Rabu, 18 Januari 2012

Lila Lila: Love story, books, writers, and publisher

German Cinema, 17-19 Januari 2012. Aku sudah mendengar beritanya minggu lalu. Dan salah seorang rekan kerjaku sudah berhasil reservasi tiket. Aih, entah apa yang terjadi padaku saat itu sehingga aku tak antusias mengikuti event tersebut. Tapi Tuhan mentakdirkan aku untuk ada di sana, semalam, 18 Januari 2012.

Setelah dihantam rasa penat karena ratusan naskah bertema patah hati, merasa jenuh, dan kram otak, Tuhan mengirimkan utusanNya yang manis. Kea, sahabatku, menawarkan tiket nonton Film berjudul “Lila Lila”. Hari itu, aku haid hari pertama dan jelas perutku mules nggak karuan. Lapar sih, tapi malas makan. Walhasil, aku membeli sekotak besar popcorn asin dan segelas besar cola. Pokoknya harus nonton! Udah berapa lama aku melewatkan banyak festival hanya karena alasan ‘sibuk kerja’.

Kea emang sahabatku yang paling Te O Pe deh! Dari sekian tiket yang dia punya (dia marathon film dari siang selama tiga hari berturut-turut!) dia memberiku tiket “Lila Lila”. Seolah mencoba mengembalikan kenangan akan ambisi kami semasa SMA dulu. Tentang hobi menulis dan obsesi tembus penerbit mayor yang sekarang terbengkalai.



Film ini bercerita tentang David Kern, seorang waiter yang jatuh cinta pada mahasiswi sastra. Awalnya, David dipandang sebelah mata oleh Marie. Sampai akhirnya, David menemukan naskah dalam buffet mini yang dibelinya di pasar barang bekas. Demi mendapat simpati dari Marie, David memulai berbohong. Dia mengklaim bahwa naskah berjudul “Shopie Shopie” yang bercerita tentang percintaan terlarang di era 50an itu adalah karyanya. 

Marie sangat terkesan dan mengirimkan naskah tersebut ke penerbit. Nggak disangka, naskah yang kemudian diganti judul menjadi “Lila Lila” itu meledak di pasaran. David menjadi terkenal. Kehidupannya membaik. Fansnya mulai dari kalangan tua sampai remaja. Dirinya menjadi rebutan para agen dan penerbit-penerbit besar di Jerman. Saat itulah, muncul sesorang tua bernama jacky yang mengaku sebagai pemilik asli naskah tersebut. David mulai hidup dalam tekanan, antara tuntutan untuk mempertahankan Marie (yang jatuh cinta pada ‘karya’nya itu), keinginannya untuk menghentikan semua sandiwara ini, dan Jacky yang terus berusaha mengeruk keuntungan finansial darinya. 

Totally, film ini bagus dan membuatku ngiler. Ah, display toko buku yang asyik. Acara pembacaan buku oleh si penulis. Pestanya para editor dan agen penulis membuatku mupeng. Kapan ya dunia literate Indonesia bisa seramai Jerman? Kalau kata rekanku sih, di Jerman sana, Buku jauh lebih romantis daripada bunga. Anak kecil umur 5 tahun sudah fasih membaca dan dibelikan banyak buku oleh orangtuanya. Mereka banyak menghabiskan waktu dengan membaca, di dalam kereta, di taman, di restoran. Kalau di sini? Di Indonesia? Kemana-mana pegang blackberry kali ya (nyindir diri sendiri)? Hihihihhihii




Tidak ada komentar:

Posting Komentar