Jumat, 12 Agustus 2011

Suatu Senja Di Kolong Jembatan Gondolayu


23 februari 2011

Hari yang sibuk. Tapi benar-benar berhasil membuatku kembali ke netbook selain urusan kantor. Menulis sesuatu yang [mungkin] tak penting untuk kalian, kawan.

Aku pulang dari kantor, tanpa memasukkan Paus ke garasi kost, langsung menuju bantaran kali Code—selain karena astrada (asisten sutradara) berjaket hijau sudah menanti di depan kost selama puluhan menit— yeah, aku sedang mencari lokasi yang pas untuk memancing imajinasi. Tanpa mandi, tanpa cuci muka. Hanya menukar wedges dengan sandal jepit berwarna hijau. Lusuh? Jelas. Apalagi setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang membuat jemariku tak pernah menjauh setengah meter dari keyboard. Lelah? Hilang sudah.

Setelah sempat bertanya dengan beberapa orang [termasuk sepupuku yang katanya mirip Nicholas Saputra], aku berhasil menemukan Museum Romo Mangun. Sebuah bangunan bertingkat, berdinding anyaman bambu, dilukis sederhana. Terlihat manis di antara rumah-rumah sempit dan, maaf, terkesan kumuh.

Agak kecewa rasanya, karena Museum Romo Mangun tidak seindah yang ditampilkan oleh salah satu televisi nasional. Di tivi, museum itu bersih. Tidak ada sampah, jemuran, ataupun tai burung (atau tai bebek aku nggak tahu) yang memenuhi anak tangga. Buku-buku di dalam ruangan-pun berserakan. Sebagian berdebu. Ada dua unit komputer di salah satu sudut museum (wait, rasanya akan lebih tepat jika aku menyebutnya Rumah Baca ktimbang Museum) yang juga berdebu. Dua unit komputer itu berwarna hitam, jadi debu yang menempel terlihat sangat jelas dan sangat tebal.

Di sisi lain, sebuah bendera kecil tertempel di dinding. Bendera kecil itu berwarna kuning metalik, dengan tulisan Universitas Katholik Atmajaya (Kampus yang punya mahasiswa Babi paling ganteng). Ketika aku memandang keluar jendela, tampak bongkahan besi bercat hijau yang teronggok sepi di bantaran sungai. Pasir merapi membuat sungai menjadi dangkal, dan perisi seperti bibir pantai berpasir kehitaman.

“Itu yang hijau-hijau di pinggir sungai, apa ya, Mas? Seperti ayunan,” tanyaku pada penjaga Museum yang sedikit gondrong dan bau, tapi ramah dan murah senyum.

“Oh, itu kanopi, Mbak. Sumbangan dari mahasiswa KKN UGM. Tapi karena cor-coran fondasinya nggak kuat, langsung hancur waktu banjir lahar dingin,” jawab si penjaga Museum.

Aku langsung teringat bangunan Ruko yang ambruk dan jalanan yang ambles. Semua karya cipta pemerintah selalu gampang rusak karena sebagian besar dana pembangunan di korupsi para pemborong. Hadduh, problem klasik.

Aku melanjutkan perjalanan, melihat-lihat bangunan disekitar sungai. Rumah-rumah itu sempit, dan pastinya apek. Ada bebek-bebek berkeliaran. Dinding dan pintu penuh coretan. Jemuran bergelantungan dimana-mana. Sumpah sungguh, aku merasa kesulitan untuk mendiskripsikannya dalam tulisan ini.

Satu hal yang pasti, dari bawah sini aku bisa melihat jembatan Gondolayu. Silakan baca notesku ‘Dini Hari di McD’. Ada beberapa potong kenangan. Kenangan tentang sisi jembatan Gondolayu yang menghadap selatan, motor satria FU, sekaleng bir, sebotol Mix-max lemon, Djarum Black Slimz, dan sebungkus rokok yang aku lupa merknya (maafkan aku, Mantan. Sekarang aku lupa merk rokokmu) dan suasana tengah malam.

Ya, ketika itu kami bisa menikmati lalu lalang mobil mewah yang berangkat clubbing, yang dengan sangat noraknya menyetel music superkeras hingga memecah keheningan malam sampai radius sepuluh meter. Kami bisa menikmati segerombolan anak muda dengan gaya gaul, memajang motor-motor mereka yang lumayan bermerk. Kami bisa menikmati gadis-gadis muda berhot pants.Saat itu aku hanya berpikir, apa gadis-gadis itu tak kedinginan sementara aku harus mengenakan jaket berbulu, Black Slimz favorit dan Mix Max nggak cukup untuk menghangatkan badanku. Padahal, badanku nggak lebih gemuk daripada gadis-gadis itu.

Kami berdua (aku dan lelaki pecinta bir itu) bisa menikmati nyawa malam sebuah kota bernama Yogyakarta, tanpa tahu bahwa di bawah kami, keluarga-keluarga tidur dalam ruangan sempit. Berdesakan, dan mungkin kedinginan karena selimut mereka tipis dan lusuh. Kami masih bisa membeli cashbeulrgh. Sementara mereka susah payah mencari air bersih untuk minum, dimanapun, di setiap sudut rumah, yang ada hanya genangan air penuh jentik. Tahi-tahi bebek dan burung berceceran, air sungai tampak keruh, bau dan membuat badan gatal.

Aku bersyukur terlahir sebagai aku. Paling tidak, Tuhan masih membuatku mengingatNya. Terima kasih Tuhan, dan sayangi manusia-manusia di bawah jembatan gondolayu.

Kalian? Ketika kalian merasa sebagai orang paling sial sedunia, hubungi aku. Aku akan dengan senang hati mengantar kalian jalan-jalan melihat kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar