Selasa, 31 Januari 2012

Tentang Rasa dan Komitmen


Aku        : “Kalau misalnya kamu sudah punya pacar, lalu tiba-tiba kamu ketemu orang dan ngerasa suka pada pandangan pertama, apa yang akan kamu lakukan?”

Husky    : “Ya udah. “

Aku        : “Ya udah gimana? Terus mutusin pacarmu dan ngejar orang baru itu?”

Husky    : “Kamu bilang suka,kan? Ya udah, kalau suka ya suka. Tapi gak perlu kan aku SMS dia, telpon dia, ngajak jalan dia. Kan aku udah punya pacar.” (dengan suara galaknya yang khas)

Aku        : “Husky……” (peluk)

Ya…perasaan tertarik dengan orang lain itu wajar. Sangat wajar. Kita hanya akan diberi dua pilihan, membiarkan rasa itu mati dan tetap menghargai komitmen dengan pasangan, atau malah membuka peluang untuk rasa itu tumbuh lebih subur. Opsi kedua adalah jalan lapang menuju perselingkuhan. Semoga logikaku tetap terjaga saat jatuh cinta dan tidak hanyut oleh nafsu perasaan belaka. Amin :)

Sabtu, 28 Januari 2012

Seorang Pria yang Setia Pada Perempuan Menyebalkan


Seorang gadis SMU berseragam pramuka duduk di depanku. Dia memotong-motong steak sambil berceloteh,

“Ayahku sepertinya lelah. Kemarin beliau mengeluhkan ibuku yang selalu sibuk dengan kerjaan kantornya setiap pagi sementara Ayahku memasak sarapan.”

Aku menyahut sambil memasukkan sepotong wortel ke mulutku, “Bikin sarapan sendirilah. Kamu sudah terlalu besar untuk selalu dilayani.”

Gadis itu langsung menjawab, “Aku nggak suka sarapan. Tapi Ayah selalu maksa. Dan sepertinya Ayahku sudah benar-benar lelah, dan mengeluh padaku. Di mobil, beliau curhat. Katanya, sikap ibuku terlalu kekanakan dan egois, nggak pernah memikirkan anak-anaknya. Saat makan malam, aku bilang pada Ibuku bahwa dia begitu childis. Ibuku marah-marah, dan aku memutuskan untuk masuk kamar. Aku sungguh nggak habis pikir, Ayahku itu pria yang sangat tinggi harga dirinya, tapi rela memasak setiap pagi. Aku tahu, beliau marah. Beliau suka memukul wajan dengan sangat keras. Tapi cuma sekali, setelah itu sudah.”

“Hmmm….Ayahmu penyabar sekali.” Lanjutku sambil mengiris-ngiris double tenderloinku.

“Aku juga nggak habis pikir, ayahku yang seperti itu menikahi Tuan Putri. Ibuku itu nggak pernah nggak dilayani dan hampir nggak pernah dikritik atau dimarahi kakek-nenekku. Jadi parah banget deh kalau sampai aku mengkritik ibuku dengan bahasaku yang…u know lah..kasar banget. Kadang jengkel, melihat Ayahku melakukan semuanya untuk Ibu. Semua, mulai dari memberikan posisi penting di perusahaan, sampai membangun divisi dan kantor baru khusus untuk Ibu. Dan dengan seenaknya, Ibuku resign, hanya karena masalah sepele. Ayahku terpaksa menahan malu atas sikap Tuan Putri yang manja itu sambil pontang-panting mengurus anak perusahaan yang kacau. Yah…biar gimanapun, dia Ibuku.”

“Hiburlah Ayahmu…” kataku.

“Dan belum lama ini, Ibuku pulang membawa sekantong besar kain-kain mahal. Kamu ngerti, kan? Koleksinya. Ayahku cuma bisa tersenyum kecut. Itu artinya, keuangan keluarga sedang mepet.”

Oke, STOP. Cukup sampai di situ. Obrolan saat makan siang tadi sangat membekas di pikiranku. Ibu Si Gadis SMU itu pernah membuat kesalahan besar , dan sampai saat ini Ayahnya masih saja berlaku baik. Masih begitu penyayang sementara istrinya masih saja belum bisa dewasa. Ya Tuhan, pria itu ciptaanMu yang nyaris sempurna. Sangat berwibawa, penyayang, dan setia.

