Minggu, 13 November 2011

Dilema: Tidak Bisa Tidak Pilih Kasih

FAKTA: Aku memang yang paling pendek

Ini hari minggu, dan seharian tadi aku menghabiskan waktu untuk rapat kerja. Sekitar pukul dua siang, kepler kesayangku berdering, Si Bungsu menelpon.

“Mbak Aya kapan pulang? Aku mau berangkat ke asrama nanti jam 4. Aku mau minta uang saku.”

“Sabar ya, Mbak Aya masih rapat. Nanti aku usahain pulang sbelum jam 4, tapi kalau nggak bisa, berangkat habis maghrib nggak apa ya?”

“Mmmm….iya udah. Nggak apa-apa, tapi diusahain ya.”

Si Bungsu, kelas 1 SMP [lagi-lagi di yayasan milik ayahku] dan memutuskan untuk asrama. Dia pulang ke rumah setiap sabtu sore pukul 4 sore dan kembali ke asrama pada hari minggu pukul empat sore juga. Aku sampai di rumah jam setengah enam sore, jadi aku langsung mandi dan terlambat ikut makan malam bareng tiga adekku lainnya.

Setelah Si Bungsu selesai mengangkut koper ke bagasi mobil, aku masuk ke menyusulnya dan mengangsurkan uang saku untuk seminggu.

Dari jok belakang, Si Bungsu menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan. Katanya, “Ini minggu kemarin kelebihan sepuluh ribu, Mbak.”

Ew…manisnya adekku yang satu ini. Kalau adek-adekku yang lain pasti bakal bilang, “Kembaliannya buatku ya!”

Sepanjang perjalanan kami mengobrol.

“Aku kepilih jadi wakil sekolah untuk lomba paskibra, Mbak. Kayaknya nanti aku butuh sepatu sama perlengkapan lainnya. Trus minggu besok, minggu besoknya lagi (maksudnya dua minggu yang akan datang) aku boleh nginep di rumah rahma nggak? Boleh ya? Itu temen sekamarku di asrama.”

“Hmmm….gimana, Bro?” tanyaku sambil menoleh ke Si Nomor Dua yang sibuk menyetir. Plis deh, obrolan kami udah kayak orangtua yang lagi nganter anaknya ke sekolah!

“Ya, nggak apa-apa. Tapi Mas yang nganter-jemput kamu ke rumah Rahma ya?”

“Dijemput sama eyang uti-nya Rahma kok.” Jawab Si Bungsu.

“Ya udah, biar pulangnya aja yang dijemput Masmu. Gimana?” tanyaku.

“Kan pulang dari rumah Rahma langsung ke asrama, Mbak. Ya dianter eyang uti.”

“Udah biar aku yang anter jemput aja. Biar aku juga bisa masrahke dia Eyangnya Rahma.”

“Yawda…. Dua minggu lagi, kan? Ingetin Mbak Aya biar ngasih uang sakunya skalian double dua minggu.”

“Makasiiiiiih ya Mbak Ay…”

Ya ampun. Adekku yang satu ini manis banget sih. Prestasi akademiknya bagus, kalem, kalau ngomong lemah lembut, penurut, nggak suka bentak-bentak dan nggak pernah lupa bilang tolong dan terima kasih. Anak siapa ini? Belajar jadi anak baik gitu dimana sih? Soalnya nih ya, ketiga kakaknya brengsek semua.

Yang sulung alias aku sendiri hobi bolos sekolah, keluyuran, brantem sama ibu hampir tiap hari, kasar, nggak tahu aturan, zaman smp malah suka mukulin orang. Yang nomer dua, sama-sama hobi ngeluyur, berantem, dan know lah, kenakalan khas remaja. Sementara yang nomer tiga lebih bikin frustasi. Bolosnya nggak sehari dua hari, tapi seminggu lebih. Kalau ngomong kasarnya minta ampun, nggak peduli sama orang yang lebih tua kayak aku sekalipun. Kelewat cuek. Kalau udah marah, misuhnya lebih fasih daripada aku. Udah gitu pacar ganti tiap beberapa bulan sekali, gimana nggak bikin jengkel??

