Jumat, 30 September 2011

Menunggu Itu [Nggak] Membosankan

01102011
Statusku facebookku pagi ini:
 Dulu, aku suka terburu-buru & benci menunggu. Tapi sekarang aku baru sadar, menunggu itu enak juga. Ada waktu utk melihat sekitar dgn lebih seksama lantas memikirkan maknanya. Ada waktu utk berkarya & berusaha menjadi lebih baik.
Kalimat itu melintas begitu saja di otakku. Memang, dulu aku selalu benci menunggu dan selalu ingin semuanya berjalan cepat dan tepat waktu. Waktu masih pacaran sama Babi, dia punya hobi terlambat jemput. Nggak tanggung-tanggung, terlambat bisa satu jam lebih! Lama-lama aku terbiasa, dan karena dulu aku belum punya Paus (Honda Beat Biru kesayanganku) dan aku kapok naik motor bergigi, aku memilih naik bus umum. Aku bisa menunggu lebih dari 30 menit di tempat pemberhentian bus, menunggu Babi datang dengan Suzuki Satria FU merahnya.
Bosan? Sedikit. Aku lupa kapan tepatnya aku berhenti merasa bosan menunggu Babi datang menjemput. Aku lupa sejak kapan aku suka memandangi penjual Es Pisang Ijo dan Cakwe yang berjualan beberapa meter dariku. Atau memandangi tukang parkir yang sibuk menata motor, atau kernet bus yang bergelantungan di pintu, atau anak sekolah berseragam lusuh, atau pengamen di perempatan, atau cowok manis dengan motor balap yang membunyikan klakson dengan membabibuta. Banyak sih yang kulihat.
Bapak tua yang menyeret gerobak sampah tanpa alas kaki. Bau, aku menutup hidung. Lantas aku berpikir, apa Bapak tua itu punya anak? Berapa pendapatannya sehari? Kalau anaknya sekolah, apa bisa beli baju seragam baru setiap tahun seperti adekku? Kalau anaknya sekolah, apa bisa belanja crayon besar dan satu paket pensil warna merk Faber Castle? Apa dia punya istri? Apa istrinya pernah perawatan di salon atau pusat kecantikan? Selesai berpikir begitu, aku ingin memukul kepalaku sendiri.
Pengemis cacat di perempatan, yang kulihat kakinya buntung sebelah dan tangannya tumbuh nggak sempurna seperti gumpalan daging yang ditempel —aku bingung bagaimana mendeskripsikannya. Huhuhuhuhu— itu, apa dia bisa makan tiga kali sehari? Kalau kata beberapa orang, pengemis itu penghasilannya besar. Aku sebenarnya penasaran, tapi aku juga masih malu untuk beranjak ke seberang dan bertanya ‘Berapa pendapatan Bapak sehari?” jadi aku cuma diam di tempat. Pikirku, sebesar apapun pendapatannya, apa dia bisa membeli Avanza dan menyewa sopir pribadi?
Apa Bapak itu punya istri? Apa istrinya sayang dan cinta sama Bapak itu? Bapak itu cacat. Perempuan yang menjadi istrinya pasti perempuan hebat dan berjiwa besar. Jujur, saat sahabatku dengan lantang berteriak, “Kamu kalau milih pacar masih lihat fisik sih!” aku diam nggak melakukan pembelaan.
Kalau pengemis itu punya anak, apa yang dirasakan anak-anaknya? Apa mereka malu punya ayah seperti itu? Ayahku pendek, kecil, berkulit gelap tapi dihormati bawahan-bawahannya dan disegani rekan-rekannya. Aku sering membanggakan Ayahku yang hebat. Kalau anak-anak pengemis itu? Ya Tuhan, aku bahkan nggak bisa memikirkan bagaimana perasaan mereka. Dulu, Ayahku pernah menjemput dengan kaos lusuh dan mobil pick-up merk Chevrolet warna kuning yang mirip rongsokan berjalan, dan aku malu. Aku, cewek ingusan berseragam SD itu ngambek karena Ayahku berpakaian lusuh dan membawa rongsokan —sekarang baru kutahu betapa berharganya kau Ranger Kuning—ke sekolahku yang saat itu SD paling Elite se-Jogja.
Rasanya ngilu. Maaf, Ya Tuhan kalau aku masih sering mengeluh ini itu. Mendadak aku merasa malu.
Ps: Babi datang menjemput, dan walaupun motornya Satria FU yang didesign untuk ngebut, dia mengendarainya dengan kecepatan 30-40 km/jam. Memberiku waktu lebih lama untuk melihat-lihat sekitar dan sibuk berpikir sendiri.

Selasa, 20 September 2011

Artikel Lawas ttg Ariel... gk jauh dr wacana rok mini...

                                                Saya Bukan Pembela Ariel….

                Ketika saya sedang asyik ber-facebook ria, seorang teman mengirim pesan online yang berbunyi, “video Cut Tari mantap”. Saya cuma geleng-geleng kepala melihat ulah teman sekampus saya ini. Kenyataannya belum lama ini masyarakat memang sedang heboh membicarakan video adegan mesum Ariel-Luna. Video yang direkam melalui kamera ponsel itu langsung menjadi top download di semua kalangan, mulai dari pelajar, mahasiswa, sampai para pegawai negri. Maklum saja, kedua orang itu, Ariel dan Luna Maya sama-sama public figure yang sedang naik daun. Status facebook-pun banyak berkomentar mengenai peristiwa memalukan ini. Belum sempat mereda, Ariel kembali dipermalukan oleh video (lagi-lagi adegan mesum) dengan orang yang disinyalir sebagai Cut Tari.

                Nama Ariel menuai banyak celaan mulai dari “The Next Pornstar” sampai nama besar Peterpan yang  diplesetkan menjadi Peterporn. Banyak pihak menuding Ariel sebagai pria amoral mengingat statusnya sebagai duda, sedangkan Luna Maya sendiri masih lajang. Sementara itu Cut Tari telah bersuami. Sungguh skandal yang memalukan. Terjadi perdebatan seru ketika muncul wacana untuk menyeret Ariel ke meja hijau. Sang vokalis tersebut sedianya akan dijerat undang-undang anti pornografi-pornoaksi sebagai tersangka ‘pembuat’ video porno. Jika benar terbukti pelaku adegan sex dalam kedua video tersebut adalah Ariel, bukan tidak mungkin wacana di atas menjadi kenyataan.

                Beberapa pihak mencoba membela Ariel dengan mengatakan bahwa video-video tersebut merupakan koleksi yang dibuat demi kepuasan pribadi, bukan untuk dikomersilkan.  Jadi dalam posisi ini, Ariel dan kedua wanitanya tersebut menjadi korban dan tidak berhak diberi sangsi. Pengedarnya-lah yang harus ditangkap dan dihukum.  Pernyataan tersebut sungguh sangat menggelitik batin saya.

                Inikah pola pikir seorang anak bangsa? Apa perzinahan sudah mencapai batas halal sehingga pantas dimaklumi? Dengan kata lain, zina dan selingkuh itu boleh asal tidak ketahuan. Seseorang berhak melakukan hubungan seksual dengan kekasihnya walaupun belum menikah dan bebas merekamnya selama menjadi koleksi pribadi. Alangkah anehnya. Moralitas tampaknya menjadi sesuatu yang terlupakan di dunia glamour selebriti.

Belum lama ini Indonesia diguncang polemik RUU Poligami dan nikah siri. Poligami dianggap sebagai solusi atas kebutuhan sex pria yang mulai hyper. Satu tubuh tak cukup, daripada menyewa pelacur lebih baik menikah siri, mungkin itulah yang terpikir dalam benak para pelaku poligami. Para pelaku poligami ini kemudian mendapatkan reaksi keras dari para feminis. Mereka dituduh melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Yang bisa saya lihat dalam dua kasus di atas adalah satu hal, yaitu sex. Ariel adalah seorang Hypersex.

                Hypersex adalah kelainan seksual yang membutuhkan lebih dari seorang perempuan sebagai pemuas birahinya. Dalam konteks medis, indikasi hypersex bukanlah banyaknya frekuensi kegiatan seksual seseorang, melainkan tingkat kepuasan yang diperoleh. Seorang hypersex tidak pernah merasa puas dan selalu membutuhkan objek yang baru. Hypersex dapat disebabkan oleh faktor fisik maupun psikologis. Faktor fisik yang mempengaruhi misalnya gangguan metabolisme tubuh maupun kelainan hormon. Sedangkan faktor psikologis yang mempengaruhi misalnya trauma dan perubahan pola pikir.

                Poin terakhir inilah yang mengusik pikiran saya. Perubahan pola pikir macam apakah yang dimaksud? Perubahan pola pikir selalu memiliki hubungan kausalitas dengan perubahan sosial masyarakat sekitarnya. Lalu dalam benak saya bermunculan artis-artis muda yang seksi, dengan hotpants dan baju Sabrina (baju dengan belahan dada rendah dan bahu terbuka). Perempuan-perempuan seolah berlomba memperlihatkan bentuk payudara mereka. Kompetisi ini tidak memandang tempat. Rok sekolah dipendekkan, seragam sekolah dibuat seketat mungkin. Kampus tak ubahnya sebuah catwalk tempat parade busana. Kantor-kantor swasta memberikan kelonggaran bagi karyawannya untuk memodifikasi seragam kerja. Di mall-mall dan pusat perbelanjaan, paha-paha yang putih mulus bertebaran seolah minta dielus. Di dunia selebritis (dunia dimana Ariel, Luna dan Cut Tari tinggal), pemandangan yang terlihat jauh lebih ektrim. Mini-dress dan gaun berdada rendah seolah menjadi pakaian wajib para aktris.


                Jika dahulu para pria harus repot-repot mengeluarkan banyak uang untuk menikmati tubuh perempuan, maka sekarang ada cara yang lebih efektif. Perempuan-perempuan muda bergaun mini bisa ditemui dimana saja, tidak hanya di tempat pelacuran. Setelah memasang target, para pria menempuh langkah selanjutnya. Bermodal rayuan dan sedikit perhatian (Ariel adalah seorang vokalis band pop yang pasti tahu bagaimana mengolah kata-kata manis yang membius para perempuan), lalu diformasikan dengan kata cinta, maka target akan jatuh dalam pelukan. Servis yang didapat tidak jauh beda dengan servis pelacur yakni hubungan sexual diluar pernikahan. Wacana pergaulan bebas ini jelas membuat prihatin berbagai kalangan. Tetapi para ‘korban’nya sendiri tidak merasa dirugikan sama sekali. 

                Saya teringat percakapan antara tokoh Jamshid dan pelacur di taman dalam film Pakistan berjudul “Room Mate”. Si pelacur mendiskripsikan cinta sebagai ‘alasan bagi pria untuk tidak membayar’. Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan perkataan si pelacur tersebut, karena memang pada kenyataannya seperti itu. Status Luna Maya adalah kekasih Ariel, dan semua orang akan bilang kalau hubungan seksual mereka dilakukan atas dasar suka sama suka.

                 Jika benar pada akhirnya Ariel dipenjara, apakah masalah ini akan selesai begitu saja? Selama masih ada dada dan paha berkeliaran di layar kaca maupun dunia nyata, permasalahan Hypersex ini akan terus berkembang. Akan muncul lebih banyak lagi Ariel-Ariel yang lain. Sepertinya para aktifis perempuan mempunyai PR yang sangat berat, yaitu menciptakan tameng untuk melindungi diri mereka sendiri dari keganasan kaum pria. Dalam hal ini, saya memandang pria sebagai korban atas obsesi perempuan dalam mengeksploitasi keindahan tubuhnya. Yah….tapi bukan berarti saya membela Ariel..

               
               

Senin, 19 September 2011

Waiting for the End

06082011 09.15 WIB

Yak, mati listrik sepagi ini dan kerjaanku nggak akan beres kalau nggak ada listrik. Untungnya, aku sudah sempat mendownload lagu ‘Kekal’ yang dinyanyikan Homogenic. Nice song! Aku jatuh cinta pertama kali pada lagu ini ketika menonton film cin[T]a. So, lagu ini menjadi satu-satunya lagu di winamp listku hari ini. Suka, sangat suka. Sebab mendengarnya, seperti menonton ulang film cin[T]a.

Sekitar dua satu setengah tahun lalu adik laki-lakiku datang dari Solo, menyodorkan sebuah flashdisk.

“Film keren banget, tentang arsitektur sih. Tapi cocok buat kamu. Film doktrin nih, pluralis,” katanya.

Aku tahu, meski aku hampir tak pernah curhat sambil berderai air mata, saudara kandung yang merebut jatah ASI-ku itu sangat memahami dilema jiwaku. Ehmm…kalau boleh dibilang begitu. Faktanya memang aku nggak pernah beruntung setiap kali menjalani hubungan istimewa —bahasa kimcilnya, pacaran— dengan lelaki. Selalu saja kandas dan hampir semua mantanku menjadikan Babi sebagai alasan. Cowok putih jangkung, dan Katholik.

“Tonton film ini,” beberapa teman juga merekomendasikan film yang sama untukku. Kupikir, aku menyukainya. Ini lebih baik daripada harus memukulku dengan helm begitu tahu aku punya pacar non-muslim. Ini lebih baik daripada menjodohkanku dengan seseorang yang tak kukenal. Aku memang butuh pencerahan, bukan paksaan.

Singkatnya, film ini berhasil mendoktrinku. Mungkin terasa sedikit berlebihan, sebab sejak awal aku bukan seorang pluralis yang menghalalkan pernikahan beda agama. Tapi beberapa teman menuduhku, mengkhawatirkanku, mencemaskanku.

“Kamu sayang Tuhanmu, atau makhluk ciptaan Tuhanmu?” (pertanyaan yang kuanggap bodoh karena jelas aku memilih Tuhanku)

“Kamu disuruh milih antara Tuhan atau dia.” (komentar yang nggak masuk akal)

“Kubunuh kamu kalau kamu sampai murtad.” (sahabat cowokku berkata dengan gaya keji)

“Sampai kamu pindah agama, aku nggak akan kenal kamu lagi.” (sebuah ancaman yang emosional)

“Kamu kenal dia berapa tahun? 5 tahun? 6 tahun? Orangtuamu sayang sama kamu berapa tahun? 22? Sebanding gitu?”

“Pindah agama karena pencarian sih aku tolerir. Tapi kalau pindah agama cuma karena pacar, tolol namanya. Iman kok buat mainan.”

“Apa adil mengejar kebahagiaan pribadi dan menyakiti lebih banyak orang? Keluarga besarmu? Apa nggak egois namanya?”

Aku bangga sekali punya teman-teman yang kritis dan walaupun terlihat brengsek, kuakui mereka beriman. Aku yang merasa masih bocah hanya bisa berdalih ‘Siapa yang tahu masa depan. Jalani aja, kalau toh jodoh pasti ada jalan.”

Tapi ternyata aku bisa lelah juga menjalani hubungan di zona nyaman dengan Babi. Dengan sikap super cueknya yang mendewasakanku, dengan sikap sabarnya yang mengajariku banyak hal, dengan sikap setianya yang selalu membuat hati ngilu, semuanya terlihat perfect. Kecuali satu hal, keyakinan. Cuma itu satu-satunya permasalahan dalam hubungan kami tapi sungguh sangat fundamental. Kami hampir tak pernah bertengkar, apalagi hanya karena masalah sepele. Untuk masalah cemburu, kuakui, sikap cueknya justru terasa sangat dewasa bagiku. Kami cocok satu sama lain. Dia bahkan bisa menjadi inspirasiku dan tokohnya berhasil memperoleh beberapa fans. Pemikiran logisnya yang sangat mendominasi diskusi-diskusi kami menjadi pelajaran berharga buatku. Sampai akhirnya, pemikiran logis itu pula yang membuatku memutuskan untuk berpisah.

Kami bisa saja nekat meneruskan semuanya dan bersabar menunggu sampai happy ending. Tapi, benar kata salah seorang sahabat kami ‘Apa lantas kamu mau membuang bertahun-tahun waktumu untuk sesuatu yang benar-benar samar? Sementara seharusnya kamu bisa mendapatkan banyak hal dari waktumu itu?’ dulu, aku berkelit, “Nggak ada yang sia-sia. Ini salah satu pembelajaran. Belajar toleransi.”

Pernah kudengar ceramah seorang ustadz (aku lupa di mana aku mendengarnya yang jelas hanya sepintas lalu. Sebab aku belum cukup sadar diri untuk datang ke pengajian), ’Rejeki dan jodoh tak perlulah kalian pusingkan. Keduanya sudah disiapkan olehNya. Kalian fokuslah memperbaiki diri kalian sendiri. Yakinlah, Dia sudah menjamin.’

Sedih? Itu pasti. Sakit? Jelas. Tidak bisa menikah dengan orang yang kita sayangi sudah cukup miris, apalagi jika sebenarnya kalian berdua benar-benar saling sayang. Berat memang, awalnya sangat berat. Tapi memang seperti inilah hidup. Nggak semua yang kita inginkan selalu jadi kenyataan. Tuhan punya rencana yang lebih baik yang tak sanggup dimengerti oleh otak terbatas manusia. Manusia cuma bisa menduga-duga dan mencoba percaya. Selalu berbaik sangka pada Yang di Atas. Aku yakin dan aku percaya dia juga yakin pada Tuhannya. Aku yakin dia, kami, akan baik-baik saja. Aku percaya pada akhirnya kami akan bahagia dengan takdir masing-masing.

Aku kuat dan dia juga lelaki kuat.


Kutipan di atas adalah jawaban kuis facebook yang dia ikuti. Cukup merepresentasikan pendangannya terhadapku. Aku suka, dan bangga karena di matanya, aku sudah jadi seorang wonder woman. Marilah menjadi lebay: Saat ini kami berdua ada di tepian jurang. Jurang besar itu bernama keyakinan. Dia akan segera melepaskanku, dan aku memang sengaja melepas genggamannya. Aku akan terjun bebas dan merangkak ke daratan seberang. Perkara luka dan cidera yang kudapatkan, aku yakin masih bisa sembuh. Dia pun begitu.

Lalu, meski kami akan berjalan berdampingan di sisi yang berbeda. Memang bukan lagi BoyFriend, but we’re best friend now 
 
Desember 2006

*Menunggu waktu untuk ikhlas



Jumat, 16 September 2011

Tragedi Ciduks

Bangun tidur pegang HP atau BB, makan sambil OL, dengerin kuliah nyambi twitteran, pacaran sambil ngautis sampai si pacar bosen dan mainan jari sambil ngome-ngomel. Suatu hal yang biasa dan sangat biasa. Sudah banyak ditemui dewasa ini.

Nah! Ini cerita based on true story seorang lajang yang tidak wajib bangun pagi untuk memasak sarapan sang suami. Sebut aja Jeng Cendol. Jeng Cendol bangun tidur, berdoa pada Tuhan sperti biasa dan ngautis twitteran sembari mengecek beberapa kerjaan kantor. Membuat agenda harian di otaknya.

Beberapa menit kemudian, perutnya terasa mulas. Mungkin akibat makan terlalu pedas semalam. Tanpa Ba Bi Bu Jeng Cendol pergi ke kamar mandi untuk P*P dengan HP kesayangannya tetap tergenggam. Dia buang hajat sambil masih tetap twitteran.

Membawa HP ke kamar mandi sepertinya sudah cukup lazim meskipun orangtua manapun pasti akan melarang anaknya berbuat demikian. Di negara Barat, membaca koran di toilet itu biasa. Tapi tidak di indonesia sebab negara kita terbiasa menggunakan air untuk membersihkan diri, bukan tissue. Yah....koran dan handphone bukanlah pasangan yang cocok untuk beberapa liter air. Dan lagi Indonesia mempunyai budaya irit khusus untuk dekorasi kamar mandi. Untuk rumah-rumah biasa, toilet dan kamar mandi jadi satu. Walhasil ruangan itu akan selalu becek dan berair. Ngautis saat P*P sangat beresiko.

Tapi ada pengecualian seperti kasus Jeng Cendol ini. Saat asyik membuang hajat, dia baru menyadari bahwa ada sesuatu yang kurang. Gayung —atau lebih ngetrend disebut 'ciduk'— gak ada!!! Jeng Cendol panik sepanik-paniknya. Setelah terdiam agak lama, gadis manis yang stengah idiot itu Ngeh dengan gadget gendutnya. Buru-buru dia menelpon seorang teman seasrama, menjelaskan dengan buru-buru dan meminta tolong dibawakan ciduk. Temannya yang baru bangun tidur berjalan setengah sadar ke kamar mandi dan terjadilah transaksi ciduk tersebut.

Guys, setiap kejadian selalu ada hikmahnya. Bahkan kejadian yang dianggap tabu oleh masyarakat sekalipun selalu memberi pelajaran. Coba kalau tadi Jeng Cendol tidak nekat membawa HP, dia bisa terkurung di kamar mandi tanpa kepastian yang jelas. Harap-harap cemas ada yang datang mengetuk. Apalagi anak asramanya belum ada yang bangun.

Pelajaran hidup pagi ini adalah: Sebelum melepas celana, pastikan ada ciduk di kamar mandimu!!

Ps: hasil wawancara langsung dengan korban

Cerita Bangun Tidur- part 5


Masih ingat Daffa Alalika? Muridku yang ganteng dan manis itu semalam berulang tahun. Ulang tahun keenam dan dirayakan secara sederhana. Hari itu, Kamis, 17 Maret 2011, hujan turun dari sore. Rintik-rintik air jelas membuatku bergegas pulang ke kost. Apakah ada yang lebih indah selain sore gerimis, bergulingan sambil bermain double kick, spesial punch dan ‘kitik-kitik sampai mati’ sama Babi? Terserah kalau ada yang bilang kami kekanakan, tapi tertawa sepanjang sore benar-benar melepas lelah. Walau berkali-kali Babi memegang jidatnya karena pusing kuhantam pakai kepala. Haaa….rasanya waktu berjalan begitu cepat.

Sebuah SMS masuk dari Mamahnya daffa,
‘Kalo ujan nggak usah datang gpp,mbak. Biar nggak sakit lagi.’

Kubalas:
‘Daffa gimana? Daffa taunya aku datang apa nggak,mbak?’

Balesannya lagi:
‘kalau soal Daffa, ntar bisa dikasih pengertian kok. Kue bagian mb Aya ntar disimpen dikulkas. Hhehe’

Aduuuh…..artinya Daffa ngarep Aku datang kasih ucapan selamat dan cium pipi. Terakhir kali aku nggak ngajar, dia ngambek. Daripada ngambek, datang aja deh. Nembus ujan-pun tak apa, pikirku.

Acara ultah Daffa dimulai jam setengah8. Dan aku belum beli kado, lebih tepatnya lagi belum tahu mau beli kado apa.

Aku bilang ke Babi, ‘aku beliin DVD aja deh. Soalnya pasti potong kue. Kalau aku kasih hadiah kue, bakal aneh’
Babi       : Iya. Dibeliin film Animasi aja, Ndud
Aku        : Apa ya?
Babi       : Guardian Owl. Bagus itu.

Percakapan kami lanjutkan di atas motor, melaju di sepanjang jalan gejayan yang masih basah. Babi yang nggak mau basah akhirnya memakai mantel, terlihat seperti Teru Teru Bozu raksasa. Idiot, dia memakai mantel lengkap dengan tudungnya. Hari seperti ini, apa ada cowok muda yang rela memakai mantel dengan cara norak begitu?? Aku aja ogah kalau bukan hujan badai.

Aku        : Guardian Owl bagus pho, ndud?
Babi       : Bagus. Ceritanya tentang perang. Jadi, burung gagak….
Aku        : owl itu burung hantu (spontan menyela)
Babi       : iya maksudku itu. Burung hantu, perang-perangan gitu deh.
Aku        : Pake senapan mesin?
Babi       : Enggak.

Sesampainya di toko CD (aku lupa namanya. Toko CD besar di pertigaan Gang Guru), si Penjaga tertawa mendengar judul ‘Guardian Owl’ mbaknya mengangsurkan sebuah DVD, Aku memandanginya sepersekian detik lantas menoleh ke Babi yang asyik melihat-lihat CD.

Aku        : Judulnya the legend of Owl, idiot…

Aku bersyukur sekali. Sangat-sangat bersyukur punya Babi, yang selera film-nya OKE banget untuk anak umur 6-12 tahun. Beberapa pekan lalu, dia datang ke kost bawa laptop.

Babi       : Nonton film aja y,Ndud.
Aku        : mau…mau…mau..

Aku sangat antusias melihatnya menyalakan Laptop. Tetapi sedikit shock ketika dia mulai memilih film. Doraemon: Nobita’s Great Battle of Mermaid King.

Aku        : Tontonanmuuuuu, Ndud!!! Nggak mutu banget…..
Babi       : Heh, film-film kayak gini bagus ya. Ada nilai yang mendidik. Aku besok pengen bikin film Animasi anak-anak yang edukatif.

Aku diem sambil memeluk Cipo. Iya, Babi suka CJ7, wall-e, naruto, 9 (nine), dan banyak judul lagi yang nggak mau kutonton. Film kartun atau animasi itu membosankan buatku. Aku lebih suka film-film psikologi yang rumit. Tapi film psikologi macam He Loves Me-He loves Me Not, Beautiful Mind, Number 23  dan Uninvited masih lebih bermutu dibanding film Slasher macam Hallowen dan Texas Chainsaw Massacre. (buat kau yang suka nonton film Slasher macam ini, jangan tersinggung. Dulu aku mau nonton film seperti ini karena terpaksa menemanimu).

Buat siapapun yang kelak jadi anaknya Babi, ‘Kau beruntung sekali, Nak. Ayahmu punya selera bagus dalam memilih film.  Ayahmu punya cita-cita mulia untuk membangun dan menjaga karakter anak-anak.’

Ps : Aku ingin sekali membuat penelitian tentang ‘Dampak psikologis Film Slasher dan Film Animasi Petualangan Terhadap Perkembangan Pola Pikir Serta Tingkah Laku’. Oke, kapan-kapan sajalah. Belum sempat. Oh iya, Daffa senang sekali dengan kado pemberianku. Untung aku nggak jadi bawa kue, sebab semalam, kue Ultah Daffa BESAR BANGET. Aku dikasi potongan besar yang membuatku mblenger….coklatnya kegedhean T.T

18 Maret 2011

Kamis, 15 September 2011

Ketika Daffa Alalika menonjok naluri keperempuananku

Kisah meja Kerja part 5

Ketika Daffa Alalika menonjok naluri keperempuananku

Hujan turun dengan sangat derasnya. Membuatku ingin berdoa, “Ya Tuhanku, limpahkan rejeki berupa bakso hangat atau ramen panas. Karena jujur saja aku sedang menderita kelaparan yang berkolaborasi dengan ngantuk stadium akut.” tapi aku sangsi, Tuhan nggak akan menjatuhkan semangkuk ramen panas begitu saja. Tetap saja manusia seperti aku harus berikhtiar. Kalau begitu, kuganti doaku “Ya Tuhan, semoga nanti jam 4 hujannya sudah reda. Agar aku bisa dengan leluasa mengayuh Paus [Honda Beat Biru kesayanganku] ke rumah Daffa. Amin.” *mengatupkan mata dan tertidur...zzz...zzz....

Daffa, nama yang manis. Apalagi namanya Daffa Alalika, apapun artinya, nama itu terdengar unik dan bagus seperti orangnya. Putih, berhidung mancung. Dan bandelnya minta ampun. Bandel, kadang manja, kadang pemalu tapi kadang juga bisa sangat cerdas. Itulah dia, 

Beberapa minggu lalu aku seperti diberi tamparan keras, sekeras sandal kuda. Aku mendapat kabar bahwa murid kesayanganku itu gagal di ujian masuk SD. Sebenarnya hal itu wajar saja mengingat usianya yang masih lima setengah tahun dan kemampuan membaca serta menghafalnya masih pas-pasan. SDxx yang ia incar itu adalah salah satu SD Favorit di Jogja. SD yang menolak puluhan siswa jauh sebelum masa penerimaan siswa baru.

Malu? itu jelas. Inilah perasaan seorang guru ketika melihat muridnya gagal, walau aku tahu kegagalan Daffa bukan sepenuhnya kesalahanku. Daffa terserang demam sehari sebelum ujian masuk. Dan hal itu mengurangi sedikit rasa bersalahku.

Kegagalan itu sempat membuatku putus asa. Lantas aku menebalkan muka, menghadap ayahku tercinta yang sekaligus tetua Yayasan yang menaungi SDxx tersebut. 

Aku                        : Yah, Daffa ngedaftar SDxx lho.

Ayah                      : Oh ya? ktrima enggak?

Aku                        : gagal e.

Ayah                      : trus alternatif ke SD mana?

Aku                        : Bla…..bla….blaa….blaaa…..

Ayah                      : hmm..ya bagus.

Aku                        : Tapi waktu test kemarin daffa sakit demam, Yah. Dan aku yakin banget dia sebenarnya mampu. Kemampuan bacanya meningkat drastis 2 bulan belakangan. Dan aku yakin SDxx itu sekolah yang cocok untuk anak aktif seperti dia. Dengan sistem fullday school dan komunikasi antara guru dan murid yang friendly seperti itu bla…bla….bla…blaa…

Ayah [memotong omonganku yang persis sales]: Tapi kan udah gagal test masuk

Aku                        : Masih dikasi test ulang kok, Yah. Ada kesempatan kedua.

Ayah diam dan menatapku agak lama. Aku menebalkan muka,

Ayah                      : Maksudmu, kamu mau nitip nama?

Skak Mat!! Tepat sasaran!! Tidak perlu dijelaskan. Ayahku adalah orang idealis yang memilih masuk penjara daripada tunduk pada azas tunggal saat Orde Baru. Ayahku adalah seorang mahasiswa hebat yang lulus dalam waktu 8 tahun karena dia kuliah di IKIP Yogyakarta tapi jadi Ketua Umum sebuah Ormas Nasional di Jakarta. Orang seperti Ayahku pasti memilih naik motor butut dripada menggunakan uang subsidi pemerintah untuk membeli mobil mewah dengan dalih ‘Fasilitas’. Dari Ayahku pula aku bisa mengambil kesimpulan, ‘memilih menjadi orang idealis berarti harus siap kelaparan!’

Aku nggak berani berharap banyak. Ibuku yang kebetulan menguping pembicaraan kami, urun komentar

“Kemarin ada rapat penerimaan siswa baru. Biasanya keluarga yayasan ditanyain, ada yang nitip nama atau enggak. Tapi Ayahmu nggak pernah datang rapat yang begituan.”

Aku mencoba tetap tenang.

Akhirnya ayahku angkat bicara, “Ini kan tentang pekerjaanmu. Kok jadi Ayah ikut campur?”

Oh mai God, ingin rasanya njebleske ndas ke Jokteng. Sama seperti setahun lalu ketika Ayahku membuat usaha produksi nugget kecil-kecilan. Aku mencoba mengajukan tender suplai daging sapi. Entah dasarnya aku amatir atau apes alias tidak beruntung, Aku yang anak kandung Ayah terdepak begitu saja. Dengan satu alasan, “Harga yang kamu tawarkan nggak cocok.”

Maaf maaf, walaupun mataku sipit dan sering disangka cina, sungguh aku bukan seorang cina. Dan kalau kalian membaca notes ini lantas beranggapan bahwa ayahku seorang cina, lebih tepatnya saudagar cina, Anda salah besar.

Ayahku adalah seorang jawa, yang agak pendek, kecil, dan hitam. Tidak tampak gagah, tapi kecil-kecil cabe rawit karena nyatanya dimana-mana selalu ditunjuk jadi Ketua mulai dari ketua kelas SD, ketua kelas SMP, ketua Osis SMA, ketua cabang, Ketua DPW, sampai Ketua Konsorsium.

Ayahku bukan cina, tapi sepertinya, idealisme telah melunturkan identitas jawa yang melekat padanya. Orang jawa itu khas dengan paseduluran. Apapun itu, akan didahulukan kalau itu saudara. PNS?? Oh itu saudara bupati A, itu kakak iparnya istrinya bupati B, oh itu anak kemenakannya pejabat C, oh itu cucu kakaknya eyangnya wakil bupati D. Apalah itu namanya, nggak membuatku heran. Nepotisme????

Dilema! Parah! Sampai akhirnya Ayah bilang, “Kalau memang kami anggap nggak mampu, terpaksa kami tolak. Ok?”

Pasrah. Aku sudah menyiapkan brosur sekolah SDxx Internasional untuk Daffa. Jaga-jaga seandainya dia gagal di ujian kedua.

Hingga akhirnya tiba suatu pagi ketika aku baru saja sampai kantor, ada SMS masuk. Dari Mamahnya Daffa.

-Alhamdulillah mbak. Daffa ketrima di SDxx-

Aku tersenyum. Lega. Setidaknya aku tidak perlu malu pada diri sendiri karena telah memprovokasi Ayahku untuk melakukan tindak nepotisme. Aku yakin bahwa sebenarnya Daffa mampu. Tapi terlepas dari semua itu, aku melihat cinta kasih seorang Ayah yang rela mengesampingkan idealismenya untuk menolong sang Anak. Aku langsung mengirim SMS ucapan terima kasih ke Ayah.

Dan minggu ini, Daffa nggak masuk sekolah beberapa hari karena sakit. Suhu tubuhnya naik turun tak beraturan. Tak pernah stabil. Hatiku dibuat kebat-kebit. Gimana kalau sampai masuk SD kondisinya begini terus?? Kalau dia sering nggak masuk sekolah dia bisa ketinggalan pelajaran. Melihatnya masuk rumah sakit setiap bulan membuatku stress dan ingin menangis darah.

Hadduh, menangani pendidikan anak begini saja aku belum becus. Hiks, harga diriku sebagai perempuan dan naluri keibuanku tertonjok!!! huhuhuhuhu

Senin, 12 September 2011

MiDnite Story: Menemui Tuhan di D’Moz café

‘Aku bikin film karena aku suka. Buat have fun. Dan kenyamanan Tim-ku jadi prioritas nomor satu. Skenario buatanku nggak sesuai pakem dan terkesan seadanya juga gak masalah buatku. Selama tim-ku paham dan saling mengerti aja’ kurang lebih begitu.

‘kamu nggak berpikiran kalau karya ini akan kamu jadikan portofolio untuk ke depannya?’ tanya seorang kawan, dan entah mengapa secara spontan aku bilang, ‘enggak’

‘karyaku ada untuk dinikmati orang, nggak untuk kujual. Orientasiku bukan industri’ jawabku. Aku sendiri juga nggak tahu kenapa aku bilang begitu, karena memang faktanya, aku nggak pernah berfikiran kalau skenarioku akan dibeli orang. Cukup eksekusi, dan biarkan orang lain yang menilai, boleh memuji dan boleh mencemooh. Itu saja. ‘aku nggak pernah berpikiran kalau karyaku kubuat untuk imbalan materi’ terangku lagi [lagi-lagi spontan tanpa berpikir]

Temanku itu terdiam dan tiba-tiba menyahut, ‘Kalau gitu kamu udah berkecukupan ya?’ DUARRRRR!!!!!! Menohok!!!! Dan membuatku teringat malam sebelumnya, seorang sahabatku berkomentar, ‘gajimu itu udah cukup untuk hidup di Jogja. Kamu ngeluh kekurangan pasti karena pola idupmu yang boros itu’ dan terbukti memang, aku menggemuk. Pipiku, tanganku, perutku membuncit lantaran kebanyakan makan ini itu. Boros banget.

Ternyata Tuhan memang suka menghampiri saat malam. Pertanyaan simpel dari seorang kawan  menyadarkanku, betapa hina-nya aku ini. Terlalu sering mengeluh, padahal Tuhan sudah memberiku kenyamanan untuk terus menulis tanpa perlu merasa khawatir hari esok makan apa. (yang ada aku pusing besok makan lauk apa ya, kalau lauk ini udah bosen dan bla…bla…blaaa….).

Otakku melayang, teringat sosok Ayah tercinta yang sedang sibuk mempersiapkan launching buku perdananya. Beliau seorang aktivis semasa mahasiswa, bolak balik masuk penjara lantaran menentang asa tunggal Pancasila, Ayahku seorang praktisi pendidikan yang ‘hobi’ membuat sekolah-sekolah mulai dari TK sampai SMA. Ayahku seorang bisnisman yang berhasil membuatkan satu toko untuk tiap anaknya (sayang agak terbengkalai sejak beliau hobi mengisi seminar dan anak-anaknya sibuk sendiri nggak mau bantu-bantu seperti aku ini T.T), dan ayahku suka melukis. Ruang tamu rumah kami dipenuhi lukisan Ayah. Ayahku, adalah seorang IDEALIS.

Aku        : ‘Kenapa Ayah nggak mau ambil gaji di Yayasan? Ayah kan punya otoritas untuk itu’

Ayah      : ‘Jangan setengah-setengah. Kalau mau beramal ya beramal. Jangan terus beramal untuk cari penghidupan. Allah SWT yang akan menghidupi kita. Ayah bikin yayasan karena ingin berkontribusi di bidang pendidikan, untuk umat. Paham?’ [jangan bayangkan Ayah berbicara seperti itu sambil mengusap rambutku, Ayah sama seperti Babi, nggak bisa mengekspresikan kasih sayangnya]

Di lain kesempatan,

Aku        : ‘Katanya Lukisan yang didepan ditawar orang ya? Dijual berapa?’

Ayah      : ‘Nggak dijual….itu karya Ayah e cuma ada satu-satunya di dunia.’

Aku        : ‘Coba dijual kan lumayan’

Ayah      : ‘Ayah ngelukis kan buat dipasang di rumah. Buat Ayah nikmatin tiap sore duduk santai bareng istri, buat anak-anak juga. Karya seni lho, bentuk ekspresi Ayah. Jangan dikomersilkan donk. Kalau orang lain mau mengapresiasinya dengan materi ya monggo, tapi nggak akan Ayah lepas. Terlalu bernilai kalau cuma ditukar pakai uang. Karya seni itu untuk dinikmati, diri sendiri pun boleh, keluarga, kalau mau show up juga boleh tapi nggak dengan cara menjual begitu. Yang kita jual itu makna dan keindahannya’ [padahal lukisan ayah abstrak dan aku masih bingung mencerna maknanya]

Aku        : Kalau kepepet nih? Dijual boleh?

Ayah      : InsyAllah enggak, kalau toko kita diurus dengan baik, insyAllah nggak ada kata kepepet. [Aduh, nyindir secara halus niiih]

Itulah Ayah, kenyamanan dan kebebasan berekpresinya saat ini adalah balasan setimpal atas kerja kerasnya dulu. Selepas SD nekat bersekolah di Jogja dan melepaskan diri dari orangtua. Nggak lagi ada kiriman uang. Ayahku dulu tukang parkir, Ayahku dulu tukang ketik, Ayahku dulu penjual topi-topi OSPEK, Ayahku dulu kuli bangunan, Ayahku dulu Tukang Becak, dan aku lupa kerja serabutan apalagi yang Ayah kerjakan semasa muda. Pantas kalau tubuh Ayahku kurus dan hitam keling. Tapi ayahku seorang orator. Tapi Ayahku seorang mantan Ketum HMI. Dia kuliah di IKIP tapi memimpin rapat di Malaysia.

Sepertinya ketika aku tegas menjawab ‘NGGAK’ soal komersiliasasi karya itu, adalah hasil didikan ayahku. Walaupun prinsip dan ideologiku nggak sekuat Ayah. Dan sosok Ayah masih sangat jauh, ayahku yang berdikari itu.

Sekali lagi: astaghfirullah atas kebodohan dan ketidaksadaranku atas nikmat yang sudah Tuhan berikan (kecukupan dan keberuntungan serta kebebasan pikiran) serta Alhamdulillah atas kehadiran seorang kawan yang membuatku tersedar dari kebodohanku itu. Manusia memang tempatnya khilaf  T.T

Ps : menemui Tuhan di D’Moz café 01.00 WIB, masih malam, belum pagi.

Senin, 05 September 2011

Obrolan Meja Makan part-1: Ketika Ayahku Menjadi Sangat Kejam


            “Eh…si Pipit (bukan nama sebenarnya) dikeluarkan dari sekolah lho” Ayah mengawali obrolan santai pagi ini dengan suatu berita biasa. Biasa, karena memang sekolah ayahku udah berkali-kali mengeluarkan siswanya. Ayah bicara begitu sambil menggoreng telur mata sapi.

            Tapi adikku si nomor 3 heboh. Gadis remaja kelas 1 SMA berbodi lebih bohay dan lebih tinggi daripada aku itu berteriak kaget, “Serius??? Mbak Pipit kakanya si Lia (juga bukan nama sebenarnya) itu??Yang dari Bali??”

            “Iya…kemarin kamar asramanya habis digeledah. Dia keterlaluan juga. Ada rokok sama botol minuman di kulkasnya.” Jawab ayahku.

            Oh…ya ya ya. Aku ingat sekarang. Aku memang belum pernah ketemu langsung dengan si Pipit, tapi kalau adiknya, Lia, gadis manis kelas 2 SMP pernah menginap di rumahku dua kali. Cantik, manis dan tipe adik idola deh. Apalagi saat keduakalinya dia menginap, dia datang sambil menangis. Udah cantik, manis, menangis pula!! Gimana nggak gemes?? >.< ingin rasanya menukar si nomor 3 sama Lia. Si nomor 3 tuh ya walau berambut panjang, tapi hobinya cari ular sawah. Nggak lucu sama sekali!!