“Aku pikir, ibuku adalah perempuan paling beruntung di dunia dan ayahku adalah pria paling malang.” tutup Si Gadis.

Aku tersedak, dan nyaris mengamininya. Aku berubah pikiran ketika BB-ku berbunyi. Ada SMS dari ibuku,

“Mbak Ay nggak pulang? Ini Mommy bawa kain macem-macem. Ada yang kotak-kotak juga, siapa tau Mbak Ay ada yang suka.”

Ah….dasar. sikap shopaholicnya belum hilang. Aku mendadak ingat tumpukan kain warna-warni yang belum aku jahitkan di dalam lemari. 

Itu ibuku. Yang sudah lebih dari tiga kali mencoba menjodohkanku dengan anak teman-temannya. Ibuku yang sangat ingin aku bisa hidup tenang di rumah mewah, dengan sopir dan pembantu. 

Itu ibuku. Yang kerapkali membelikanku baju, makanan, yang sama sekali bukan seleraku. 

Biar bagaimanapun, itu ibuku. Aku tahu, setiap orang mencintai dengan cara yang berbeda-beda. Sometimes, cinta memang nggak bisa di logika. Seperti kenapa ada pria yang begitu setia pada seorang perempuan menyebalkan (seperti aku). 

Dedicated for : MyLovelyDad and someone out there

Jumat, 27 Januari 2012

Menikmati hal-hal kecil untuk asupan energi yang lebih besar


Menikmati hal-hal kecil untuk asupan energi yang lebih besar

Beberapa minggu terakhir, aku menjadi cewek super menyebalkan yang rewelnya minta ampun. Bukan kenapa-kenapa, aku hanya terlalu mengidamkan liburan besar seperti travelling ke Karimun Jawa dan Bali selama seminggu tapi selalu saja ada halangannya. Selain karena perusahaan tempatku bekerja hanya memberikan cuti maksimal 2 hari dalam sekali pengajuan, Husky juga mendadak menjengkelkan karena melarangku travelling sendirian atau bersama kawan-kawan lelakiku. Sikapnya semakin mirip Ayah dan sumpah Demi Tuhan, Ayahku itu pria nomor satu yang paling kucintai di dunia ini.

Semalam, selepas latihan band, Husky membawaku makan di tepian Kali Code. Tepatnya di lesehan Sayyidan. Oke, aku nggak memotret lokasinya sebab aku janji akan ke sana lagi. Suasana asyik, tapi aku gak menikmatinya karena sibuk merengek. Persis seperti anak kecil, menarik-narik celana Husky sambil menyebutkan,”Bonbin, Solo, Pantai, Sekaten, Bali….”

Husky : “Sebut aja terus….”

Aku     : “Keburu aku gila. Udah stress nih…”

Husky : “Hayoo….gak boleh bilang stress….” (beberapa hari sebelumnya Husky memarahiku lantaran aku mengeluh stress. Dia bilang, kata itu bernuansa sangat negatif)

Aku     : “Eh…iya. Aku capeeeeeeek. Capek pikiran.”

Husky  : “Mbok yo kamu nikmatin hal-hal kecil. Misalnya sekarang ini.”

Aku mengabaikan kalimatnya dan terus merengek sampai pulang. Sampai kost, aku mematikan lampu, menyalakan TV dan ketiduran.

Kalimat semalam baru bergaung keras ketika aku bangun tidur. MENIKMATI HAL-HAL KECIL. Awalnya aku merutuk, tau apa Husky tentang tekanan kerja. Dia kan baru semester satu. Belum tahu rasanya mencari uang sendiri untuk makan esok hari. Tapi ketika aku membuka agenda kerjaku dan menemukan Foto Husky zaman SMU, memegang gitar, dan tertawa lebar, aku jadi berpikir ulang. 

Husky benar. Dengan keterbatasan waktuku, seharusnya aku menikmati hal-hal kecil. Sehari sebelumnya, aku mengalami galau pasca meeting. Aku menelpon Ayah, mengeluh, lantas beliau bilang,

“Kalau merasa penat, pergilah. Terlibatlah dalam pembicaraan ringan yang nggak ada kaitannya sama sekali dengan pekerjaan. Kalau Ayah mulai capek dengan tetek bengek Yayasan, Ayah bisa pergi ke pasar hewan dan ngobrol tentang burung, kura-kura. Yang ringan-ringan semacam itu.”

Ah…Ayahku benar. Husky benar.

Aku ingat, semalam, aku sangat menikmati moment kecil. Duduk bersandar ke dinding, membaca buku tentang “Bagaimana Caranya Mengintervensi  Orang” dengan Abraham Lincoln sebagai model. Dalam studio dingin, dan nggak sampai semeter di sampingku, Husky berdiri, membawa gitar abu-abunya. Memetik gitar sambil berteriak-teriak. Dia sedang belajar jadi vocalis. Lagi-lagi, dengan objektifitas seorang butanada, kubilang suara Husky itu asyik. Dengar dan nilailah sendiri, download lagunya di link berikut:


Mungkin orang lain berpikir aku ini gila atau sok pintar. Sebab secara logika, membaca buku di tengah hingar bingar (band Husky adalah sebuah band grunge) adalah perbuatan seorang idiot. Bagaimana bisa berkonsentrasi? Ah, nyatanya aku bisa. Bahkan menikmatinya. Aku nyaman berada di situ. Aku masih ingat, Bab I buku itu mengajarkan agar kita tidak mengkritik orang. 

Hal-hal kecil. Hal-hal sederhana seperti semalam. Terpujilah orang yang mencetuskan ide hastag #Bahagiaitusederhana. Ya, dalam hal-hal sederhana, kerapkali tersembunyi kebahagiaan yang besar. Aku ingat betapa aku sangat senang jika bisa membuat Babi tertawa. Meskipun babi tertawa karena kebodohanku. Aku sangat senang jika dia terpingkal dan menepuk jidatku. 

Aku ingat, aku merasa sangat senang ketika disapa tukang sapu di Benteng Vredeburg, dan diajak mengobrol. Saat itu, aku bersyukur (meskipun sedang sangat bersedih karena bertengkar dengan orangtuaku) tapi nasibku sedikit lebih baik dari Si Tukang Sapu.

Aku ingat, aku merasa sangat senang ketika aku bertemu dengan tukang tambal ban baik hati. Ketika ban depan paus kempes, aku tak punya recehan, dan si Tukang tambal Ban bilang kalau gratis. Dia bilang gratis sambil tersenyum.

Aku ingat, aku merasa sangat senang ketika kura-kuraku yang sebesar telapak tangan Ayah itu terlentang dan nggak bisa bangun.

Aku ingat, aku merasa senang ketika melihat segerombolan cowok muda bertindik bermain dengan seorang bayi yang lucu. 

Ya, kadang hanya dengan melihat saja, kita bisa merasa senang. Hal-hal sederhana, yang ternyata jika kita cermati, membawa energy positif, membahagiakan, dan melepas penat. Logikanya ketika kita merasa bahagia, lelah fisik nggak akan terasa, kan?

Nah, Doaku pagi ini adalah: “Semoga aku diberi ingatan kuat untuk terus mengenang moment-moment sederhana yang menyenangkan itu. Kalaupun akhirnya aku sering lupa, aku berterima kasih pada pencipta blog. Sebab Blog ini akan membantuku merekam semuanya. Merekam pemikiran-pemikiranku saat sedang waras.” 

Specially thx to : MyBelovedDad & MyZaenDeHeroPahlevi :)





Rabu, 18 Januari 2012

Lila Lila: Love story, books, writers, and publisher

German Cinema, 17-19 Januari 2012. Aku sudah mendengar beritanya minggu lalu. Dan salah seorang rekan kerjaku sudah berhasil reservasi tiket. Aih, entah apa yang terjadi padaku saat itu sehingga aku tak antusias mengikuti event tersebut. Tapi Tuhan mentakdirkan aku untuk ada di sana, semalam, 18 Januari 2012.

Setelah dihantam rasa penat karena ratusan naskah bertema patah hati, merasa jenuh, dan kram otak, Tuhan mengirimkan utusanNya yang manis. Kea, sahabatku, menawarkan tiket nonton Film berjudul “Lila Lila”. Hari itu, aku haid hari pertama dan jelas perutku mules nggak karuan. Lapar sih, tapi malas makan. Walhasil, aku membeli sekotak besar popcorn asin dan segelas besar cola. Pokoknya harus nonton! Udah berapa lama aku melewatkan banyak festival hanya karena alasan ‘sibuk kerja’.

Kea emang sahabatku yang paling Te O Pe deh! Dari sekian tiket yang dia punya (dia marathon film dari siang selama tiga hari berturut-turut!) dia memberiku tiket “Lila Lila”. Seolah mencoba mengembalikan kenangan akan ambisi kami semasa SMA dulu. Tentang hobi menulis dan obsesi tembus penerbit mayor yang sekarang terbengkalai.



Film ini bercerita tentang David Kern, seorang waiter yang jatuh cinta pada mahasiswi sastra. Awalnya, David dipandang sebelah mata oleh Marie. Sampai akhirnya, David menemukan naskah dalam buffet mini yang dibelinya di pasar barang bekas. Demi mendapat simpati dari Marie, David memulai berbohong. Dia mengklaim bahwa naskah berjudul “Shopie Shopie” yang bercerita tentang percintaan terlarang di era 50an itu adalah karyanya. 

Marie sangat terkesan dan mengirimkan naskah tersebut ke penerbit. Nggak disangka, naskah yang kemudian diganti judul menjadi “Lila Lila” itu meledak di pasaran. David menjadi terkenal. Kehidupannya membaik. Fansnya mulai dari kalangan tua sampai remaja. Dirinya menjadi rebutan para agen dan penerbit-penerbit besar di Jerman. Saat itulah, muncul sesorang tua bernama jacky yang mengaku sebagai pemilik asli naskah tersebut. David mulai hidup dalam tekanan, antara tuntutan untuk mempertahankan Marie (yang jatuh cinta pada ‘karya’nya itu), keinginannya untuk menghentikan semua sandiwara ini, dan Jacky yang terus berusaha mengeruk keuntungan finansial darinya. 

Totally, film ini bagus dan membuatku ngiler. Ah, display toko buku yang asyik. Acara pembacaan buku oleh si penulis. Pestanya para editor dan agen penulis membuatku mupeng. Kapan ya dunia literate Indonesia bisa seramai Jerman? Kalau kata rekanku sih, di Jerman sana, Buku jauh lebih romantis daripada bunga. Anak kecil umur 5 tahun sudah fasih membaca dan dibelikan banyak buku oleh orangtuanya. Mereka banyak menghabiskan waktu dengan membaca, di dalam kereta, di taman, di restoran. Kalau di sini? Di Indonesia? Kemana-mana pegang blackberry kali ya (nyindir diri sendiri)? Hihihihhihii




Selasa, 17 Januari 2012

Solusi layak coba ketika 24jam sehari berasa nggak cukup

Kemarin dan kemarinnya lagi adalah hari yang padat dan sedikit nekat. Bosan - penat dengan segala macam rutinitas yang ada lengkap dengan problematikanya membuatku nekat memforsir tenaga. Kurang lebih begini kegiatanku:

Hari pertama:

Aku pulang dari kantor tepat sebelum maghrib, nonton serial korea “49 Days” dan bermalas-malasan sebentar. Sekitar setengah sembilan malam, aku pergi  ke studio mini milik seorang teman. Selain berniat silaturahmi, aku curi waktu untuk bisa ketemu Husky. Secara ya, besoknya dia akan pergi ke Bali selama beberapa hari dan aku pasti akan kangen sekali. Berhubung sama-sama sibuk, akhirnya aku yang ngotot curi waktu. Aslinya sih aku tau Husky nggak suka aku main malam.

Dan….di sanalah aku. Melihat proses kreatif para musisi muda mencipta sebuah lagu. Lucu, di sela-sela tidurku, aku melihat sosok Husky yang nggak putus asa menciptakan deretan nada. Kalau nggak salah, ada hampir dua jam untuk mencari closing lagu berdurasi sekitar sepuluh detik. Mereka berhenti tepat pada saat adzan subuh berkumandang.

Hari Kedua:

Kami pulang, sekitar pukul setengah5  aku sampai di kost. Setelah apel subuh sama Tuhanku Yang Maha Kuasa, aku tidur. Jam enam nanti Husky berangkat ke Bali, aku bangun sekitar jam setengah delapan dan mulai beraktifitas, mandi, menemui sepupu yang datang dari jauh dan berangkat ke kantor jam 10.
Pukul empat sore, hujan deras mengguyur Jogja. Kantorku banjir, dan aku memilih untuk bertahan sampai banjir surut. Paus itu motor matic, aku nggak mau ambil resiko mesinnya rusak karena menerjang banjir. Yah, meskipun Husky bilang, “Paus kan ikan. Tempatnya emang di air,”saat pulang dari Temanggung dan terjebak hujan awal tahun kemarin.

Aku pulang saat adzan isya menyapa, setelah mandi bebek lantaran mukaku terpapar hujan aku tegeletak tak berdaya di depan TV. Setelah berguling ke sana kemari, aku matikan lampu. SMS Husky, meminta izin untuk ikut Macapat Syafaat’nya EmHa Ainun Najib a.k.a Cak Nun di bantul nanti malam. Sambil menunggu ijin turun, aku ketiduran. Aku bangun ketika kawan baikku Oon menelpon. Yak! Aku sudah dijemput. Panik, aku menelpon Husky. Nggak diangkat. Akhirnya SMSnya masuk,


“Iya gpp..jgn nakal yaaa…”


Akhirnya ijin kudapat. Badanku masih terasa nggak enak, tapi demi memuaskan rasa penasaranku, aku nekat sajalah. Walhasil, aku sempat ketiduran. Parah! Aku merutuk dalam hati. Wajah bantalku rupanya tertangkap Oon, dan meluncurlah keluhanku soal waktu. 24 jam sehari nggak cukup. Aku masih ingin melakukan banyak hal, tapi tubuh butuh istirahat. Secara teori kesehatan, orang dewasa butuh tidur 6-8 jam perhari.

Apa kata Oon?


“Sholat Dhuha-lah…”


Aku        : “Udah”

Oon       : “Berapa rakaat?”

Aku        : “Dua. Setiap jam stengah delapan sebelum berangkat ke kantor. Belum rutin sih, sering keburu-buru.”

Oon       : “Coba delapan rakaat. Dua rakaat itu untuk mendekatkan rezeki. Delapan rakaat itu untuk mempercepat rezeki. Aku dulu juga ngerasa sama kayak kamu, waktuku selalu kurang. Tapi setelah mencoba konsisten untuk selalu sholat dhuha delapan rakaat, aku ngerasa lebih selo [luang]. Rutinitasku tetap sama. Bangun pagi, sholat subuh, ngasih makan sapi, jam 9-jam 4 ke counter sorenya langsung ngajar les privat dan sampe sekarang. Nanti jam 3 tidur dan jam 5 udah bangun lagi. Begitu terus. “

Aku        : “Nggak capek? Bukannya tubuh butuh istirahat 6-8 jam perhari?”

Oon       : “Rasulullah SAW tidur dari jam11, jam 2 bangun untuk sholat malam dilanjut sampai subuh. Aisyah, istirnya sampai bilang kaki Rasulullah SAW bengkak karena rakaat shalat beliau sudah nggak terhitung lagi.”

Aku        : Hmm….. [angguk-angguk]

Oon       : Rutinitas yang kita jalani memang sama, tapi Allah melapangkannya. Badan juga tetep seger. Sebelum tidur, kami niatkan biar esoknya bisa beribadah. Pernah kan tidur beberapa menit tapi ketika bangun, badan justru terasa segar bugar?? Kalau bangun tidur juga, jangan lupa berdoa. Bersyukur kita masih diberi hidup.

Aku        : [speechless, spontan teringat Pria Dewasa Nomor Satu di Hidupku, Ayah Tercinta yang super sibuk tapi tetap tangguh hanya dengan tidur 3-4 jam sehari]

Pikiranku masih berkutat seputar teori kesehatan yang aku amini sampai saat ini. 6-8 jam sehari. Teori itu jelas bertolak belakang dengan penjelasan Oon barusan. Errghh….sepertinya keraguanku terbaca.

Yohan (sebut saja begitu, aku kan susah mengingat nama orang baru) mahasiswa agak gondrong dengan jeans sobek-sobek yang sedang menyetir di depan melontarkan satu kalimat yang kira-kira bunyinya begini (maklum ya aku dalam posisi ngantuk),

“Kamu sedekah seribu, trus ngajak 10 orang untuk sedekah. Per-orang akan dihitung sedekah 10 x seribu alias sepuluh ribu. Sama seperti sholat berjamaah. Kamu sholat sendiri, dapat pahala satu, kamu sholat berdua, dapat pahala 27. Logikanya dimana? Ya emang logikanya nggak masuk. Ini matematika Tuhan.”

ASLI AKU SPEECHLESS!!!

Aku niat banget pengen denger ceramahnya Cak Nun yang terkenal eksentrik itu, tapi aku justru ketiduran dan terbangun ketika udah ganti kyai. Eh, malah dapet pencerahan dari dua orang anak muda yang dari segi style ‘nggak banget’ deh. Gokilnya lagi lho, ketika mobil yang kami kendarai berhenti di depan CK gejayan, dua cowok yang beberapa menit sebelumnya mencerahkanku malah sibuk ngrasani cewek berhotpants dan berlanjut ke wacana soal ‘bagian tubuh wanita yang memang indah’

Ealah! =))

Senin, 16 Januari 2012

Aku masih Perempuan

Hujaaaaan deras dengan petir menyambar...eh....mendung gelap...ngebuat aku teringat kejadian 1 Januari 2012 lalu.

Aku, Husky [sebab sampai saat ini rambut Naga masih merah, jadi kupanggil dia Husky] dan empat orang kawan kami menembus hujan untuk pulang ke Jogja. Hujan deras, dan mulai gelap. Sampai di jalan magelang, aku dan Husky berpisah dari teman-teman yang lain. Aku mengambil jalan ke kiri. Aku [yang saat itu membonceng di belakang], dengan pedenya bilang,"terus...terus...lurus." padahal aku sudah mulai punya feeling aneh. Jalanan itu terlalu sepi, kanan kiri sawah semua. Kami nyasar.

Di tengah jalan, saat langit sudah benar-benar gelap, aku dan Husky sudah benar-benar basah kuyup, Husky memintaku untuk mengendarai motor. Aku maklum, Husky-ku berkacamata. Jelas nggak akan bisa melihat  di tengah hujan deras dan jalan tanpa penerangan itu. Aku memberanikan diri. Ternyata membonceng Husky lumayan berat, aku susah ngebut.

Aku berusaha bersikap jagoan. Tapi semakin jauh, semakin gelap jalan yang kami lewati, aku semakin takut. Bayangkan!! di kanan kiri kami gelap gulita, nggak ada rumah satupun. Cuma ada cahaya dr Pausku. Aku berani bertaruh kalau kanan kiri kami itu sawah!! Tanganku gemetaran, karena takut. Ya, aku takut gelap dan aku sendiri nggak tahan dinginnya hujan. Saat itu, kami sudah kehujanan lebih dari 3 jam, terhitung sejak berangkat pulang dari temanggung.

Merasa putus asa, aku memutuskan untuk memutar balik. Sepanjang perjalanan, aku nangis. Bener-bener nangis. Membayangkan Husky di belakangku yang basah kuyup, dengan pandangannya yang buram, pasti sangat nggak nyaman untuknya. Aku menangis. Nangis. Kalau bukan karena keidiotanku, mungkin kami sudah sampai di kost, sudah mandi, dan minum minuman hangat.

Ketika nyaris mencapai jalan magelang kembali, Paus [honda beat biru]ku oleng. Aku panik, dan benar saja, ban depan si Paus bocor. Aku tambah nangis. Untungnya mukaku basah karena hujan. Aku nggak bisa mengendalikan Paus, akhirnya Husky turun dan mengambil alih kendali. Dengan kondisi pandangannya yang buram, tapi katanya "Tenang aja, udah sampai di kota. Banyak cahaya, gak apa-apa."

Syukur alhamdulillah, nggak jauh dari situ ada tukang tambal ban. Di situ, Husky baru tahu kalau aku nangis. Aku cuma bisa sesegukan dan bilang, "Maaf....maaf...malah bikin nyasar." aku terus bilang maaf berkali-kali sampai akhirnya Husky mengeluarkan handuknya untuk mengelap air mata campur ingus campur air hujan yang membasahi mukaku.

Aku terus merasa nggak berguna, merasa bersalah, merasa lemah, dan segala macamnya. Aku terus bilang, "Maaf...maaf.." sambil nangis. Husky menepuk-nepukku sambil terus bilang, "Udah tho...santai ayyang....udah nggak apa-apa."

Bener-bener pengalaman gak terlupakan. Aku, dikepung hujan deras yang tajamnya seperti paku, jalanan sepi gelap gulita yang jelas membuatku sesak nafas, ketidakmampuanku membawa Husky secepatnya ke tempat hangat dan aman. Hiks hiks, kalau ingat kejadian itu, rasanya aku bersyukur sekali kami masih hidup. entah apa jadinya kalau aku nekat lewat jalan itu, jalan yang konon katanya banyak perampok kalau malam.


Yah, aku masih perempuan...dan nggak bisa melindungi orang yang kusayang...nggak bisa melindungi secara fisik, jelas T.T

Senin, 09 Januari 2012

#JLEB moment: Belajar dari Husky

#JLEB moment: Belajar dari Husky (Aku memutuskan, selama Naga berambut merah, aku akan menyebutnya Husky >.<)


Paling nggak, otak kecilku ini mengingat beberapa kejadian berkesan yang agak #jleb. Pelajaran berharga untuk gadis ingusan macam aku.

Misalnya:

1. Ketika aku dan Husky berniat pergi makan di sekitar kost. Karena pergi nggak akan lama, aku langsung menutup pintu kamar tanpa mematikan lampu dan kipas angin. TV pun kubiarkan menyala. Lantas cowok manis berkacamata itu berkomentar,

Husky  : “Matiin donk TV-nya. Boros tauk.”
Aku     : “Biariiin….kan aku udah bayar. Suka-suka donk makenya seberapa.”
Husky  : “Iya, tapi bisa jadi kebiasaan sampai besok punya rumah sendiri.”
Aku     : “Eh…..”

Kupikir dia cowok cuek yang pemalas dan tahunya cuma nongkrong-kuliah-tidur. Ternyata dia cukup perhatian untuk hal sekecil ini. Listrik lhoooooo…..secara aku anak kost. Udah bayar di muka, mau pakai listrik seberapa banyak-pun itu hak aku. Pokoknya udah bayar dan trima beres. He…baru nyadar, betapa idiotnya aku ini :(

2. Ini cerita ketika aku menanyakan kabar kakaknya yang sedang menempuh studi S2 (kalau nggak salah sih spesialisasi kenotariatan) dan berkabar tentang rencana masa depan salah seorang sahabatku yang ingin langsung lanjut s2 begitu lulus nanti. Aku ngiler, dan kubilang padanya aku ingin S2. Oh ya, sekedar info, kakaknya Husky umurnya tiga tahun lebih tua daripada aku.

Husky  : “Tauk tuh kakakku, sibuk kuliah. Masih pake uang ortu. Mmmm….tapi ya nggak apa-apa sih. Toh itu jelas buat kariernya dia besok. Kalau ambil S2 cuma karena pengin….haddeh….” [asli struktur kalimatnya kacau banget, dibiarkan menggantung dengan nada sakratis yang samar. Tapi aku paham apa yang dia maksud]

Aku     : krik…krik…krik…[terdiam lantaran merasa tertusuk]

Jujur aja sih, aku pengen banget ambil S2 di CRCS (Center for Religious and Cross-Cultural Studies). Alasannya? Ya karena aku tertarik dengan bidang studi itu. Murni karena tertarik tanpa ada pikiran lebih jauh untuk menggunakan background akademis tersebut sebagai bekal mencari pekerjaan. Simple sih, sebab di otakku hanya terpikir kalau esok bakal meneruskan bisnis konstruksi milik orangtuaku.

Argument sederhana yang keluar dari sosok cowok muda berambut merah yang terlihat sangat labil itu mempesonaku. Lebay? Biarin. Soalnya, opini pribadi Husky yang mungkin terlontar dengan spontan itu mengintrospeksi ambisiku. Akhirnya aku memilih untuk, menginvestasikan uangku, membelikan handphone, dan membiayai liburan adik-adikku daripada memberikan uangku untuk UGM lagi. Ah, bener sih. Soal ilmu humaniora seperti itu, “bisa kamu pelajari dimana aja…”