Kamis, 10 November 2011

Perempuan yg tak bisa memasak [seperti aku]

10 Nov 2011
19.00 WIB

Akhirnya sampai rumah juga. Syukur deh, agenda #BukaGratis perdana sukses. Yang belum tau, follow @bdandelions aja. Cukup Retweet info #BukaGratis, dan satu orang yang beruntung bakal dapat makan gratis setiap Senin-kamis (khusus yang puasa lho ya). Tempat boleh request. Jogja Only ^^

Nah, ceritanya tadi kami (aku dan satu follower yang beruntung) makan di Mie Tarik Jalan Kaliurang kilometer 5. (Nggak ngeh alamatnya, tapi yang jelas persis di sebelah Sop Ayam Pak Min)  


Setelah kami memilih menu, kami mulai ngobrol. Obrolan kami agak terganggu karena di belakangku, seorang ibu-ibu menelpon dengan suara keras. Mau nggak mau kami menguping. Ah, sebenernya nggak berniat menguping, tapi tanpa sengaja menguping (loh??)

Aku cuma menangkap beberapa kalimat yang sangat emosional. Dan kurang lebih, intinya begini:
“Coba bayangkan, perempuan yang sudah capek seharian bekerja cari uang, sampai di rumah nggak ada makanan, malah dibentak-bentak. Dikatain A*u, T*I, bla…bla…bla…”

Yak! Yang terekam di kepalaku hanya itu. Rasanya #Jleb. Fenomena wanita karier, wacana yang nggak pernah berhenti didengungkan Ayahku.

Perempuan yang sudah capek seharian bekerja cari uang, sampai di rumah nggak ada makanan

 Lho?? Aku banget. Aku inget kulkas yang kosong. Kecebong-kecebongku yang cuma kukasih duit dan kusuruh makan di luar. Aku ingat, aku suka ngomel panjang lebar dan marah-marah nggak karuan kalau pulang dari kantor disuruh bantu-bantu cuci piring. Aku tahu rasanya capek, tau banget. Rasanya pengen segera mandi dan nempel di kasur. Nggak perlu ngerjain tetek bengek pekerjaan rumah tangga.

“Kamu itu perempuan. Tetap harus belajar masak dan menguasai dapur meskipun cuma dikit. Semua suami pasti pengen dimasakin istrinya.” Kata Ayahku dulu,

“itu zaman kapan, Yah?”

“Kalau nanti suamimu jadi hobi makan di luar trus nggak betah lama-lama di rumah gimana?”

“Ih…amit-amit.” jawabku bergidik ngeri.

Ah, aku ini…sama sekali nggak terampil memasak. Aku pernah masak tumis kangkung, sesuai resep lho! Tapi rasanya hambar abis! Parah lagi ya, aku mencoba masak nasi goreng, dan si Nomor 2, adek cowokku yang sekarang sedang sibuk Skripsi itu dengan keji membuangnya ke tong sampah.

Katanya, “Ini sih sampah. Nggak bisa dimakan.”

Huhuhuhu…masih mending Babi ya. Dulu aku masak ayam goreng kunyit untuknya. Aku sendiri malas makan. Tapi Babi berkomentar, “Aku nggak mau makan masakanmu lagi. Bikin aku keracunan.”

“Hiks…” Aku memelas

“Keracunan cintamu….” katanya lagi sambil tertawa.

Aku bengong sepanjang perjalanan pulang dari #BukaGratis. Aku sih nggak masalah, sekarang masih muda dan imut-imut, masih bisa ambil overtime sampai tengah malam sekalipun. Aku menikmatinya, berangkat ke kantor-bekerja-pulang-maen atau bersantai. Nggak ada tanggungan anak-suami yang menanti di rumah.

Ah, kangen Ayah deh. Sepertinya aku mulai mengendus sesuatu di balik kepergian Ayahku ke Mekkah. Ayah sengaja memberiku tanggung jawab penuh, termasuk di antaranya keuangan rumah tangga sampai ke bisnis beliau. Sangat beresiko menurutku. Bukan nggak mungkin aku frustasi lantaran nggak bisa membagi waktu antara kerjaan kantor, bisnis material Ayah, dan urusan rumah termasuk kecebong-kecebong kecil itu. Aku kan perempuan. Idealnya (menurut orang-orang tua) perempuan mengurus rumah tangga dan pendidikan anak sementara Sang Suami bekerja mencari uang. Kalau sekarang, aku menjalani dua peran sekaligus! Ayahku terlalu percaya padaku. Aku sungguh terharu! Hiks!

“Mbak Aya kan perempuan. Kerja boleh, tapi juga ingat rumah. Besok kalau udah punya suami terus Mbak Aya sibuk kerja sampai anak-suami nggak keurus gimana? Masih bisa bahagia? Uang bukan segalanya. “

“Susah lho, ketika nanti Mbak Aya punya penghasilan jauh di atas suami. Susah untuk bisa menghargai keberadaan lelaki kalau udah terbiasa mandiri. Ya…bukan berarti Ayah nyuruh Mbak Aya manja. Sama sekali nggak. Justru Ayah bangga kalau Mbak Aya udah bisa hidup sendiri, tapi tetap harus diinget, lelaki itu punya harga diri. Tugasnya istri itu menghargai suami, harus bisa jaga perasaannya.”

“Jangan terus bicara seolah-olah kamu itu nggak butuh lelaki.”

“Laki-laki itu kalau harga dirinya udah keinjek, bisa marah besar. Bisa hancur yang namanya rumah tangga.”

“kerjakan semuanya sesuai proporsi masing-masing. Ketika di kantor, Mbak Aya seorang karyawan yang punya anak buah. Mbak Aya bisa menyuruh ini itu. Tapi di rumah, Mbak Aya adalah seorang istri yang harus nurut sama suami, dan nantinya juga jadi ibu yang harus deket sama anak-anaknya.”

Seperti biasa, aku akan ngeles, “Aku mau cari suami yang ngedukung karierku”

Dan Ayah cuma bilang,  “Amin. Semoga dapat imam yang baik ya.”

Oke, ini sudah lewat dari seminggu Ayah meninggalkanku. Aku sudah cukup beradaptasi. Pertama, keuangan tokoku mulai membaik meskipun aku masih gagap menghadapi konsumen dan masih pusing menghadapi deretan angka saat pembukuan. Kedua, Si Nomor 3 sudah mau berangkat sekolah dan terlihat cuek menghadapi kimcil-kimcil brengsek berkawat gigi itu. Itu artinya, aku nggak perlu ke sekolah dan menemui guru BK-nya. Ketiga, aku mulai bisa melek setelah subuh alias nggak tidur lagi. Aku mulai mau menyapu dan cuci piring tanpa harus diteriaki (Ya iyalah, sekarang nggak ada Ortuku, siapa yang mau neriakin).

Cuma satu masalahnya, aku masih belum bisa memasak. Belum, tapi aku sudah bisa goreng sosis dan nugget kok -____- 

ps: Menu yang kupilih hari ini adalah Mie Tarik Goreng Seafood....enak. Mie-nya kerasa udang banget >.<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar