Rabu, 16 November 2011

Kalau bukan penulis mana bisa jadi editor???

“Haruskah D3/s1?? Yang diutamakan dlm kreatifitas adlah mngerti EYD...kalau bukan penulis mana bisa jadi editor....logikanya dimana?”

Kalimat yang berantakan itu mampir si sebuah status Fb sebuah Penerbit Besar di Jogja yang sedang membuka lowongan editor. Kalimat itu terasa agak sinis dan menyebalkan, terutama kalimat terakhir “Logikanya dimana?” Sangat mengganggu untuk seorang editor (freelance) sepertiku.

Baiklah, mari kita bahas satu persatu.

a.       Haruskah D3/S1??

Kualifikasi yang dibuka untuk editor memang min D3/S1. Sepertinya hampir di semua penerbit mematok standar yang sama. Malah ada beberapa penerbit yang secara spesifik meminta jurusan tertentu seperti Psikologi. Baiklah, mari kita pahami dulu apa sebenarnya editor itu?

Editor (sepanjang pengetahuan saya yang belum genap setahun nyemplung di dunia penerbitan) adalah seseorang yang bertugas menyeleksi naskah, menyunting (edit aksara, EYD ataupun konten), dan menerbitkannya. Susah? Jelas.  Seorang editor dituntut untuk PEKA, punya SELERA TINGGI dan yang jelas JELI melihat pergerakan pasar. Nggak sembarang orang bisa jadi editor. Itulah yang ada dalam benak saya.

Saya bukan seorang ektrimis akademik yang mendewa-dewakan gelar Sarjana. Buat saya pribadi, pengalaman jauh lebih berharga daripada transkrip nilai. Saya sudah membuktikannya. Mantan Pimpinan Redaksi saya (dan pernah menjadi editor), hanyalah seorang lulusan SD. Tapi dia (yang umurnya cuma setahun lebih tua) bisa benar-benar cerdas dan membuat saya yang bergelar S.S merasa malu dengan sepak terjangnya. Dia malang melintang di beberapa komunitas penulis di beberapa kota dan penerbit. Namanya berkibar dan nggak susah untuknya mencari pekerjaan sebab yang datang padanya adalah penawaran. Look!

Berkaca pada Mantan Pimred saya itu, saya setuju untuk menghilangkan kualifikasi D3/S1. Namun kemudian sebuah kalimat menyentil saya. “INI INDONESIA”. Ada berapa persen orang yang mau mencerdaskan diri sendiri dengan belajar otodidak?? Sarjananya saja dicetak dengan uang (masuk univ terkenal pakai uang pangkal super besar), dan lulus dengan kualitas SDM pas-pasan.

Yah, menurut saya, kualifikasi itu tetap perlu. Sebab INI INDONESIA a.k.a ENDONESIA pake ‘E’. Pesimisme berlanjut defensif berlebihan sangat dibutuhkan. Sarjana-nya aja banyak yang nggak kompeten.  Memang, banyak karyawan pribumi yang sukses di perusahaan. Eh, tapi lihat perusahaannya, Ownernya orang asing! Miris!

So, intinya, kualifikasi itu tak perlu dihilangkan. Bukannya nggak memberi kesempatan pada orang-orang yang nggak berpendidikan formal, tapi ini dimaksudkan untuk memotivasi mereka agar mau berusaha lebih keras lagi. Kalaupun pahitnya kualitas SDM Endonesia anjlok di mata internasional, pemerintah kita akan mulai memberi perhatian lebih pada dunia pendidikan. Ehm…itu kalau mereka masih punya nurani sih.

b.      Kalau Bukan Penulis Mana Bisa Jadi Editor….Logikanya dimana?

Wah, kalau bahasan ini sih, saya cuma mau bermain opini. Kalau bukan penulis, mana bisa jadi editor?? BISA DONK. Malah lebih mampu, sebab seorang editor melihat karya dari luar dalam, dari jarak dekat maupun kejauhan. Beda dengan penulis yang melihat karya dari dalam.  

Jelas beda dan nggak bisa disamakan. Seorang penulis nggak akan bisa melepaskan diri dari sifat subjektif (sangat manusiawi dan bisa dimaklumi), sementara seorang editor dituntut (dan memang bisa) bersifat objektif. Kenapa? Sebab sekali lagi, editor memandang karya sebagai sesuatu di luar dirinya. Menurut saya, seorang editor memang wajib menguasai gramatikal maupun trend berbahasa tapi tidak perlu mempunyai kemampuan menulis.

Ektrimnya lagi, editor memposisikan diri sebagai konsumen alias pembaca. Dia akan memilih naskah, mengkoreksinya sedemikian rupa sehingga jadi bacaan yang nyaman dan mengasyikkan. Jelas, kan. Logikanya, nggak perlu jadi penulis untuk bisa menilai mana tulisan yang bagus mana yang enggak.

Cerita Jadul Zaman Seragam Merah Putih

Baru gabung di KBJ (Komunitas Blogger Jogja) belum lama, dan sering bolos alias nggak ngikutin perkembangan gara-gara sibuk kerja, tiba-tiba dapet PR dari Kak Iwan restiono. Padahal ya aku ini masi bego-bego banget untuk urusan blogging. Taunya nulis-nulis-nulis dan buang sampah di otak. Tapi PR kali ini tetep harus aku kerjain. Secara ya dari dulu aku ini siswa yang rajin ngumpul tugas walaupun sering bolos (lho? Bisa? Nyatanya bisa tuh)

SD paling elite se-Jogja

Ayahku yang paling TOP itu adalah seorang akademisi dan praktisi pendidikan. So, bagi beliau, pendidikan adalah yang nomor satu. Ilmu pengetahuan yang dikolaborasikan dengan ilmu agama dan dikemas secara modern menjadi titik tolak pemikiran beliau. Zaman dulu sih, waktu beliau baru-baru menyandang gelar Drs dan belum sempat mendirikan SD sendiri, beliau nekat menitipkan aku di SD Muhammadiyah Sapen. SD yang waktu itu (sampai sekarang juga) adalah Sekolah elit yang uang masuknya terhitung MAHAL, dan isinya anak-anak ORANG KAYA. Alasannya cuma satu: Pengen anaknya dapat pendidikan terbaik dan berkualitas. (Sayang banget deh sama Ayah T.T) 

1994: Wujud bangunan sekolah tercinta

Kalian tau nggak? Waktu itu ayahku cuma punya satu toko material kecil, itu pun masih NGONTRAK. Waktu itu ayahku cuma punya mobil Chevrolet tua yang sudah pantas didaur ulang saking rongsoknya. Ranger kuning namanya. Kalau aku diantar sekolah pakai mobil itu, bakal kelihatan deh aku ini miskin. Habisnya, mobil-mobil lain mewah dan kinclong sih.

Bersekolah di sekolah orang-orang kaya ngebuat aku terlihat mencolok. Mencolok karena paling kucel dan nggak kinclong maksudnya. Mulai dari sepatu, tas, mukena, sampai jenis snack yang dimakan waktu istirahat memperlihatkan banget kalau aku ini anak orang biasa-biasa aja. Minder? Jelas donk ya. Namanya juga anak kecil, belum bisa mikir logis. Akhirnya aku jadi anak yang pendiam dan nggak banyak omong. Kalem gitu deh.

Mencongak? Oh Tidak!

Ingatanku itu pendek. Sangat pendek malah. Ini emang penyakit yang lumayan berbahaya. Tapi aku terima apa adanya. Jangankan nama teman-teman SD, nama teman-teman SMA aja udah banyak yang lupa.

Nah, kejadian membingungkan yang kuingat sampai sekarang adalah kejadian waktu kelas 6 SD. Waktu itu aku lumayan pintar dan bisa masuk kelas 6A1 (dibuat tingkatan sesuai prestasi akademik. 6A yang paling pintar, 6F yang paling bodoh). Setiap pelajaran matematika, ada yang namanya “mencongak”.

Apa itu mencongak? Mencongak adalah ketika guru menyebutkan pertanyaan hitungan, si murid harus menjawab dengan super cepat. Kalau si murid telat menjawab alias berpikir lambat, dia akan kena hukuman. So, mencongak ini semacam pertaruhan harga diri. Kebodohanmu akan terpublikasikan dengan jelas. Aku sebagai pendatang baru (dan nggak bertahan lama) di 6A1 jelas ketakutan. Itu kelas dengan strata tertinggi, aku ini sadar diri, bukan anak genius yang pintar matematika. Aku selalu berkeringat dingin dan gugup setiap kali mencongak dimulai.

Aku ingat, waktu itu Pak (Tuh kan aku lupa namanya) Guru Matematika memberiku pertanyaan, “7x6 berapa?” waktu itu aku spontan menjawab 42. Tapi entah kenapa beberapa orang teman mendengarku bilang 48. ARGHH!! Super parah!! Aku yakin sekali menjawab 42. Tapi beberapa benar-benar yakin telinga mereka mendengar kata 48!! Apa-apaan nih?? Undefined feelings banget waktu itu sampai aku nyaris menangis.

Apa aku hampir diculik??

Kisah yang satu ini juga nyaris nggak bisa kulupakan. Waktu aku kelas 6 SD, adek laki-lakiku juga sekolah si SD Muhammadiyah Sapen ini. Waktu itu dia kelas 3 SD. Kami biasa pulang bareng, nunggu jemputan bareng.

Suatu hari, kami berdua seperti biasa, duduk di depan sekolah. Mengunggu Ayah datang dengan Ranger Kuningnya. Semenit, dua menit. Sejam, dua jam. Sekolah mulai sepi, nggak ada lagi murid yang tersisa. Cuma tinggal guru piket. Kami masih setia menunggu.

Tiba-tiba Guru Piket mendekati kami. “ Aya sama Fii? Tadi ada telpon dari Ayah. Katanya beliau nggak bisa jemput karena harus layat, terus nanti disuruh ikut mobil sedan hitam. Itu mobil temennya Ayah kalian. Mobilnya lagi berangkat ke sini.”

Aku saling berpandangan dengan adekku. Kemudian mengangguk paham padahal kami hanya pura-pura paham. Sesungguhnya kami sangat bingung. Sedan hitam? Kalau nggak bisa jemput kami, biasanya Ayah menyuruh kakak sepupu kami untuk ganti menjemput. Dan itu selalu dengan motor, nggak pakai sedan hitam. Soalnya waktu itu saudara-saudaraku nggak ada yang pakai sedan.

Tapi kami tetap setia menunggu.

Selang agak lama, Ranger Kuning muncul lengkap dengan wajah keeling Ayah dan cengirannya yang unik itu. Menampakkan giginya yang putih bersih.

“Ayah, kok telat?”

“Maaf tadi lagi ngirim barang. Tapi alamatnya agak susah, jadi lama deh.” (Ayahku dulu pemilik toko merangkap karyawan merangkap supir juga)

“Iya…” Aku dan adikku naik ke jok depan (Ya iyalah! Namanya juga mobil bak terbuka, mana ada jok belakang!)

“Katanya layat? Trus yang mau jemput pakai mobil sedan siapa?” Adekku langsung tanya ceplas ceplos.