            Denger-denger sih si Lia itu playgirl dan she’s a heartbreaker. Pikirku nggak dosa kok selama dia masih cantik, kalau udah jelek masih playboy or playgirl apalagi heartbreaker, namanya nggak tahu diri. Terakhir kali Lia nginep di rumahku, cewek itu bikin ayahku kebakaran jenggot. Secara ya ayah dan ibuku petinggi yayasan tempat dia sekolah, boarding school yang notabene punya aturan ketat soal jam malam. Soal aturan ketat itu juga ayahku yang mengesahkannya. So, ketika Lia nekat datang ke rumahku malam minggu diboncengin pacarnya nyaris jam sebelas malam, Ibuku beraksi. Pacar si Lia yang udah SMA (lagi-lagi sekolah yayasan yang sama) ditahan di ruang tamu dan dapat ceramah tengah malam yang panjangnya naudzubillah. Tau rasa kau, Dek! Pikirku sambil cekakak-cekikik di ruang tengah.

            Klimaksnya saat ibuku menghubungi orangtua Lia yang memang tinggal di Bali. Dari percakapan yang lumayan panjang, akhirnya tepat jam1 dini hari, mobil jemputan dan sopir pribadi Lia datang. Membawa cewek itu pulang ke asramanya dengan berurai air mata.

            Aku sih cuma bergumam, ‘ni cewek cantik-cantik bego. Udah tau ini rumah Pak *** masih aja berani datang malem bawa pacar pula. Cari mati’

            Sekarang gantian si Kakak yang berkasus. Setelah adanya penggeledahan menyeluruh ke semua gedung asrama, di kamar si Kakak ditemukan rokok dan botol miras. Sebenarnya cuma MixMax di kulkasseger banget nggak tuh?? Uda kayak sitrun lemon , hanya karena memang ada kandungan alkoholnya walau sedikit, botol-botol itu jadi masalah. Tambahan lagi memang si Kakak kerap pulang larut malam diantar supir pribadinya. Kalau udah sama si sopir, nggak bisa diperkarakan. 

Sosok si Kakak itu benar-benar kompleks. Dia dulunya bersekolah di sekolah negri di Bali sana. Karena tingkahnya yang kerap berbuat onar, jadi ketua genk dan suka bolos, akhirnya dititipkan orangtuanya ke Pondok Modern Gontor. Tapi lagi-lagi dia berulah, pihak Pesantren menyerah dan mengeluarkannya dengan terhormat. Sampai akhirnya popularitas sekolah ayahku yang menampung dan menginsafkan anak nakal sampai ke telinga orangtua Pipit. Nggak tanggung-tanggung, mereka mengirim dua anak gadis mereka sekaligus dengan sumbangan paling besar di antara wali murid yang lain. Untuk opsi SPP-pun mereka memilih opsi termahal yang besarnya setara dengan UMR jogja. Itu cuma SPP, belum uang asrama. Bahkan ketika Idul Qurban kemarin, mereka satu-satunya wali murid yang menyumbangkan seekor sapi utuh!!

            Ketika jajaran Konsorsium plesir ke Bali-pun, mereka memfasilitasi rombongan selama 3 hari 2 malam dengan hotel mewah. Sebuah villa lengkap di kaliurang, dua buah mobil dan seorang supir pribadi untuk dua gadis yang dilepas di Yogyakarta, menunjukkan betapa besar harapan mereka pada sekolah ayahku. Miris dan menyedihkan jika melihat kenyataan. Si Kakak dikeluarkan!!

            Kalian tahu respon wali murid saat mendengar kabar bahwa si Kakak akan dikembalikan? Begini kira-kira bunyi smsnya,

            -InsyaAllah kami sudah ikhlas atas apa yang menimpa anak kami. Kami mohon maaf sudah membuat susah jajaran pengurus yayasan dengan kelakuan anak kami. Semoga Anak kami menjadi kasus terakhir di SMA*** - Pasrah dan putus harapan, mungkin itu yang dirasakan oleh beliau berdua.

            “Kasihan si, Yah. Kenapa nggak dikasih pendampingan aja?” tanyaku.

            Ayahku yang sudah berhenti menggoreng telur terdiam sepersekian detik, lantas berutur panjang lebar, “Ketika para guru mengadakan pendampingan untuk dia, kami juga harus menyediakan tenaga ekstra untuk membentengi para murid lainnya dari dampak negatif si Pipit. Setelah beberapa kali interograsi siswa, banyak yang terpengaruh karena takut. Si Pipit memiliki kuasa, punya harta dan dia pintar menggunakannya sebagai senjata untuk menggaet anak buah. Jujur saja sekolah ayah nggak sehebat itu untuk menyembuhkan seorang ketua genk macam dia. Kamu sendiri tahu gimana para guru pontang-panting menaikkan prestasi akademik sekolah kita. Ayah nggak akan mengorbankan siswa lain hanya demi kepentingan satu orang saja. Sekolah cuma mencoba membantu, tapi tanggung jawab terbesar tetap ada di tangan orangtua. Untuk kasus seperti ini, profesionalisme kerja dan logika jauh lebih penting daripada belas kasihan”

            Aih….ayah menyebut sekolah ‘kita’. Seolah aku pernah belajar di salah satu sekolah buatannya saja. Tiba-tiba di mataku, ayah tampak semena-mena. Miris ya? Sarapan pagiku diisi dengan cerita pilu seorang anak broken home. Klise memang, ketika si Papa ke negri A, si Mamah di negri C, dan anak-anak di kota Y bersama pembantu dan supir. Betapa sebenarnya besar cinta orangtua kadang nggak nyampai ke si Anak. Semestinya orangtua belajar bahasa remaja, dan remaja belajar bahasa orangtua. Pikirku, akan lebih bahagia kalau orangtua Pipit nggak supekaya tapi [cukup] kaya dan meluangkan waktu untuk hidup besama dengan anaknya. Tapi entahlah, toh Tuhan slalu memberikan yang terbaik buat makhlukNya. Ehehehehehehe….

Ps : kepada calon suamiku yang entah ada dimana, ‘besok waktu tak ditentukan kita ciptakan keluarga bahagia dan jadi orangtua yang disayang anak-anak yah!’