Jumat, 12 Agustus 2011

Biar Kere Asal Sombong

Pagi ini, saya iseng saja membuka-buka majalah politik. Bukan karena apa-apa, saya benar-benar iseng karena sejatinya saya adalah seorang manajer band yang pastinya penggemar berita infotaintmen. Saya sangat kuper terhadap perkembangan politik di indonesia. Terakhir kali saya menghafal nama mentri sekitar tigabelas tahun lalu, itupun demi memperoleh nilai 7 pada pelajaran PPKN.

Saya baru ngeh, kalau ternyata DPR punya tradisi pemberian cincin dan lencana emas yang sudah berlaku sejak dulu. Sekitar 678 anggota dewan akan memakai cincin emas murni sebagai tanda terima kasih. Sedangkan lencana emas akan menghiasi jas para anggota dewan sebagai tanda selamat datang. Alamak, saya emang tahu kalau gaji dan tunjangan anggota DPR mencapai 1 milyar per-orang tiap tahun (anggaran total keseluruhan Rp 1,3 triliun), tapi kalau tanda selamat dan terima kasih ini, wah. Saya cuma bisa bilang wah!

Semua anggota mendapatkan jatah yang sama, emas murni. Biarpun kecil mungil kalau namanya emas murni pastilah mahal harganya. Anggaran terakhir yang dikeluarkan DPR untuk si emas itu mencapai Rp 4,9 Miliar. Rp 4,9 Milyar hanya untuk aksesori berupa cincin dan lencana. Alangkah borosnya. Sekretariat DPR menganggap angaran sebesar itu merupakan pengeluaran yang wajar karena sudah menjadi “tradisi” sejak puluhan tahun silam. 

Saya pikir, nggak masalah kalau Indonesia itu negara kaya raya, nggak terlilit hutang. Pemberian cincin dan lencana itu nggak jadi masalah kalau Indonesia sudah terbebas dari gelandangan dan orang miskin. Kalau semua warganya sudah dapat rumah yang layak, pekerjaan tetap, bisa makan teratur, nggak ada lagi penggusuran. Halah!!mimpi!!! Siapapun juga tahu kalau indonesia terkenal kere. Negara dunia ketiga yang miskin tapi senang benar menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal nggak penting. Cincin dan lencana itu contohnya. Kalau komputer dan mobil masih bisa diklaim sebagai fasilitas untuk menunjang kinerja anggota DPR, cincin dan lencana kan cuma aksesoris. Ngapain juga harus pakai emas murni? Sombong betul para petinggi di Senayan sana.

Biar kere asal sombong. Kata-kata yang kerap terlontar dari mulut saya ini selalu menuai prostes dari pacar saya. Dia menuding saya seorang hedon, mentang-mentang berkecimpung di dunia entertaintmen. Tudingan ini tidak sepenuhnya salah. Memang dunia entertaintmen tidak jauh beda dengan kehidupan di Senayan. Sama-sama glamour. Dunia yang sama-sama dipenuhi ambisi untuk tampil Wah! dan Wow! Jujur saja, terjun ke dalam entertaintment, dan juga politik, sama-sama membutuhkan banyak uang. Iming-iming kesuksesan dan materi melimpah awalnya menjadi tujuan utama, namun seiring berjalannya waktu, prestige menduduki peringkat satu.

Ada yang salah dengan bangsa ini. Sebagian orang menyadari, sebagian lagi tidak. Konsep “Biar kere asal sombong” sepertinya sudah menjadi tradisi bangsa ini(saya sebenarnya hanya merekonstruksi pepatah lama yang berbunyi “Besar pasak daripada tiang”). Itulah indonesia. Modernisasi yang bergaung keras di perkotaan memberi dampak terhadap pola kehidupan dan perspektif masyarakat. Ketika TV masuk desa, secara otomatis hidup glamour perkotaan terekspose jelas. Cewek-cewek modis yang menenteng kantung belanjaan, mobil-mobil mewah, cafe, dan mall-mall menjadi tontonan sehari-hari. Sinetron memiliki tanggung jawab yang sangat besar terhadap kerusakan tatanan ideal pedesaan.

Imej gadis desa yang pemalu dan sopan terkikis habis dengan munculnya “Tumini-tumini” yang menjamur. Imej Tumini yang dinyanyikan oleh grup band Jahanam benar-benar membuat saya tertawa. Kulit wajah sawo matang dipaksa menjadi putih dengan bedak setebal beberapa centimeter, body arem-arem dipaksa tampil seksi dengan tanktop dan rok mini. Gigi mrongos lima centi dengan bibir bergincu murahan. Maunya tampil Wah! dan Wow! tapi malah jadi huweeeek. 

Rasanya miris ketika melihat anak-anak petani memaksakan diri tampil mewah. Ada yang minta motor, ada yang minta handphone Blackberry, ada yang minta gaun, sepatu cethak-cethok dan make-up biar cantik seperti mbak-mbak di TV. Terlalu memaksakan. Akhirnya mereka malah jadi makhluk jadi-jadian seperti Tumini. Biar kere, asalkan mereka bisa tampil gaul, nggak masalah. 

Obsesi untuk menjadi wah! dan wow! pada akhirnya memaksa mereka untuk menghalalkan berbagai macam cara. Yang anggota DPR berikhtiar lewat korupsi, yang seleb berikhtiar dengan perselingkuhan, tidur dengan sutradara biar dapat peran, yang anak petani ya berikhtiar dengan mencuri, mencopet dan kalo kepepet ya merampok. Bangsa ini terlalu mengerikan ternyata. Kehancuran suatu bangsa di zaman modern seperti ini bukan melalui invasi senjata dan perang, tapi karena penyakit budaya. Mental yang rusak seperti ini harus diperbaiki dengan cara apa? Sudahlah...kita bikin negara baru saja.

Ps: Tulisan ini saya buatkan untuk tugas mata kuliah seorang sahabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar