Jumat, 03 Agustus 2012

Ketika Materi bukan segalanya

Sudah beberapa hari ini aku dibuat bosan dan nyaris menggebrak meja seperti biasa. Balada seorang manager, lebih sering kena semprot bos daripada karyawan lain. Okey, menghadapi mood bos yang buruk dan sikap keras kepala serta tak mau mengalah memang konsekuensi pekerjaan. Rekan kerjaku, seorang marketing manager dengan leluasanya mencari alasan untuk keluar kantor alias melarikan diri dari amukan si bos. Aku? iseng untuk menguji kesabaran serta memperbanyak pahala di bulan puasa (apalah ini), sengaja duduk manis di kantor dan menunggu didebat si bos besar tentang strategi bisnis, analisis produk, inovasi, pasar, dsb.

Aku seorang sarjana sastra, menjadi business development manager bermodal ilmu bisnis yang kupelajari secara otodidak sejak kecil. Aku belajar negosiasi dari ayahku, yang sering membawaku pergi menemui klien untuk mendapatkan deal besar. Aku belajar menjual dari Ayahku, yang tega meninggalkan seorang anak kecil di sebuah toko genteng dan hanya diberi price list. Ketika aku menunjukkan nota pembayaran pertama yang ada tanda tanganku, Ayahku bangga dan membelikanku bakso 2 mangkok. Aku yang masih berseragam merah putih jelas terlonjak senang meskipun ternyata aku salah hitung dan membuat ayahku tak untung.

Selepas kuliah, aku memutuskan untuk bekerja di orang sambil belajar bagaimana rasanya jadi anak buah. Yah, akhirnya aku benar-benar merasakannya. Aku mengalami semuanya, hinaan, pelecehan secara verbal berupa rayuan-rayuan mesum, tekanan deadline, disudutkan ketika tak kunjung memberi konsep baru, dipersalahkan ketika program yang ada tak berjalan sebagaimana mestinya, gaji yang tak sesuai dengan volume kerja, bla..bla...dan berbagai tetek bengek lainnya. Pokoknya segala macam yang bikin emosi dan sakit hati.

Dalam suatu waktu yang sempit, aku curhat tentang semua beban batinku pada Ayah.Lalu Ayah menjelaskan sistem yang beliau terapkan di yayasan yang beliau pimpin. Kebetulan waktu itu ayahku baru saja meresmikan pabrik kue kering dan catering (dan aku nggak tahu prosesnya sama sekali! Keterlaluan! Aku baru tahu setelah nggak sengaja menemukan laporan bulanan di meja kerja Ayah. Bakery dan Catering?? wew).

Kurang lebih begini penjelasan Ayahku,
Kami menerapkan sistem bagi hasil. Selain UMR sebagai gaji pokok, laba perusahaan dibagi secara proporsional kepada semua karyawan yang terlibat. Jadi, take home pay yang diterima karyawan memang nggak sama setiap bulannya, tapi naik turun sesuai dengan laba perusahaan. Setiap raker, direksi selalu menjelaskan semuanya, secara transparan. Kembali ke niat awal Ayah dan teman-teman membangun yayasan ini, membuka pintu rejeki bagi teman-teman yang lain. Jadi pada akhirnya setiap karyawan merasa memiliki perusahaan dan dengan senang hati bekerja dengan ikhlas. Kami semua keluarga. Kalau ada anak buah yang berhasil ganti mobil, kami yang duduk di jajaran direksi justru merasa bangga. Artinya kami berhasil menyejahterakan karyawan, kan? setuju?

Aku mengangguk paham. Memang sih, loyalitas para karyawan ayahku nggak diragukan lagi. Mulai dari aku TK sampai aku sudah bekerja begini, orang-orang yang datang ke rumahku selalu sama. Dulu mereka muda, sekarang mereka sudah semakin tua, itu bedanya. Dulu mereka datang ke rumah kecilku yang jelek pakai motor, sekarang mereka datang ke rumah besarku pakai mobil. Itu bedanya.

Aku tahu, Ayahku tetap idolaku yang nomor satuuuuuuuu. dan butuh tempaan super untuk bisa jadi orang seperti ayahku. Aku setuju, aku percaya, materi bukan segalanya. Kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika bisa membuat orang lain tersenyum karena kita. Ayahku benar. Thx God.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar