Jumat, 12 Agustus 2011

Dear Marzuki Ali


“Jangan polemik di DPR itu melibatkan rakyat. Rakyat itu perlu ketenangan agar bisa bekerja untuk kehidupan sehari-hari,” 

“Kalau dibawa memikirkan bagaimana perbaikan sistem, bagaimana perbaikan organisasi, bagaimana perbaikan infrastruktur, rakyat biasa pusing pikirannya,”
(dikutip di Kompas, edisi Kamis 7 April 2011)

Kalimat bernada melecehkan itu terlontar dari mulut seorang H. Marzuki Alie SE, M.M , seorang pria kelahiran Palembang, 6 November 1955. Apa salah jika lantas saya merasa sakit hati sebab saya adalah bagian dari rakyat? Faktanya, saya memang seorang pekerja yang setiap hari berjuang untuk membeli beras dan membayar kost. Faktanya, saya nggak punya banyak waktu untuk menonton televisi dan ikut demo. Cukup beberapa lembar Koran dalam sehari, sudah cukup untuk tahu.
 
Kontroversi pembangunan gedung DPR baru memang nggak kalah heboh dengan berita pernikahan Pasha ataupun KD. Dimana-mana rakyat mencibir, berbagai kolom opini dipenuhi protes. Tulisan-tulisan pelepas penat macam tulisan saya ini-pun ada naudzubillah banyaknya. Tapi apakah para pejabat Senayan itu mendengar, melihat, dan mengacuhkannya? Jika melihat komentar Marzuki di atas, sepertinya tidak sama sekali. Bagi mereka, kita hanyalah manusia-manusia bodoh.

“Jangan polemik di DPR itu melibatkan rakyat. Rakyat itu perlu ketenangan agar bisa bekerja untuk kehidupan sehari-hari,” 

Dear Marzuki Alie, bagian mana yang Anda tidak tahu bahwa kami sama sekali tidak tenang? Sebagian dari kami masih harus berurusan dengan rentenir. Sebagian dari kami masih harus mencuri dan mencopet untuk bisa memberi makan keluarganya. Sebagian dari perempuan-perempuan kami masih harus melacur untuk mengobati orangtua mereka yang ditolak rumah sakit.

Saya bukan seorang pemerhati sosial yang bisa menyajikan data akurat mengenai berapa jumlah penduduk miskin di Indonesia, berapa jumlah pengangguran, berapa jumlah anak jalanan, dan seberapa tinggi tingkat kriminalitas di Negara ini. Tapi saya adalah bagian dari mereka. Anda terlalu tinggi terbang, hingga Anda lupa bumi yang tadinya Anda pijak. 

Dear Marzuki Alie, bagian mana yang Anda tidak tahu bahwa kami sama sekali tidak tenang? Sebagian dari kami hidup dalam ketakutan tentang ketiadaan beras esok hari. Sebagian dari anak-anak kami ketakutan dikeluarkan dari sekolah lantaran nggak mampu membayar SPP. Sebagian dari kami hidup dalam ketakutan karena tiadanya harapan untuk bisa lepas dari kemiskinan.

Bagian mana yang Anda tidak tahu??? Tidakkah Anda menonton televisi?? Jika memang pada akhirnya gedung DPR baru yang supermewah itu berhasil dibangun, saya sangat berharap ada ribuan televisi dengan layar ekstra lebar. Saya dan kawan-kawan akan dengan senang hati menyetorkan CD berisi cerita nyata rakyat jelata. Semuanya demi mengganti koleksi sinetron yang Anda tonton!! Iya kan? Selama ini Anda sekalian hanya menonton sinetron, So, kalian hanya tahu bahwa anak-anak sekolah zaman sekarang sudah hidup tenang dengan mobil ber-AC, para orangtuanya sibuk menyiapkan pesta. Itu kan yang Anda lihat??? Itu kan yang Anda lihat???

