Jumat, 28 September 2012

Finally.....I'm Home...



Finally, i'm home.....hahha karena deadline yang mendesak dan sakit demam yang tak kunjung turun, aku memutuskan pulang ke surga. Surga buatan Ayah. Rumah tengah sawah dengan suara gemericik air di kolam tengah. Rencanaku simpel, pulang ke rumahtempat di mana selalu ada makananbekerja di bekas kamarku yang sejuk, selesai, lalu pulang ke kota. Tapi ternyata aku belum menulis apapun sampai detik ini. Wahahaha, aku malah bernostalgia tentang sejarah rumah ini.

Tahun 2006 lalu, saat aku sedang menganggur karena ‘apes’ diterima di UGM lewat jalur Ujian Masuk yang berarti cukup lama menunggu untuk mulai masuk kuliah karena yang lain masih harus UMPTNdatanglah bencana itu. Gempa bumi. Yap, saat itu kami sekeluarga masih menempati rumah jelek di pinggir jalan solo dekat Hotel Jayakarta. Pagi buta itu kami sangat panik. Terutama karena Ayah sedang berada di Jakarta. Pemukiman padat penduduk dan tembok retak serta rumah tetangga yang ambruk rata dengan tanah jelas membuat kami trauma. Aku ingat, waktu kami panik dengan isu tsunami, aku, ibuku, dan tiga adekku bergegas pergi membawa map dokumen berharga, laptop dan melaju dengan dua motor. Ikut arus. Sementara mobil kami tinggal begitu saja di garasi, komputer, dan barang elektronik lainnya kami tinggalkan. Beruntung, tak hilang dijarah.

Sekembalinya Ayah dari Jakarta, Beliau dan kami sekeluarga langsung sibuk dengan agenda masing-masing. Ayah sibuk mendistribusi bantuan dan mengurus rekonstruksi masjid yang hancur di pedalaman Bantul. Aku melihat tumpukan dokumen Muslim Helfen Germany dan beberapa NGO lainnya. Sementara Si Nomor 2 menjadi relawan di sekolahnya. Si nomor 3 dan Si Nomor 4 yang masih kecil ikut membungkus makanan di Dapur Umum setiap hari. Aku yang berlabel pengangguran akhirnya ikut Ayah blusukan ke Bantul. Bagian dokumentasi tentu saja.

Baru setelah tanggung jawab Ayah selesai, beliau mulai memandang penting ke arah retakan tembok di rumah jelek kami. Retak yang cukup mengerikan. Lalu dengan penuh kerelaan, Ayah mulai mendesain sebuah rumah. Rumah agak besar, di tengah sawah. Yup, sebenarnya Ayah sudah membeli tanah di pedalaman Kalasan. Tanah itu dibiarkan kosong bertahun-tahun lantaran Ayah terlalu sibuk untuk mengurus pembangunan rumah. Wihihiihii...Anak-anaknya diberi hak untuk mendesain sendiri tempat tidurnya. Ayah cuma menyediakan kayu jati glondongan. Haseek.....aku mendesain dua tempat tidur dan menawarkan salah satunya pada adikku. 
Namanya Gledek. Insipirasi gledek simbah. Fungsi gledek biasanya untuk menyimpan padi, sedangkan di atas digunakan untuk tidur. Emm...sejak adekku yg nomor 2 kerja di jakarta, Gledek ini ngaggur. Dulunya, dia suka ngumpet tidur di kolong bawah. Alasanny? simple, biar nggak dicari disuruh bersih-bersih rumah.

Ayah membuat desain rumah yang aneh. Aneh karena nggak jelas mengadopsi gaya apa. Sepintas lalu, rumah kami terlihat seperti rumah tradisional. Ayah mengaplikasikan dinding bata dengan dua tiang besar penyangga di teras. Ayah memilih pintu kayu dengan ukiran minimalis sebagai pintu utama. Lucu adalah ketika Ayah benar-benar bisa meluangkan waktunya untuk berburu batu kali berwarna putih kecoklatan sampai ke luar kota. Batu-batu kecil seukuran satu kepalan anak usia tiga tahun itu beliau gunakan untuk melapisi tembok. Bisa bayangkan bagaimana pak tukang kami adalah seorang yang sangat sabar dan telaten? Menempel batu-batu kali satu persatu di tembok besar setinggi hampir lima meter? Makasih Mas Santo, mandor sekaligus tukang kami yang baik hati merealisasikan mimpi Ayahku. ^^
dinding putih yang dibuat dari batu kali kecil-kecil...


Selain berburu batu kali sampai Kebumen, Ayah juga berburu bongkaran gedung lawas peninggalan belanda. Akhirnya Ayah berhasil memboyong beberapa jendela super besar dengan ukuran 2x3 meter dari bongkaran kantor PLN. Beliau memasangnya di setiap kamar anak-anak yang menghadap ke taman depan. Dan demi keselamatan, beliau memasang teralis. Ah, ya, mungkin agar anak-anak berhenti berpikiran untuk keluar-masuk kamar melalui jendela yang lebih tepat dibilang semi-pintu itu. 
ini wujud jendela semi-pintu bekas Bangunan Belanda


Ayah membangun dua kolam. Yang pertama, di bawah teras depan. Beliau mengisinya dengan ikan bawal karena banyak sekali anak kecil yang berkunjung ke rumah berniat memancing ikan-ikan koi cantik peliharaan Ayah. Dan terpilihlah si bawal untuk jadi korban mainan anak-anak. Koi peliharaan Ayah ditaruh di kolam tengah, bersanding dengan dua kura-kura tua yang kami pelihara sejak masih bayi sampai sekarang sebesar dua telapak tangan orang dewasa. Ralat, dulu kami pelihara dua, tapi yang satu jalan-jalan entah kemana. Menghilang begitu saja. Akhirnya Ibuku membeli satu lagi kura-kura besar untuk teman. Namanya? Ah aku lupa, bukan aku yang kasih nama. Hehehe....Ibuku hampir berhasil membuatku percaya kalau si kura-kura yang hilang itu kembali ke rumah. 
si kura-kura.....yang lagi berjemur itu namanya "Kura" yang paling lama *barusan tanya adekku...
 
Sejak aku memutuskan pergi dari rumah, memang ada beberapa yang terlewat. Misalnya koleksi sepeda kuno yang diboyong Ayah dari rumah Eyang ini. Juga satu set meja-kursi kayu tempat minum teh milik simbah yang digotong pindah ke teras depan. Semua item itu benar-benar tampak jadul. Beruntung sih Ayah batal membeli gerbang bekas keraton yang gedhe-nya naudzubillah. Ratusan juta untuk sebuah gerbang? Aku yang akan marah -_-a

Berikut beberapa komentar yang masuk ke kupingku:

“Rumahmu kayak rumah dukun. Pake payung segala sih di depan kamar adekmu.”

“Ayahmu tinggi besar ya?” | “Ha? Enggak. Beliau hitam dan pendek.” | “Rumahmu tinggi banget. Kupikir Ayahmu kayak gitu.” | -_-a

“Rumahmu tingkat dua lantai?” | “Nggak kok. Itu langit-langitnya emang dibuat tinggi.”

“Rumahmu klasik deh. Tembok bata. Aku suka.”
bagian depan rumah....bunga apa itu? Gak tau :D


“Rumahmu kelihatan asri banyak tanaman gitu.” | “Kemasukan ular sawah juga.”

bougenville di bawah jendela kamarku

Suatu ketika rumahku didatangi wartawan media lokal dan aku ngakak-ngakak membaca artikelnya. Ayahku mencoba membahasakan membangun rumah dari barang bekas. Rumahku masuk koran karena unik. Aku jadi kepikiran, jangan-jangan ‘penghuni tambahan’ di kamar baju di pojokan rumah itu bawaan dari ‘barang bekas’ bangunan Belanda yang Ayah beli. Ngiiiik.....aku sudah terlalu banyak bercerita....waktunya kembali bekerja. See yaa......

Dedicated for myBeloved Dad. Thx untuk suara gemericik airnya yang membuatku tambah malas untuk bangun tidur :p

Kamis, 20 September 2012

Selalu Ada Hikmah di Balik Peristiwa: Resign



Beberapa hari ini sarapan di RSU Sardjito (Rumah Sakit Umum terbesar di Yogyakarta) menjadi rutinitas dan berkeliaran dari satu poli ke poli yang lain menjadi aktivitasku. Alhmdulillah, ayahku, ibuku, adek-adekku, pacarku, pakdheku, budheku, omku, tanteku, dan eyang-eyangku dalam keadaan sehat walafiat. Trus? Aku bukan dokter bukan perawat bukan, tapi ‘Kurir Pendamping’. Lucu ya istilahnya?

Semua berawal ketika banyak orang berbahagia mendengarku resign dari kantor lawas. Serius, ibuku menelpon menyuruhku pulang karena beliau membuat syukuran ‘kemerdekaan’ 16 Agustus 2012 sementara Ayah tak hentinya berceramah tentang bagaimana membangun bisnis sendiri, memayungi orang-orang atau minimal jika terpaksa bekerja di orang, mengabdilah pada orang yang pantas. Aku tersenyum manis seharian. Ya, aku nggak akan bisa memahami seberapa pantas seseorang menjadi leader sebelum melewati leader yang tidak baik, kan? Biar bagaimana pun, aku berterima kasih pada pelajaran yang lalu.

Di luar keriuhan rumah tengah sawahku yang penuh dengan ponakan-ponakan berlarian dan pakdhe-budhe berdiskusi soal Jokowi-Ahok dan isu rasial mereka, seorang sahabat baru menanyakan alamat rumahku. Katanya, dia akan memberiku hadiah sebuah buku. Sahabat baruku ini namanya Mbak Eva, seorang perempuan tangguh yang suka mondar-mandir jogja-magelang. Kami bertemu di sebuah acara seminar sederhana yang diselenggarakan @AkberJogja. Dia seorang womanpreneur tangguh, mengelola bimbel di magelang. Awalnya, kukira dia womanpreneur baru, tapi ternyata bimbelnya sudah menyebar di penjuru kota dan akhir tahun ini akan berangkat umroh. Tentu, dari hasil usahanya sendiri. Mbak Eva masih suka wira-wiri naik motor, salah satu alasannya adalah agar bisa melihat sekeliling dengan lebih jelas. Penampilannya sederhana, nggak mewah, dan aku langsung jatuh respect padanya. Benar kata Opta (teman enterpreneur pemula) : BOS itu punya sikap bossy, tapi nggak semua BOS bisa jadi leader. BOS dan leader itu dua hal yang BERBEDA.

Mendapat hadiah dari orang yang kukagumi, tentu membuatku sangat senang. So, ketika buku itu ada di tanganku, kulahap habis bis dalam sehari. Buku terbitan Mizan, sangat ringan karena dibuat dengan paperbook (atau bookpaper?), bahasanya? Juga sangat ringan dan mudah dipahami otak kecil sepertiku. Penulisnya @saptuari, leadernya Kedai Digital, Mas Kingkong, Joggiest, dan apalagi ya. Aku lupa :D

ini wujud cover bukunya :D


Setelah di-mention Mbak Eva, cc @saptuari, aku langsung follow Mas berbadan besar dan berwajah konyol itu. Dan mulailah aku berkenalan dengan yang namanya @Srbergerak. Sebuah komunitas sedekah jalanan yang digagas @saptuari dkk. Pertama melihat wujud mereka ketika aku menghadiri syawalan pengusaha di RICH Hotel. Rombongan cowok-cowok berkaus hitam dan celana tanggung selutut datang terlambat dan duduk di pinggir aula. Mencolok, sangat mencolok. Bahkan ya, ketika banyak orang menghampiri Ustadz Yusuf Mansyur, yang terjadi adalah kebalikannya, Ust Yusuf Mansyur yang datang menghampiri dan menyalami mereka. Wahahahhaa, gokil!

Proyekku sudah hampir selesai, uang makan untuk dua bulan ke depan nggak lagi kukhawatirkan. Niatku berlibur ke Bali kubatalkan. Aku mau kenal mereka dulu. Segera. Aku masuk ke komunitas SedekahRombongan, dibawa ke salah satu Rumah Singgah #RSSR di kawasan Blok-O dan bertemu banyak pasien. Aku masuk sebagai ‘Kurir Pendamping’ yang bertugas mendampingi pasien mengurus administrasi Rumah Sakit. Bukan rahasia lagi kalau pasien Jamkesmas, Jamsostek, Askin, dan semacamnya mendapat pelayanan diskriminatif dari pihak Rumah Sakit. Separah apapun penyakit si pasien, kalau belum ada uang, belum akan diproses. Kalaupun akhirnya benar-benar gratis, si pasien akan disuruh mengurus administrasi super ribet yang bisa memakan waktu seharian. Aku yang sarjana saja bisa kebingungan (salahkan aku, bukan  gelar sarjananya) apalagi orang-orang kampung yang hanya terbiasa menggarap sawah atau buruh yang bahkan tak sampai SMA. 

Hari pertama bertugas, aku membawa pasien yang kami daftarkan lewat jalur ‘umum’. Jelas sekali, agar segera ditangani dan memperpendek penderitaan pasien. Pasien pertamaku Bu Ooh, dari Kuningan Jawa Barat. Payudaranya tinggal satu, kankernya sudah diangkat. Aku hanya perlu mengantarnya kontrol dan membeli obat. Satu pasien lagi namanya Pak Zamah. Tumor mata membesar dan bernanah. Bu Ooh memperlihatkan sebelah dadanya yang rata dan gosong akibat penyinaran. Sedangkan Pak Zamah, banyak diam. Aku mengajaknya berkenalan, berkata jujur bahwa aku tak bisa bahasa jawa kromo. Beliau maklum. Kami mengobrol tak lama, karena aku canggung sendiri. Gumpalan daging di mata kiri beliau berbau busuk, membuatku mual. Aku menahan tangis.

Pak Zamah waktu diganti perban


Hari itu, aku mengeluarkan uang senilai setengah gajiku di kantor lawas dengan perasaan ringan tanpa beban. Jelaslah tanpa beban, karena kalau aku menghabiskan hari-hariku di kantor lawas, aku tak akan punya waktu dan uang banyak untuk membantu orang-orang seperti pasien ini. Aku masih setengah yakin soal balasan langsung Tuhan yang Maha Kaya itu. Tapi aku tetap tenang karena rekeningku masih dalam batas aman. Sebagai seorang perfectsionis, aku memastikan batas aman tabungan selama ‘menganggur’ alias off dari proyek. 

Setelah selesai bertugas, aku pulang dengan Pausku sayang. Sepanjang perjalanan, aku menangis. Jalan hidup ini sedemikian indah. Aku sehat, rejeki berlimpah, dan kalau kuhabiskan untuk diriku sendiri, sepertinya akan membuatku jadi orang paling tak berguna di dunia. Aku menangis dan tambah menangis lagi ketika beberapa hari berikutnya seorang kawan menawariku proyek baru dengan nominal cukup besar. Berurutan dengan tawaran kawan-kawan lain yang memberi bantuan gratis mulai dari domain, hosting web, layanan design, percetakan, dan banyak lagi. Ternyata benar, hidup memang tentang bagaimana kita berguna untuk orang lain dan Tuhan itu Maha Kaya :’)