waktu reaksi pada pasien alzheimer. nikotin mungkin tidak hanya meningkatkan transmisi diantara sel-sel saraf yang terlibat dalam pembentukan ingatan, tetapi juga menangkal pembentukan plak-plak beracun yang bertanggung jawab atas perkembangan penyakit Alzheimer
KEsimpulannya:

Kepada para perokok: Jangan berhenti merokok, tapi merokoklah sesuai kebutuhan. Artinya, kendalikan tingkat konsumsi rokok kalian. Pergunakanlah tembakau dan nikotin dengan sebaik-baiknya. Kalau kalian sampai kecanduan dan diperbudak rokok, berarti kalian memang bodoh. (Dengan kata lain aku ini lumayan pintar ya. Ahahahahaha -____-)


*Versi Idiot