“Layat?” Ayahku bingung. Aku lihat beliau pakai kaos yang penuh noda tanah liat dan peluh. Jelas bukan tampilan seseorang yang baru pulang melayat.

“Kan tadi Ayah nelpon. Bilang layat, trus aku sama mbak Aya mau dijemput pakai sedan hitam sama temennya Ayah.”

Kira-kira begitu percakapan kami. Sudah aku rekonstruksi sedemikian rupa. Maklum, kejadiannya sudah belasan tahun lalu.

Waktu aku SMU, aku ungkit cerita itu lagi. Ayah cuma tersenyum dan bilang, “Untung kalian nggak jadi diculik.”

Inget, kan? Ayahku dulu seorang organisatoris garis keras yang menentang Orde Baru habis-habisan. Inget, kan? Ayahku pernah dipenjara gara-gara menolak azas tunggal Pancasila. Organisasinya pernah diblacklist pemerintah Soeharto. Waktu SMU juga (pasca Orde Baru tumbang) aku baru tahu nama asli ayahku. Ternyata nama yang biasa beliau pakai itu nama palsu!!! Beliau memakai nama palsu sebab nama asli beliau terdaftar di TO pemerintah Soeharto!!!

Astaga!! Kalau waktu itu ayahku datang terlambat, entah apa jadinya kami berdua.

Selasa, 15 November 2011

Hey!! Menara!!!!!!!!!!!!

Hey! Menara tinggi!

Bongkar-bongkar folder lama, nemu foto ini:
2011: kondisi menaraku skg menyedihkan, penuh karat, nggak terawat

Menara favorit kami. Aku pertama kali dibawa ke sini sama Babi. Katanya, itu tempat dia mbolos semasa SMU, membeli beberapa botol minuman dan mabuk di kaki menara. Yah, kenakalan anak SMU yang wajar saja.

Menara itu tinggi menjulang. Dulu (lima tahun lalu) menara itu merah warnanya. Merah dan bersemangat. Merah dan tinggi. Dulu, aku yang takut ketinggian, berani naik sampai ke puncak. Sama Babi yang waktu itu pakai jumper merah.
2006: Jangan Liat Babi-nya, liat backgroundnya ^^ foto ini diambil di atas menara. 

Dari atas menara itu, aku bisa melihat wilayah kaliurang. Atap-atap vila yang tampak berantakan dan jalan-jalan aspal yang berkelok. Aku juga bisa melihat moncong merapi dan puncaknya yang kering berpasir, lalu hutan-hutan di kakinya. Bagus. Aku suka. Suka sekali. Entah, sudah beberapa kali kami bolak-balik menara (sebelum erupsi merapi).

Di saat aku sedih, aku marah karena urusan rumah, Babi meluangkan waktu untuk menemaniku duduk berjam-jam di sana. Dan kalau kabut datang, rasanya asyikkkkkk sekaliiii…..semua-mua terlihat putih. Berasa di atas awan deh ^^ sangat dingin dan menenangkan. Nggak ada suara-suara mobil yang berisik. Cuma ada wangi pegunungan dan kabut. Cuma ada suara angin dan gemerisik pepohonan.

Aku rindu tempat itu. Terakhir aku melihatnya (setengah tahun lali), waktu aku datang ke acara perpisahan Si Bungsu. Hotel tempat acara berlangsung hanya berjarak beberapa meter dari Menara itu. Pada saat itulah, aku foto Menara Merahku. Yah, sudah nggak lagi merah, tapi kini berkarat. Dan ketika aku mencoba naik, aku dimarahi. Sudah terlalu rapuh kata pengawasnya, jadi digembok deh. Aku kecewa.

Kenanganku juga seperti itu (sudah kubilang ingatanku pendek). Suatu saat akan berkarat dan terasa kabur, nggak lagi bisa dijangkau otak kecilku. Apapun itu, walau sudah tak terasa jelas, tapi aku masih bisa tersenyum ketika merasakannya. Bahkan mungkin, suatu waktu, aku akan tersenyum karena suatu kenangan yang aku nggak tahu itu apa :)

Minggu, 13 November 2011

Dilema: Tidak Bisa Tidak Pilih Kasih

FAKTA: Aku memang yang paling pendek

Ini hari minggu, dan seharian tadi aku menghabiskan waktu untuk rapat kerja. Sekitar pukul dua siang, kepler kesayangku berdering, Si Bungsu menelpon.

“Mbak Aya kapan pulang? Aku mau berangkat ke asrama nanti jam 4. Aku mau minta uang saku.”

“Sabar ya, Mbak Aya masih rapat. Nanti aku usahain pulang sbelum jam 4, tapi kalau nggak bisa, berangkat habis maghrib nggak apa ya?”

“Mmmm….iya udah. Nggak apa-apa, tapi diusahain ya.”

Si Bungsu, kelas 1 SMP [lagi-lagi di yayasan milik ayahku] dan memutuskan untuk asrama. Dia pulang ke rumah setiap sabtu sore pukul 4 sore dan kembali ke asrama pada hari minggu pukul empat sore juga. Aku sampai di rumah jam setengah enam sore, jadi aku langsung mandi dan terlambat ikut makan malam bareng tiga adekku lainnya.

Setelah Si Bungsu selesai mengangkut koper ke bagasi mobil, aku masuk ke menyusulnya dan mengangsurkan uang saku untuk seminggu.

Dari jok belakang, Si Bungsu menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan. Katanya, “Ini minggu kemarin kelebihan sepuluh ribu, Mbak.”

Ew…manisnya adekku yang satu ini. Kalau adek-adekku yang lain pasti bakal bilang, “Kembaliannya buatku ya!”

Sepanjang perjalanan kami mengobrol.

“Aku kepilih jadi wakil sekolah untuk lomba paskibra, Mbak. Kayaknya nanti aku butuh sepatu sama perlengkapan lainnya. Trus minggu besok, minggu besoknya lagi (maksudnya dua minggu yang akan datang) aku boleh nginep di rumah rahma nggak? Boleh ya? Itu temen sekamarku di asrama.”

“Hmmm….gimana, Bro?” tanyaku sambil menoleh ke Si Nomor Dua yang sibuk menyetir. Plis deh, obrolan kami udah kayak orangtua yang lagi nganter anaknya ke sekolah!

“Ya, nggak apa-apa. Tapi Mas yang nganter-jemput kamu ke rumah Rahma ya?”

“Dijemput sama eyang uti-nya Rahma kok.” Jawab Si Bungsu.

“Ya udah, biar pulangnya aja yang dijemput Masmu. Gimana?” tanyaku.

“Kan pulang dari rumah Rahma langsung ke asrama, Mbak. Ya dianter eyang uti.”

“Udah biar aku yang anter jemput aja. Biar aku juga bisa masrahke dia Eyangnya Rahma.”

“Yawda…. Dua minggu lagi, kan? Ingetin Mbak Aya biar ngasih uang sakunya skalian double dua minggu.”

“Makasiiiiiih ya Mbak Ay…”

Ya ampun. Adekku yang satu ini manis banget sih. Prestasi akademiknya bagus, kalem, kalau ngomong lemah lembut, penurut, nggak suka bentak-bentak dan nggak pernah lupa bilang tolong dan terima kasih. Anak siapa ini? Belajar jadi anak baik gitu dimana sih? Soalnya nih ya, ketiga kakaknya brengsek semua.

Yang sulung alias aku sendiri hobi bolos sekolah, keluyuran, brantem sama ibu hampir tiap hari, kasar, nggak tahu aturan, zaman smp malah suka mukulin orang. Yang nomer dua, sama-sama hobi ngeluyur, berantem, dan know lah, kenakalan khas remaja. Sementara yang nomer tiga lebih bikin frustasi. Bolosnya nggak sehari dua hari, tapi seminggu lebih. Kalau ngomong kasarnya minta ampun, nggak peduli sama orang yang lebih tua kayak aku sekalipun. Kelewat cuek. Kalau udah marah, misuhnya lebih fasih daripada aku. Udah gitu pacar ganti tiap beberapa bulan sekali, gimana nggak bikin jengkel??

Tambah lagi ya, kalau misal toko sedang kosong dan nggak ada karyawan, Si Bungsu lebih bisa menghadapi pembeli daripada kakaknya yang notabene 4 tahun lebih tua itu. Si Bungsu bisa menghitung dengan cermat, bisa membuat nota sesuai instruksiku, dan bisa negosisasi harga. Apa nggak keren??

Dalam perjalanan pulang, aku dan Si Nomor Dua terlibat pembicaraan serius.

“Bro, kamu urus Si Nomer Tiga donk. Kalau Si Bungsu, nggak perlu dikhawatirkan. Udah dewasa, bisa urus dirinya sendiri. Aku percaya kok sama dia. ”

“Ya nggak gitu. Tetep harus dikasih perhatian yang sama.”

Adil bukan berarti harus sama, Bro. Adil itu sesuai proporsi masing-masing.”

“Kamu luangin waktumu lah, pergi nemuin guru BK nya Si Nomor Tiga. Konsultasi ada masalah apa di sekolahnya.”

“Aku kan kerja full dari pagi sampe sore. Sore mpe malem ngurus toko-tokonya Ayah. Belum lagi kalian bertiga kalau minta uang nggak liat sikon. Musim ujan gini stock barang habis, nggak ada produksi. Pemasukan juga menurun. Tolonglah, urus si Nomor Tiga. Kamu dampingin dia. Dia butuh dukungan psikologis tuh.”

“Lho, aku kan sibuk kuliah. Bolak-balik Solo-Jogja. Belum lagi tugas numpuk, trus juga mikirin Sabi [nama pacarnya]…”

“Untung banget deh aku punya pacar yang nggak ngrepotin, nggak sering berantem, nggak nambahin beban pikiran,” aku memotong rentetan kalimatnya.

“Bukannya sering berantem, tapi kan mikir ke depan. Mikir nikah. Nggak apa kan kalau aku ngelangkahin kamu?”

“He’emh…santai aja lah,” sahutku malas. “Tapi kalau semua urusan rumah dipasrahin ke aku, aku capek jiwa raga ya. Biar aku kerja ma urus bisnis, kamu urus adek-adek. Okey?”

“Oke deh, Sist. Nanti kalau aku udah selesai kuliah, aku handle satu toko. Kamu satu toko, dan ortu kita biar konsen ke Si Nomor Tiga.”

“Yaa…ya…” aku mengantuk dan begitu sampai rumah langsung berangkat tidur.

PAGINYA

“Sist, Bangun. Minta duit bensin donk,” Si Nomor Dua dan Si Nomor Tiga kompak menendang-nendang badanku yang tergeletak di kasur di depan TV. Aku menguap dan membuka dompet.

“Sist, nanti malem aku nggak pulang ya. Pulang lusa!!! Bye! Muach!!” Si Nomor Dua berlari terburu ke garasi. Aku terduduk bengong seperti orang bodoh. Eh…..adek brengsek!!!!!

Jumat, 11 November 2011

MyBlack, where are u???

Sore gerimis. Ketika aku masuk kamar kost dan melihat meja kecilku, tiba-tiba aku rindu koleksi lamaku yang sudah kubuang sebulan lalu. Koleksi? Apa ada kata lain yang lebih tepat untuk setumpuk bungkus Djarum Black Slimz di atas meja? itu koleksiku, dulu. Sebelum masuk tempat sampah pada awal oktober. Sehari setelahnya aku dibuat menyesal lantaran semua Circle K mengatakan satu hal yang sama “Djarum Black slimz sudah nggak diproduksi lagi, kak.”

Alamak!!
sebagian dari koleksiku dulu....


Aku nggak benci perokok, sebab aku sendiri konsumen rokok. Dan sudah bertahun-tahun lamanya aku setia dengan Djarum Black. Sejak awal kemunculannya pada tahun 2006, mulai dari Djarum Black original (halah), djarum Black tea (yang mati di pasaran), Djarum Black capucino (yang mati dipasaran juga), Djarum Black Slimz (favoritku dan akhirnya raib juga) sampai Djarum Black menthol (yang nggak akan pernah kuhisap sebab aku nggak suka rokok menthol).

Baiklah, point pertama yang akan kita bahas adalah respon orang-orang terdekatku:

Ayah   : Marah besar ketika beliau menemukan rokok di saku tasku ketika aku SMP. Beliau ngamuk untuk kedua kalinya saat menemukan rokok [lagi-lagi di tasku] saat aku SMU. Seiring berjalannya waktu, ayahku nggak lagi merazia tasku. Beliau makin sibuk, dan aku makin tahu diri untuk nggak membawa rokok ke rumah.

Ibu       : Diam, sepertinya sedih tapi kemudian disibukkan dengan hal lain.

 Sahabat kecilku          : Marah, dan dengan ketus bilang “Pilih rokok atau aku?”. Ketika kujawab aku memilih rokok, kami berhenti bertegur sapa bertahun-tahun lamanya. Sampai semester akhir kuliah kami bertemu lagi dan kembali dekat. Tentunya nggak ada lagi pilihan sulit “Sahabat atau Rokok?”

Muk     : Meminta beberapa batang rokokku saat kami berjumpa dalam kondisi galau. Dia santai dan nggak melakukan protes apapun

Babi     : Mengizinkan aku merokok hanya di tempat sepi, dimana nggak ada orang lain yang melihat. Dan dia paling nggak suka melihatku merokok di depan teman-temannya. Terakhir kali, dia mengizinkan aku merokok di tempat umum (game center dan isinya memang teman-teman kami) adalah ketika aku stress berat karena kasusnya. Mungkin dia merasa bersalah, merasa membuatku mellow galau gitu.

contoh orang bodoh yang suka ngambil Blackku -___-

Naga    : Dia nggak suka melihatku merokok, tapi juga nggak melarangku. Dia bilang,”Mau gimana lagi? Aku sendiri perokok, masa sih ngelarang kamu ngerokok?”.

 Hal yang unik dari Naga adalah:
-          Dia nggak mau menyalakan pematik untukku. Contoh ketika aku harus menemaninya manggung di klub malam, dengan hawa dingin dan musik yang jedug-jedug itu, aku bisa benar-benar mati gaya tanpa rokok. Melihat sebatang Black terselip di bibirku, dia cuma menyodorkan pematik. Nggak menyalakannya untukku!! Wew! Kalau cowok-cowok lain sudah pasti menyalakan pematik untuk cewek ya, semacam tindakan yang gentle begitu?? Waktu kutanya kenapa, Naga menjawab, “Risih ah…terkesan kayak aku ngedukung pacarku ngerokok.”

Point kedua yang akan dibahas adalah wacana umum tentang perempuan perokok. Perempuan perokok kerapkali dianggap sebagai perempuan nggak bener. Apalagi di mata orang-orang tua. Berani sumpah budhe-budheku bakal cerewet menahun kalau sampai tahu aku seorang perokok. Di mata mereka, di mata orangtuaku juga, perempuan perokok identik dengan perempuan nakal yang nggak bisa menjaga diri. Di zaman dulu, perempuan-perempuan yang merokok adalah para pelacur. Seorang gadis biasa dari keluarga terhormat nggak akan merokok.

Ayahku (dulu perokok berat dan berhenti saat aku lahir. Beliau nggak mau bayinya yang super imut ini terkontaminasi asap nikotin) pernah bilang, orang yang pintar dan cerdas serta berpengetahuan ilmiah nggak akan merokok. Komentar beliau yang paling pedas, “Orang itu bodoh. Naik motor sambil merokok, jelas rokoknya habis tertiup angin. Sudah merusak kesehatan, sia-sia pula.” Di telingaku terdengar seperti ,”Seorang perokok adalah orang bodoh. Perempuan yang merokok adalah perempuan bodoh.” I see, dan aku bukan ABG keras kepala yang tak tahu diri dengan merokok di sembarang forum.

Aku pernah berkelit, “Ini hidupku sendiri. Kenapa mesti repot ngurusin pendapat orang lain? Biar orang ngomong a i u e o kek, kalo faktanya kita nggak a i u e o ya ngapain dipikir?”

“Orang lain itu cuma melihat dari luar, nggak memahami. Mereka memperlakukan kamu sebagaimana kamu terlihat. Sekarang cewek pulang dini hari, pakai rok mini. Yaaa, mungkin dia pulang kerja lembur dari kantor atau apalah, lantas dia diperkosa. Menurutmu kenapa? Ya karena mindset masyarakat kita kan? Cewek pulang pagi dan berpakaian seksi jelas identik dengan cewek nggak bener. Gasak abis sekalian.” Ujar seorang kawan dengan berapi-api.

Kalau kata Naga, “Kalau mau cuek nggak mikir pendangan orang, idup aja di hutan. Sendiri, berbuat semaumu.”

