Jumat, 30 September 2011

Menunggu Itu [Nggak] Membosankan

01102011
Statusku facebookku pagi ini:
 Dulu, aku suka terburu-buru & benci menunggu. Tapi sekarang aku baru sadar, menunggu itu enak juga. Ada waktu utk melihat sekitar dgn lebih seksama lantas memikirkan maknanya. Ada waktu utk berkarya & berusaha menjadi lebih baik.
Kalimat itu melintas begitu saja di otakku. Memang, dulu aku selalu benci menunggu dan selalu ingin semuanya berjalan cepat dan tepat waktu. Waktu masih pacaran sama Babi, dia punya hobi terlambat jemput. Nggak tanggung-tanggung, terlambat bisa satu jam lebih! Lama-lama aku terbiasa, dan karena dulu aku belum punya Paus (Honda Beat Biru kesayanganku) dan aku kapok naik motor bergigi, aku memilih naik bus umum. Aku bisa menunggu lebih dari 30 menit di tempat pemberhentian bus, menunggu Babi datang dengan Suzuki Satria FU merahnya.
Bosan? Sedikit. Aku lupa kapan tepatnya aku berhenti merasa bosan menunggu Babi datang menjemput. Aku lupa sejak kapan aku suka memandangi penjual Es Pisang Ijo dan Cakwe yang berjualan beberapa meter dariku. Atau memandangi tukang parkir yang sibuk menata motor, atau kernet bus yang bergelantungan di pintu, atau anak sekolah berseragam lusuh, atau pengamen di perempatan, atau cowok manis dengan motor balap yang membunyikan klakson dengan membabibuta. Banyak sih yang kulihat.
Bapak tua yang menyeret gerobak sampah tanpa alas kaki. Bau, aku menutup hidung. Lantas aku berpikir, apa Bapak tua itu punya anak? Berapa pendapatannya sehari? Kalau anaknya sekolah, apa bisa beli baju seragam baru setiap tahun seperti adekku? Kalau anaknya sekolah, apa bisa belanja crayon besar dan satu paket pensil warna merk Faber Castle? Apa dia punya istri? Apa istrinya pernah perawatan di salon atau pusat kecantikan? Selesai berpikir begitu, aku ingin memukul kepalaku sendiri.
Pengemis cacat di perempatan, yang kulihat kakinya buntung sebelah dan tangannya tumbuh nggak sempurna seperti gumpalan daging yang ditempel —aku bingung bagaimana mendeskripsikannya. Huhuhuhuhu— itu, apa dia bisa makan tiga kali sehari? Kalau kata beberapa orang, pengemis itu penghasilannya besar. Aku sebenarnya penasaran, tapi aku juga masih malu untuk beranjak ke seberang dan bertanya ‘Berapa pendapatan Bapak sehari?” jadi aku cuma diam di tempat. Pikirku, sebesar apapun pendapatannya, apa dia bisa membeli Avanza dan menyewa sopir pribadi?
Apa Bapak itu punya istri? Apa istrinya sayang dan cinta sama Bapak itu? Bapak itu cacat. Perempuan yang menjadi istrinya pasti perempuan hebat dan berjiwa besar. Jujur, saat sahabatku dengan lantang berteriak, “Kamu kalau milih pacar masih lihat fisik sih!” aku diam nggak melakukan pembelaan.
Kalau pengemis itu punya anak, apa yang dirasakan anak-anaknya? Apa mereka malu punya ayah seperti itu? Ayahku pendek, kecil, berkulit gelap tapi dihormati bawahan-bawahannya dan disegani rekan-rekannya. Aku sering membanggakan Ayahku yang hebat. Kalau anak-anak pengemis itu? Ya Tuhan, aku bahkan nggak bisa memikirkan bagaimana perasaan mereka. Dulu, Ayahku pernah menjemput dengan kaos lusuh dan mobil pick-up merk Chevrolet warna kuning yang mirip rongsokan berjalan, dan aku malu. Aku, cewek ingusan berseragam SD itu ngambek karena Ayahku berpakaian lusuh dan membawa rongsokan —sekarang baru kutahu betapa berharganya kau Ranger Kuning—ke sekolahku yang saat itu SD paling Elite se-Jogja.
Rasanya ngilu. Maaf, Ya Tuhan kalau aku masih sering mengeluh ini itu. Mendadak aku merasa malu.
Ps: Babi datang menjemput, dan walaupun motornya Satria FU yang didesign untuk ngebut, dia mengendarainya dengan kecepatan 30-40 km/jam. Memberiku waktu lebih lama untuk melihat-lihat sekitar dan sibuk berpikir sendiri.

2 komentar:

  1. Iya...sis..memang kita harus sering sering bersyukur...suka sedih juga kalo liat mereka...tapi semua garis hidup seudah ditentukan belum tentu mereka yang tak bahagia secara harta, tak bahagia juga secara batin...Tuhan sudah memberi porsi untuk masing2...nice post... ditunggu follbacknya ya sist :)

    BalasHapus
  2. wahhh sepiii gakkk nulis lagii

    BalasHapus