Tambah lagi ya, kalau misal toko sedang kosong dan nggak ada karyawan, Si Bungsu lebih bisa menghadapi pembeli daripada kakaknya yang notabene 4 tahun lebih tua itu. Si Bungsu bisa menghitung dengan cermat, bisa membuat nota sesuai instruksiku, dan bisa negosisasi harga. Apa nggak keren??

Dalam perjalanan pulang, aku dan Si Nomor Dua terlibat pembicaraan serius.

“Bro, kamu urus Si Nomer Tiga donk. Kalau Si Bungsu, nggak perlu dikhawatirkan. Udah dewasa, bisa urus dirinya sendiri. Aku percaya kok sama dia. ”

“Ya nggak gitu. Tetep harus dikasih perhatian yang sama.”

Adil bukan berarti harus sama, Bro. Adil itu sesuai proporsi masing-masing.”

“Kamu luangin waktumu lah, pergi nemuin guru BK nya Si Nomor Tiga. Konsultasi ada masalah apa di sekolahnya.”

“Aku kan kerja full dari pagi sampe sore. Sore mpe malem ngurus toko-tokonya Ayah. Belum lagi kalian bertiga kalau minta uang nggak liat sikon. Musim ujan gini stock barang habis, nggak ada produksi. Pemasukan juga menurun. Tolonglah, urus si Nomor Tiga. Kamu dampingin dia. Dia butuh dukungan psikologis tuh.”

“Lho, aku kan sibuk kuliah. Bolak-balik Solo-Jogja. Belum lagi tugas numpuk, trus juga mikirin Sabi [nama pacarnya]…”

“Untung banget deh aku punya pacar yang nggak ngrepotin, nggak sering berantem, nggak nambahin beban pikiran,” aku memotong rentetan kalimatnya.

“Bukannya sering berantem, tapi kan mikir ke depan. Mikir nikah. Nggak apa kan kalau aku ngelangkahin kamu?”

“He’emh…santai aja lah,” sahutku malas. “Tapi kalau semua urusan rumah dipasrahin ke aku, aku capek jiwa raga ya. Biar aku kerja ma urus bisnis, kamu urus adek-adek. Okey?”

“Oke deh, Sist. Nanti kalau aku udah selesai kuliah, aku handle satu toko. Kamu satu toko, dan ortu kita biar konsen ke Si Nomor Tiga.”

“Yaa…ya…” aku mengantuk dan begitu sampai rumah langsung berangkat tidur.

PAGINYA

“Sist, Bangun. Minta duit bensin donk,” Si Nomor Dua dan Si Nomor Tiga kompak menendang-nendang badanku yang tergeletak di kasur di depan TV. Aku menguap dan membuka dompet.

“Sist, nanti malem aku nggak pulang ya. Pulang lusa!!! Bye! Muach!!” Si Nomor Dua berlari terburu ke garasi. Aku terduduk bengong seperti orang bodoh. Eh…..adek brengsek!!!!!

10 komentar:

  1. Hi, Blogger Jogja juga ya? Salam kenal :)

    BalasHapus
  2. @arif : Newbie,Kak....salam kenal juga...


    @elang : makasih ^^

    BalasHapus
  3. wah, anak keempat emg biasanya keren! (mentang2 anak ke empat) hehe, :D

    BalasHapus
  4. mangstabhh, keep blogging mbak sist ^_^

    BalasHapus
  5. @agfian : ya bgitulah...adek aku yg bungsu emg bkin ati dingin ^^


    @addyn : makasi, saran dan kritiknya aku tunggu ^^

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. keep posting .. bagus nih dijadiin novel, semangat, salam KBJ

    BalasHapus
  8. Keluarga yang manis. :)
    Hehehe...
    Btw, ada PR dari aku, tengok di blog aku ya... :)
    Tentang cerita jaman SD.

    BalasHapus
  9. susah ya buat bilang "tolong" / 'terima kasih"

    BalasHapus