Minggu, 07 April 2013

Senin Pagimu, Juji....



Selamat Pagi, ya...selamat pagi. Kamu. Kamu. Dan kamu. Apa ada yang baru di pagi ini? Apa ada yang indah di pagi ini? Juji masih rindu dengkuran belasan menit lalu. Pertanda lelap meski hari tak lagi gelap.

“Kamu sudah bangun?” Juji menoleh sembari melempar senyum kecut pada seonggok bulu di atas tempat tidurnya. Gumpalan bulu itu meregang, menguap. Segar. Kucing ras persia berwarna putih bersih itu kembali menggelung manja, membiarkan pemiliknya sendirian terperangkap dalam duka.

“Ah...kau ini, pemalas sekali.” Juji mendengus. Namun seuntai senyum menghiasi wajah jawanya. Tak rupawan memang. Tak buruk rupa pula. Senyum itu satu-satunya senjata untuk menaklukkan para gadis. Yang entah kenapa, cukup banyak yang kemudian benar-benar jatuh hati padanya.

“Ini hari senin. Dan baru tengah malam tadi aku pulang dari kantor. Menyelesaikan rancangan Hanggar GMF yang katanya sih, terbesar di Asia Tenggara. Lalu kau tahu, Bomb? Setengah jam lagi aku harus beranjak ke kamar mandi, tak sempat berendam. Mandi bebek. Wek...wek....wek.... Selesai berpakaian, aku akan mengambil kunci, berjalan lambat ke garasi sambil menggigit roti tawar. Benar-benar roti tawar polos tanpa olesan selai atau margarin sekalipun. Ah ya, lupa! Aku akan lupa menyiapkan sarapanmu kalau kamu nggak mengeong keras. Begitu, kan, Bomb? Terdengar membosankan?” 

Juji mengelus kepala si kucing, membuatnya makin malas beranjak dari tempat tidur.

“Usiaku hampir kepala tiga, tapi belum ada gadis yang bisa meruntuhkan hatiku. Hahaha.... Aduh, apa kabar anakku? Sudah seberapa besar dia sekarang? Aku tak bisa menengoknya. Petra sepertinya masih dendam. Tapi seharusnya dia tahu diri, suruh siapa dia bisa ditiduri oleh banyak pria. Benar, kan, Bomb? Kalau waktu itu aku menolak menikahinya, bukan salahku. Meskipun ternyata bayi itu benar anak biologisku, toh aku tetap bertanggung jawab membiayai kebutuhannya. Aku cuma malas mempermalukan keluarga besar atau menghabiskan hidup dengan perempuan jalang seperti Petra. Biarpun bajingan, aku tetap ingin menikahi gadis baik. Gadis baik, dan sederhana yang akan mengecupku setiap pagi sambil membawa secangkir kopi.”

Si kucing ngulet dengan cueknya.

“Kamu nggak bosan menemaniku, kan? Kupikir cuma kamu ini satu-satunya makhluk normal yang bisa menanggapi keluhanku dengan serius.”

Bomb, kucing pesek yang dibeli Juji setahun lalu itu menatapnya serius. Oh, sebenarnya kita sendiri tak pernah tahu apakah kucing itu serius atau tidak, tapi tatapan mata coklat yang tajam melegakan Juji. Juji merasa Bomb mendengar curahan hatinya. Terlalu idiot untuk seorang arsitek senior yang sudah merancang puluhan gedung berskala internasional. Begitulah, kadangkala kita butuh bersikap idiot untuk bisa menikmati hidup yang semakin keras ini. 

“Jangan bosan. Jangan mati duluan. Aku bisa mati kesepian. Konyol, kan ya? Aku sudah bosan dengan pesta-pesta. Orangtuaku semakin tua. Tapi lihat hati ini, kosong, Bomb. Tak ada mimpi. Tak ada nama gadis terpatri di sini. Kenapa? Aku tak bisa jatuh cinta? Aku bisa menuruti semua kemauan orangtuaku. Mulai dari bersekolah di SD Internasional, SMP Negri favorit, ikut kelas akselerasi, mengambil jurusan yang mereka arahkan, lalu masuk ke perusahaan yang mereka inginkan. Sudah, semua. Harta benda bisa kuberikan. Tapi cuma satu itu yang tak bisa, pernikahan. Hell....  Bukan tak bisa, hanya belum bisa. Aku sedang menghibur diri.”

Juji mengangkat Bomb ke pangkuannya. Memeluk erat dan mencium hidung peseknya. Bomb terlihat risih, namun ia membiarkan pemiliknya memeluk lebih erat lagi. Kucing itu mencoba berempati.

“Aku kan tak pernah suka meja makan yang kosong. Aku juga tak suka whiteboard yang diisi pesan-pesan konyol dengan gambar titik dua kurung tutup. Aku tak pernah suka tumpukan tiket pesawat di meja kerja ayah ibu. Oh ayolah, aku tak pernah suka yang begitu. Tapi lihat sekarang, aku terjebak. Bahkan aku tak punya hari minggu!”

Bomb mengeong. 

“Kau benar, Bomb. Ini waktunya mandi....”

-tunggu besok pagi-