Kamis, 22 Desember 2011

Belajar tentang Lelaki

"Aku perempuan, dan kau lelaki muda. Waktu itu, di tengah ratusan manusia, kita terhimpit. Aku merasa sanggup menerobos kerumunan, maju mendahuluimu, menggandengmu lalu membuka jalan. Merangsek maju nggak peduli harus berbenturan dengan orang-orang. Hanya beberapa langkah saja, kau menarikku ke belakang dgn agak kasar. Kau membuka jalan dan membiarkanku terlindung dibalik tegapnya badanmu. Ah.....aku ini sbenernya cewek apa cowok sih? kenapa terobsesi sekali ingin melindungimu? #Kepanasan"


Kutipan di atas adalah status FB-ku hari ini. Kalimatnya sangat berantakan, jauh dari kesan artistik, dan kumaafkan. Kumaklumi. Sebab aku menulisnya dengan kondisi setengah sadar menahan kantuk sambil mencoba berdamai dengan nyeri rahimku. Derita perempuan dewasa setiap bulan. Nyeri haid membuatku sangat tidak produktif.

Status itu terinspirasi dari kisah nyata pada 12 November 2011 kemarin. Yak, untuk pertama kalinya, aku dan Naga pergi ke event Ngayogjazz di KotaGedhe. Tahun lalu, seorang cowok mengajakku nonton acara itu, tapi dengan keterbatasan pengetahuan tentang musik jazz, aku menolak mentah-mentah. Saat itu, aku khawatir akan mengantuk dan mati bosan mendengar suara-suara terompet. Bodohnya!

Rasa ingin tahuku mulai meluap justru ketika melihat foto Naga bersama teman-temannya di event Ngayogjazz tahun 2010. Bukan karena jenis musiknya, tapi lebih karena suasananya. Ramai! Penuh! Padat! Kerumunan orang-orang berjejalan, tumplek blek! Itu yang kusuka. Itulah kenapa aku selalu suka festival dan karnaval. Sebab aku suka melihat berbagai macam orang, dari berbagai macam lapisan sosial.

Foto ini yang bikin aku mupeng. Backgroundnya ya, wkwkwkwk

Ow ow, yang kusuka jelas bukan sembarang keramaian. Aku nggak suka keramaian konser band sebab yang akan kujumpai di sana adalah ratusan orang dengan tipe yang sama. Kalau yang manggung band pop, penontonnya ababil-ababil dengan kaos distro, rambut segi, dan poni lempar. Kalau yang manggung band metal-punk, penontonnya punya dandananan yang sama. Rambut Mohawk, celana pensil super ketat dengan banyak pernik, jaket junkies, piercing. Kalau yang manggung band grunge, aku bisa melihat-lihat parade kemeja flannel gratis. Hihihihihi [aslinya aku penggemar kemeja flannel]

Berbekal rasa penasaran [selain karena memang aku jarang jalan bareng Naga yang katanya agak ganteng itu], aku dandan manis dan memakai wedges mungilku. Wedges kebanggaanku, yang sering disebut sepatu peri [ukuran kakiku cuma 36]. Wedges pilihan Babi dengan sol setebal 5 cm. Jangan tiru kebodohanku!!! Lantaran terlalu antusias, aku lupa diri. Berjalan di kerumunan manusia dengan wedges itu sama sekali nggak gampang! Aku janji, tahun depan aku akan pakai sepatu kanvas!

Benar saja, aku kerepotan dan nggak bisa mengimbangi langkah Naga yang lebar. Kami berdua berjalan dari parkiran menuju panggung hampir 1 kilometer jauhnya. Awalnya aku agak menyesal sudah memakai sepatu peri ini, tapi penyesalan itu lenyap begitu mendengar suara MC bersahut-sahutan dalam guyonan konyol berbahasa jawa. Hahaha, khas seniman. Slenge’an.

Setelah naga sibuk menelpon sana-sini, kami memutuskan untuk menghampiri teman-temannya di dekat panggung Horn di Ndalem Sopingen. Saat itu kami berada di tepi lautan manusia di depan panggung Gaog, panggung utama. Beberapa orang kawanku mengirim bbm, mengabarkan bahwa mereka ada di antara lautan manusia itu.

keramaian inilah yang akan kami tembus. Sumber: elafiq.blogdetik.com

Untuk sampai ke panggung Horn, kami harus menembus lautan manusia itu. Aku sedikit gemas melihat Naga yang masih diam dan kebingungan mencari jalan. Dengan nggak sabar, aku menarik tangannya dan nekat menerobos orang-orang. Aku tahu, aku sih sadar diri kalau aku ini kontet. Tapi aku yakin bisa, nyatanya keagresifanku membuahkan hasil. Kami berdua berhasil maju beberapa meter. Belum juga sampai tujuan, Naga menarik lenganku. Aku yang tadinya berjalan di depannya, menggandeng tangannya, kini berbalik posisi. Aku tersembunyi dibalik badannya yang tegap dan tinggi. Ganti tangannya yang menggenggam tanganku. Eh? Batinku. Apa dia nggak suka caraku membuka jalan tadi? Padahal aku membukakan jalan untuknya lho.

Insiden kecil ini terjadi dua kali. Aku berada di depan Naga, menerobos orang-orang dan Naga kembali menarikku ke belakang. Apakah ini soal harga diri? Apakah memang seorang lelaki itu gengsi kalau berada di balik perempuan? Mungkin, pikirku. Sebab Naga juga cerewet setengah mati kalau aku bilang “Kujemput aja di rumahmu”. Dia akan berteriak dan bilang, “Nggak usah! Nggak etis! Cewek kok ngejemput cowok!”. Atau lagi, kalau aku menawarkan diri menyetir paus, beat biruku itu. Aku pengen banget ngeboncengin Naga. Tapi dia selalu menyentak dan beralasan “Nggak Etis ah!”. Atau kalau aku menawarkan diri mengisi pulsa di handphone jadulnya itu. Dia selalu menolak mentah-mentah.

Hla…hla…aku bengong sendiri. Ini zaman kapan sih? Udah bukan zaman nenekku, kan?? Aku hampir saja menuduhnya kolot kalau nggak ingat komentar seorang kawan, “Naga itu orangnya gengsi tinggi.”

Oh…ini toh yang namanya harga diri lelaki?

Mendadak aku teringat komik “Married With Brondong” karya Mira Rahman & Vbi Djenggotten. novel grafis based on true story yang berkisah tentang pernikahan Bo dan Jo ini kocak banget. Jo adalah perempuan karier berumur 32 tahun, memutuskan untuk menikah dengan Bo, brondong lucu yang usianya 7 tahun lebih muda.

Ini nih novel grafis yang oke punya, recommended deh!

Kisah favoritku adalah ketika mereka berdua mempersiapkan pernikahan. Mereka saling berterus terang soal gaji. Jo, sebagai perempuan yang lebih dulu eksis di dunia karier, memiliki gaji 3 kali lipat dari Bo!! Tapi Jo sangat menghargai Bo dan mengatur keuangan rumah tangga hanya dengan uang yang diberi Bo!! So Sweet!

Pelajaran Moral:

Semandiri apapun perempuan, sekuat apapun perempuan, harus tahu diri. Harus tahu bagaimana bersikap dan mempertunjukkan sisi lemahnya pada si lelaki. Sebab, naluri lelaki memang ingin melindungi dan mengayomi. Sebab, naluri perempuan memang ingin dilindungi dan diayomi. Perempuan harus bisa menghormati lelakinya.

He….aku? kenapa aku terobsesi melindungi dan mengayomi? Nggak tahu ya :D

3 komentar:

  1. Perempuan harus memberi kesempatan lelakinya untuk melindungi dan mengayomi dirinya. For his self esteem. *bener ga nulisnya?*

    BalasHapus
  2. kalo saya kemaren ngayogjazz tinggal jalan aja, hehe untung acaranya di Kotagede, deket rumah :D

    yup, namanya cowo itu biar gimana pun maunya melindungi, merasa punya tanggung jawab untuk itu

    BalasHapus
  3. aku wanita, ingin di cinta,, ak bukan teman lelakimu *lyriknya mohon di cerna

    BalasHapus