Kalau kata kawanku yang lain, “Silakan bertingkah seperti apapun, tapi harus siap resikonya. Siap dilecehkan, siap diperkosa, siap dicibir, siap dicaci maki, siap dihujat. Halooo, ini Indonesia ya, bukan Amerika.”

So?? Aku memutuskan untuk: MEROKOK HANYA SAAT BUTUH DAN DI TEMPAT YANG TEPAT.

Aku merokok saat berada di tempat yang super dingin. Aku merokok saat stress mengerjakan tugas kantor. Aku merokok saat membuat tulisan-tulisan tentang ide gila dalam kepalaku. Aku merokok saat merenung, menganalisis diri sendiri untuk kemudian membuat resolusi. Semacam itulah. Bukan fiksi, skripsiku selesai dengan cepat (meskipun sedang patah hati) karena Black Slimzku selalu setia menemani.

Yang perlu kalian tahu:
  • Tembakau paling tidak mempunyai dua dampak positif pada pikiran: pertama, tembakau menimbulkan perasaan tenang dan kedua, dapat meningkatkan ingatan dan kewaspadaan.
  •    Nikotin meningkatkan pemrosesan informasi dengan cepat. Dan juga meningkatkan ingatan jangka pendek, ingatan spasial, dan waktu reaksi pada pasien alzheimer. nikotin mungkin tidak hanya meningkatkan transmisi diantara sel-sel saraf yang terlibat dalam pembentukan ingatan, tetapi juga menangkal pembentukan plak-plak beracun yang bertanggung jawab atas perkembangan penyakit Alzheimer
KEsimpulannya:

Kepada para perokok: Jangan berhenti merokok, tapi merokoklah sesuai kebutuhan. Artinya, kendalikan tingkat konsumsi rokok kalian. Pergunakanlah tembakau dan nikotin dengan sebaik-baiknya. Kalau kalian sampai kecanduan dan diperbudak rokok, berarti kalian memang bodoh. (Dengan kata lain aku ini lumayan pintar ya. Ahahahahaha -____-)


*Versi Idiot

Kamis, 10 November 2011

Perempuan yg tak bisa memasak [seperti aku]

10 Nov 2011
19.00 WIB

Akhirnya sampai rumah juga. Syukur deh, agenda #BukaGratis perdana sukses. Yang belum tau, follow @bdandelions aja. Cukup Retweet info #BukaGratis, dan satu orang yang beruntung bakal dapat makan gratis setiap Senin-kamis (khusus yang puasa lho ya). Tempat boleh request. Jogja Only ^^

Nah, ceritanya tadi kami (aku dan satu follower yang beruntung) makan di Mie Tarik Jalan Kaliurang kilometer 5. (Nggak ngeh alamatnya, tapi yang jelas persis di sebelah Sop Ayam Pak Min)  


Setelah kami memilih menu, kami mulai ngobrol. Obrolan kami agak terganggu karena di belakangku, seorang ibu-ibu menelpon dengan suara keras. Mau nggak mau kami menguping. Ah, sebenernya nggak berniat menguping, tapi tanpa sengaja menguping (loh??)

Aku cuma menangkap beberapa kalimat yang sangat emosional. Dan kurang lebih, intinya begini:
“Coba bayangkan, perempuan yang sudah capek seharian bekerja cari uang, sampai di rumah nggak ada makanan, malah dibentak-bentak. Dikatain A*u, T*I, bla…bla…bla…”

Yak! Yang terekam di kepalaku hanya itu. Rasanya #Jleb. Fenomena wanita karier, wacana yang nggak pernah berhenti didengungkan Ayahku.

Perempuan yang sudah capek seharian bekerja cari uang, sampai di rumah nggak ada makanan

 Lho?? Aku banget. Aku inget kulkas yang kosong. Kecebong-kecebongku yang cuma kukasih duit dan kusuruh makan di luar. Aku ingat, aku suka ngomel panjang lebar dan marah-marah nggak karuan kalau pulang dari kantor disuruh bantu-bantu cuci piring. Aku tahu rasanya capek, tau banget. Rasanya pengen segera mandi dan nempel di kasur. Nggak perlu ngerjain tetek bengek pekerjaan rumah tangga.

“Kamu itu perempuan. Tetap harus belajar masak dan menguasai dapur meskipun cuma dikit. Semua suami pasti pengen dimasakin istrinya.” Kata Ayahku dulu,

“itu zaman kapan, Yah?”

“Kalau nanti suamimu jadi hobi makan di luar trus nggak betah lama-lama di rumah gimana?”

“Ih…amit-amit.” jawabku bergidik ngeri.

Ah, aku ini…sama sekali nggak terampil memasak. Aku pernah masak tumis kangkung, sesuai resep lho! Tapi rasanya hambar abis! Parah lagi ya, aku mencoba masak nasi goreng, dan si Nomor 2, adek cowokku yang sekarang sedang sibuk Skripsi itu dengan keji membuangnya ke tong sampah.

Katanya, “Ini sih sampah. Nggak bisa dimakan.”

Huhuhuhu…masih mending Babi ya. Dulu aku masak ayam goreng kunyit untuknya. Aku sendiri malas makan. Tapi Babi berkomentar, “Aku nggak mau makan masakanmu lagi. Bikin aku keracunan.”

“Hiks…” Aku memelas

“Keracunan cintamu….” katanya lagi sambil tertawa.

Aku bengong sepanjang perjalanan pulang dari #BukaGratis. Aku sih nggak masalah, sekarang masih muda dan imut-imut, masih bisa ambil overtime sampai tengah malam sekalipun. Aku menikmatinya, berangkat ke kantor-bekerja-pulang-maen atau bersantai. Nggak ada tanggungan anak-suami yang menanti di rumah.