Benar, kami butuh ketenangan. Tapi bagaimana kami bisa tenang jika UMR tak kunjung naik sementara harga bahan pokok dan bahan bakar terus melambung. Bagaimana kami bisa tenang jika generasi muda kami direcoki ideology hedonis yang membuat mereka bodoh dan gampang dibodohi oleh kalian, para penguasa. Bagaimana kami bisa tenang jika perempuan-perempuan kami direcoki ideolgi feminis hingga mereka berhenti melahirkan anak-anak kami. Bagaimana kami bisa tenang jika toh kami punya anak, kami depresi melihat biaya pendidikan yang terus menerus merangkak naik. Jika kami kemudian sibuk mencari uang, meninggalkan anak-anak kami tumbuh tanpa perhatian orangtua sampai terjadi banyak kerusakan moral, kami lagi yang disalahkan. 

Benar, kami butuh ketenangan. Karena itulah kami berpartisipasi dalam pemilu. Kami pikir Anda- Anda sekalian yang bergelar tinggi mampu mewakili suara hati kami hingga lantas tercipta ketenangan. Ya, tercipta ketenangan seperti yang Anda bilang. Anda kan sudah duduk di singgasana, itu semua tanggung jawab Anda. 

“Kalau dibawa memikirkan bagaimana perbaikan sistem, bagaimana perbaikan organisasi, bagaimana perbaikan infrastruktur, rakyat biasa pusing pikirannya,”

Dear Marzuki Alie, Anda memang manusia super cerdas dan luar biasa. Kami memang manusia-manusia bodoh yang nggak paham reorganiasasi, perbaikan infrastruktur, bla..bla..bla..Kami hanya tahu bagaimana berkumpul dalam satu semangat dan satu tujuan. Kami hanya tahu bagaimana bermusyawarah dan menjalankan kesepakatan serta komitmen bersama. Kami hanya tahu bagaimana membangun sarana dan prasarana yang kokoh dan tidak mudah goyah. Kami hanya tahu lapangan, kami tak tahu bangku Pascasarjana seperti Anda, apalagi buku-buku teori.

Dear Marzuki Alie, tidakkah kalian (Anda dan kawan-kawan) yang merasa pusing? Kalian pusing bagaimana caranya menghabiskan gaji kalian. Kalian pusing memilih mobil baru untuk anak kalian. Kalian pusing memilihkan berlian dan permata untuk istri dan mungkin juga simpanan kalian. Kalian pusing memilih hotel berbintang yang cocok untuk melangsungkan pesta. Dan yang terakhir dan sangat penting, kalian pusing memikirkan bagaimana caranya agar tak kehilangan kursi dan mendapat proyek-proyek fiktif sana-sini. 

Kenapa kalian tak mau belajar pada sebagian dari kami?? Belajarlah bagaimana sebagian dari kami membagi sebutir telur menjadi delapan. Belajarlah bagaimana sebagian dari kami tertidur di emperan. Belajarlah bagaimana sebagian dari kami mencuri kue untuk sebagian lainnya. Belajarlah bagaimana sebagian dari kami bertahan hidup dalam gubuk kumuh yang terbakar berkali-kali. Belajar bagaimana sebagian dari kami harus berlari menghindari polisi dengan barang dagangan yang jatuh terburai dan terinjak. Belajarlah bagaimana sebagian dari kami tidak menangis bahkan ketika tak ada lagi sepeser uang di tangan.

Apa Anda pusing membaca tulisan saya ini??
Ps: Tulisan ini saya buat dengan perasaan melayang lantaran demam. Lagi-lagi, tingkat kesadaran saya menipis.





1 komentar:

  1. Karena jabatan dipandang sebagai kehormatan...
    semata, tempat mencari kenyamanan, kekayaan dan mendapatkan pujian.
    Gelar tinggi, fasilitas mewah telah membuat lupa bahwa sebenernya bahkan kita tidak berhak atas nyawa kita...
    sangat sebal dan kesal dengan pernyataannya dan sorot mata penuh keangkuhan...

    BalasHapus