Rabu, 16 November 2011

Kalau bukan penulis mana bisa jadi editor???

“Haruskah D3/s1?? Yang diutamakan dlm kreatifitas adlah mngerti EYD...kalau bukan penulis mana bisa jadi editor....logikanya dimana?”

Kalimat yang berantakan itu mampir si sebuah status Fb sebuah Penerbit Besar di Jogja yang sedang membuka lowongan editor. Kalimat itu terasa agak sinis dan menyebalkan, terutama kalimat terakhir “Logikanya dimana?” Sangat mengganggu untuk seorang editor (freelance) sepertiku.

Baiklah, mari kita bahas satu persatu.

a.       Haruskah D3/S1??

Kualifikasi yang dibuka untuk editor memang min D3/S1. Sepertinya hampir di semua penerbit mematok standar yang sama. Malah ada beberapa penerbit yang secara spesifik meminta jurusan tertentu seperti Psikologi. Baiklah, mari kita pahami dulu apa sebenarnya editor itu?

Editor (sepanjang pengetahuan saya yang belum genap setahun nyemplung di dunia penerbitan) adalah seseorang yang bertugas menyeleksi naskah, menyunting (edit aksara, EYD ataupun konten), dan menerbitkannya. Susah? Jelas.  Seorang editor dituntut untuk PEKA, punya SELERA TINGGI dan yang jelas JELI melihat pergerakan pasar. Nggak sembarang orang bisa jadi editor. Itulah yang ada dalam benak saya.

Saya bukan seorang ektrimis akademik yang mendewa-dewakan gelar Sarjana. Buat saya pribadi, pengalaman jauh lebih berharga daripada transkrip nilai. Saya sudah membuktikannya. Mantan Pimpinan Redaksi saya (dan pernah menjadi editor), hanyalah seorang lulusan SD. Tapi dia (yang umurnya cuma setahun lebih tua) bisa benar-benar cerdas dan membuat saya yang bergelar S.S merasa malu dengan sepak terjangnya. Dia malang melintang di beberapa komunitas penulis di beberapa kota dan penerbit. Namanya berkibar dan nggak susah untuknya mencari pekerjaan sebab yang datang padanya adalah penawaran. Look!

Berkaca pada Mantan Pimred saya itu, saya setuju untuk menghilangkan kualifikasi D3/S1. Namun kemudian sebuah kalimat menyentil saya. “INI INDONESIA”. Ada berapa persen orang yang mau mencerdaskan diri sendiri dengan belajar otodidak?? Sarjananya saja dicetak dengan uang (masuk univ terkenal pakai uang pangkal super besar), dan lulus dengan kualitas SDM pas-pasan.

Yah, menurut saya, kualifikasi itu tetap perlu. Sebab INI INDONESIA a.k.a ENDONESIA pake ‘E’. Pesimisme berlanjut defensif berlebihan sangat dibutuhkan. Sarjana-nya aja banyak yang nggak kompeten.  Memang, banyak karyawan pribumi yang sukses di perusahaan. Eh, tapi lihat perusahaannya, Ownernya orang asing! Miris!

So, intinya, kualifikasi itu tak perlu dihilangkan. Bukannya nggak memberi kesempatan pada orang-orang yang nggak berpendidikan formal, tapi ini dimaksudkan untuk memotivasi mereka agar mau berusaha lebih keras lagi. Kalaupun pahitnya kualitas SDM Endonesia anjlok di mata internasional, pemerintah kita akan mulai memberi perhatian lebih pada dunia pendidikan. Ehm…itu kalau mereka masih punya nurani sih.

b.      Kalau Bukan Penulis Mana Bisa Jadi Editor….Logikanya dimana?

Wah, kalau bahasan ini sih, saya cuma mau bermain opini. Kalau bukan penulis, mana bisa jadi editor?? BISA DONK. Malah lebih mampu, sebab seorang editor melihat karya dari luar dalam, dari jarak dekat maupun kejauhan. Beda dengan penulis yang melihat karya dari dalam.  

Jelas beda dan nggak bisa disamakan. Seorang penulis nggak akan bisa melepaskan diri dari sifat subjektif (sangat manusiawi dan bisa dimaklumi), sementara seorang editor dituntut (dan memang bisa) bersifat objektif. Kenapa? Sebab sekali lagi, editor memandang karya sebagai sesuatu di luar dirinya. Menurut saya, seorang editor memang wajib menguasai gramatikal maupun trend berbahasa tapi tidak perlu mempunyai kemampuan menulis.

Ektrimnya lagi, editor memposisikan diri sebagai konsumen alias pembaca. Dia akan memilih naskah, mengkoreksinya sedemikian rupa sehingga jadi bacaan yang nyaman dan mengasyikkan. Jelas, kan. Logikanya, nggak perlu jadi penulis untuk bisa menilai mana tulisan yang bagus mana yang enggak.

5 komentar:

  1. Setuju, seorang editor tidak boleh melihat sebuah karya sebagai penulis, tapi sebagai pembaca.

    Mungkin yang dimaksud adalah dibutuhkan yang mengerti EYD, tapi logika bahwa mengerti EYD pasti penulis itu adalah logika sesat. Penulis dan EYD tidak bisa diklausulkan. :)

    BalasHapus
  2. mantap bener nih opininya, editor dan penulis sudut pandang menikmati sebuah artikel memang laen, menurut sy yang cocok sbg editor ialah orang yang punya hoby membaca, tdk skedar membaca, tp bs menangkap, merasakan, dan mengerti tentang tata bahasa dalam sebuah karya penulisan...CMIIW

    BalasHapus
  3. hemm... masih belum banyak memiliki ilmu dibidang tulis menulis :D

    BalasHapus
  4. oke... kalo begitu... karna ini indonesia ... maka saya akan belajar memintarkan diri hahahha.... :)

    BalasHapus
  5. editor memang harus memposisikan sebagai pembaca, biar nantinya pembaca sudah bisa terima hasil yang maksimal dari buku itu. :)

    BalasHapus