Ah, kangen Ayah deh. Sepertinya aku mulai mengendus sesuatu di balik kepergian Ayahku ke Mekkah. Ayah sengaja memberiku tanggung jawab penuh, termasuk di antaranya keuangan rumah tangga sampai ke bisnis beliau. Sangat beresiko menurutku. Bukan nggak mungkin aku frustasi lantaran nggak bisa membagi waktu antara kerjaan kantor, bisnis material Ayah, dan urusan rumah termasuk kecebong-kecebong kecil itu. Aku kan perempuan. Idealnya (menurut orang-orang tua) perempuan mengurus rumah tangga dan pendidikan anak sementara Sang Suami bekerja mencari uang. Kalau sekarang, aku menjalani dua peran sekaligus! Ayahku terlalu percaya padaku. Aku sungguh terharu! Hiks!

“Mbak Aya kan perempuan. Kerja boleh, tapi juga ingat rumah. Besok kalau udah punya suami terus Mbak Aya sibuk kerja sampai anak-suami nggak keurus gimana? Masih bisa bahagia? Uang bukan segalanya. “

“Susah lho, ketika nanti Mbak Aya punya penghasilan jauh di atas suami. Susah untuk bisa menghargai keberadaan lelaki kalau udah terbiasa mandiri. Ya…bukan berarti Ayah nyuruh Mbak Aya manja. Sama sekali nggak. Justru Ayah bangga kalau Mbak Aya udah bisa hidup sendiri, tapi tetap harus diinget, lelaki itu punya harga diri. Tugasnya istri itu menghargai suami, harus bisa jaga perasaannya.”

“Jangan terus bicara seolah-olah kamu itu nggak butuh lelaki.”

“Laki-laki itu kalau harga dirinya udah keinjek, bisa marah besar. Bisa hancur yang namanya rumah tangga.”

“kerjakan semuanya sesuai proporsi masing-masing. Ketika di kantor, Mbak Aya seorang karyawan yang punya anak buah. Mbak Aya bisa menyuruh ini itu. Tapi di rumah, Mbak Aya adalah seorang istri yang harus nurut sama suami, dan nantinya juga jadi ibu yang harus deket sama anak-anaknya.”

Seperti biasa, aku akan ngeles, “Aku mau cari suami yang ngedukung karierku”

Dan Ayah cuma bilang,  “Amin. Semoga dapat imam yang baik ya.”

Oke, ini sudah lewat dari seminggu Ayah meninggalkanku. Aku sudah cukup beradaptasi. Pertama, keuangan tokoku mulai membaik meskipun aku masih gagap menghadapi konsumen dan masih pusing menghadapi deretan angka saat pembukuan. Kedua, Si Nomor 3 sudah mau berangkat sekolah dan terlihat cuek menghadapi kimcil-kimcil brengsek berkawat gigi itu. Itu artinya, aku nggak perlu ke sekolah dan menemui guru BK-nya. Ketiga, aku mulai bisa melek setelah subuh alias nggak tidur lagi. Aku mulai mau menyapu dan cuci piring tanpa harus diteriaki (Ya iyalah, sekarang nggak ada Ortuku, siapa yang mau neriakin).

Cuma satu masalahnya, aku masih belum bisa memasak. Belum, tapi aku sudah bisa goreng sosis dan nugget kok -____- 

ps: Menu yang kupilih hari ini adalah Mie Tarik Goreng Seafood....enak. Mie-nya kerasa udang banget >.<

Selasa, 08 November 2011

Doa Seorang Anak dan Tamiya

Tulisan lawas, sebuah pelajaran hidup dari Babi.


by Black Dandelions on Wednesday, May 12, 2010 at 9:43pm


Suatu hari beberapa minggu lalu, aku mewek seperti bebek bercucuran air mata. nggilani sekali. Mataku sembab dengan pipi yang basah dan bibir tekuk menekuk. Menangis berhari-hari karena kehilangan. Aku sholat malam dan berdoa terus menerus supaya 'yang hilang' itu kembali padaku. aku lupa kapan tepatnya, tapi Babitampan ada di dekatku dan tiba-tiba berkisah tentang doa...dia berkisah tentang doa seorang anak yang ikut lomba tamiya...

Babitampan tanya, "Kamu kalo berdoa ma Tuhan bilang gmn?"

Kujawab, "Contohnya nih: ya Allah...kasih aku motor baru..." ya pokoknya yg SPESIFIK begitulah.

Kemudian dia bilang, “Aku punya cerita. suatu hari ada seorang anak yang ikut lomba tamiya. tamiya milik si anak itu biasa aja dan ngga secanggih lawan-lawannya. ketika akan mulai, pada hitungan ke dua, si anak berteriak 'tunggu!!' kemudian dia ambil tamiya nya dan komat-kamit sendirian. setelah itu dia taruh tamiyanya dan mulai bertanding. seperti perkiraan, tamiya si anak tertinggal...tapi ternyata di putaran terakhir, tamiya si anak tadi menang. sungguh di luar dugaan...si anak tadi girang bukan main.

bapak-bapak juri kemudian bilang pada si anak 'bersyukurlah kau,nak. Doamu di dengar Tuhan'

lalu di jawab si anak, 'saya ngga berdoa semoga menang kok,pak'

bapak juri heran, 'hlo..terus kamu berdoa apa?'

jawab si anak, 'saya tadi berdoa ..Ya Tuhan..JANGAN BIARKAN SAYA MENANGIS KALAU SAYA KALAH YA..'”

wkwkwk....selesai ceritanya. Aku tanya sama si Babi, siapa anak lucu yang berdoa begitu?

jawabnya : RAhasia

Hahahha..sejak itu aku mengganti doaku...Percaya saja bahwa Tuhan selalu memberi kesempatan hambaNya untuk berusaha sesuai kemampuan dan Memberikan jawaban Doa yang tak terduga...Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang... :))

* maaph bi kalo adda yg salah...Lupiing ni :p

Minggu, 06 November 2011

Tragedi: Yesus AlaihisSalam

Dibuat kemarin, sehabis sholat Ied...


google.donk.ya.

Sungguh-sungguh terjadi dan sampai saat ini aku masih agak bengong memikirkannya. Tadi pagi, aku dan adek-adekku (tanpa kedua ortu) berangkat ke lapangan yang agak basah. Waktu sholat Ied rakaat pertama, aku merasa ada yang aneh. Lebih tepatnya, agak aneh dengan logat si Imam. Bacaan surat pendek (yang di baca setelah surat Al-Fatihah) terdengar janggal.

Oi oi, aku memang bukan seorang hafidz alias penghafal Quran, tapi ayahku kan seorang imam baik hati yang hobi baca surat super panjang setiap kali kami sholat jamaah di rumah (yang bisa bikin adekku tidur berdiri saking lamanya). So, aku menangkap kejanggalan itu. Susunan ayatnya seperti terbalik. Aku agak yakin, sebab beberapa ayat terdengar sangat familier di telingaku. Aku mulai menggumam dalam hati dan menghibur diri, “Aku ini siapa….hafal Quran aja enggak. Kalo sholat cuma baca Al-Ikhlas sama Al-Kaustar 3 ayat doank. Mungkin beliau —si Khatib— itu membaca surat apa yang aku nggak pernah dengar”

Selesai sholat, aku autis donk ya, langsung twitteran. Setelah membagi konsentrasi secara proporsional, 50% ke Timeline Twitter, 50% lagi ke ceramah tentang kambing kurban, aku menjalaninya sepenuh hati. Ketika sibuk meretweet, aku mendengar sesuatu yang asing.

“Sebagaimana dicontohkan Yesus Alaihis Salam….”

Aku bengong sebentar, mengalihkan perhatian dari Kepler hitam kesayanganku dan beralih ke sebelah. Muka Si Nomor 3 juga sama bingungnya,

“Gila thu khatib! Masa nyebut Yesus Alaihis Salam?? Nggak sekalian putra Bunda Maria?”

“Jadi bener tadi khatibnya nyebut Yesus?”

“Iya, bener”

Tapi kenapa nggak ada jamaah yang protes ya? Pikirku dalam hati. Mungkin yang lain sama atau lebih autis dari aku.

Sekedar memastikan, aku menoleh ke arah kiri. Ada mbak-mbak seusiaku yang masih berbalut mukena.

“Tadi khatibnya nyebut Yesus Alaihis Salam?”

“Iya, Mbak. Mungkin maksudnya Isa A.S kali ya?”

NGOK!!!

Si Khatib tadi kalau nggak salah, seorang guru besar Universitas Islam ***** di Yogyakarta. Aku sibuk berpikir, “Apa Beliau mualaf (orang yang baru masuk islam)?” [Logikanya: seorang mualaf pasti masih masih fasih melafalakan istilah-istilah dari keyakinan sebelumnya]

“Tapi hebat ya kalau mualaf udah jadi Guru Besar di Univ Islam *****? Bukannya seleksinya super ketat? Trus dasar agamanya harus super kuat? Secara ya itu institusi dengan embel-embel agama.”

“Kalau mualaf, kok keren banget udah boleh jadi imam Sholat Ied yang notebene bertanggung jawab memimpin ratusan orang dalam melakukan ritual religius ini. Tanggung jawabnya ke Tuhan kan gedhe buanget.”

“Ah, apa beliau seorang akademisi yang hobi berdebat soal pluralisme?”

“Aku jadi khawatir jangan-jangan bacaan sholatnya tadi juga ada yang belibet dan tertukar dengan lirik lagu berbahasa arab.”

“Ya Tuhan, fenomena apakah ini?”

Setelah updet status, seorang teman mengirim BBM “Itu akulturasi budaya, ay….hahahhaha”

Ngiiiik…ya sudahlah. Kalaupun aku membuat essai tentang kejadian ini lantas mengirimkannya ke Koran lokal dan jadi perdebatan, cuma akan menambah kerjaan FPI. Lagian aku juga nggak ingat siapa nama Khatib  itu, nggak punya rekaman suaranya, dan nggak punya barang bukti apapun. Aku akan terlihat seperti orang bodoh yang melemparkan wacana yang meresahkan masyarakat.

Eits…meresahkan??? Okelah, aku pasang status di FB dan twitter plus BBM dulu. we’ll see, seberapa besar dan bagaimana reaksi masyarakat terhadap tragedi “Yesus AlaihisSalam” ini. Melihat seberapa peduli masyarakat terhadap agama yang mereka anut. Melihat seberapa jauh paham pluralisme merasuk ke kota gudeg tercinta ini. Karena menurutku, pruralisme adalah salah satu indikasi westernisasi dan lagi-lagi akan berujung ke AMERIKA, AMERIKA dan AMERIKA. Penjajah nomor satu di dunia.

 Aih, pacarnya adekku udah datang. Daging kurban juga udah datang, so waktunya kita bakar-bakar sate!!! Selamat Hari Raya Idul Adha untuk yang merayakan. Untuk yang sudah berkurban, (termasuk para sapi dan kambing), semoga amal ibadah kalian diterima oleh Allah SWT. Amiiiiin! :D