Senin, 12 September 2011

MiDnite Story: Menemui Tuhan di D’Moz café

‘Aku bikin film karena aku suka. Buat have fun. Dan kenyamanan Tim-ku jadi prioritas nomor satu. Skenario buatanku nggak sesuai pakem dan terkesan seadanya juga gak masalah buatku. Selama tim-ku paham dan saling mengerti aja’ kurang lebih begitu.

‘kamu nggak berpikiran kalau karya ini akan kamu jadikan portofolio untuk ke depannya?’ tanya seorang kawan, dan entah mengapa secara spontan aku bilang, ‘enggak’

‘karyaku ada untuk dinikmati orang, nggak untuk kujual. Orientasiku bukan industri’ jawabku. Aku sendiri juga nggak tahu kenapa aku bilang begitu, karena memang faktanya, aku nggak pernah berfikiran kalau skenarioku akan dibeli orang. Cukup eksekusi, dan biarkan orang lain yang menilai, boleh memuji dan boleh mencemooh. Itu saja. ‘aku nggak pernah berpikiran kalau karyaku kubuat untuk imbalan materi’ terangku lagi [lagi-lagi spontan tanpa berpikir]

Temanku itu terdiam dan tiba-tiba menyahut, ‘Kalau gitu kamu udah berkecukupan ya?’ DUARRRRR!!!!!! Menohok!!!! Dan membuatku teringat malam sebelumnya, seorang sahabatku berkomentar, ‘gajimu itu udah cukup untuk hidup di Jogja. Kamu ngeluh kekurangan pasti karena pola idupmu yang boros itu’ dan terbukti memang, aku menggemuk. Pipiku, tanganku, perutku membuncit lantaran kebanyakan makan ini itu. Boros banget.

Ternyata Tuhan memang suka menghampiri saat malam. Pertanyaan simpel dari seorang kawan  menyadarkanku, betapa hina-nya aku ini. Terlalu sering mengeluh, padahal Tuhan sudah memberiku kenyamanan untuk terus menulis tanpa perlu merasa khawatir hari esok makan apa. (yang ada aku pusing besok makan lauk apa ya, kalau lauk ini udah bosen dan bla…bla…blaaa….).

Otakku melayang, teringat sosok Ayah tercinta yang sedang sibuk mempersiapkan launching buku perdananya. Beliau seorang aktivis semasa mahasiswa, bolak balik masuk penjara lantaran menentang asa tunggal Pancasila, Ayahku seorang praktisi pendidikan yang ‘hobi’ membuat sekolah-sekolah mulai dari TK sampai SMA. Ayahku seorang bisnisman yang berhasil membuatkan satu toko untuk tiap anaknya (sayang agak terbengkalai sejak beliau hobi mengisi seminar dan anak-anaknya sibuk sendiri nggak mau bantu-bantu seperti aku ini T.T), dan ayahku suka melukis. Ruang tamu rumah kami dipenuhi lukisan Ayah. Ayahku, adalah seorang IDEALIS.

Aku        : ‘Kenapa Ayah nggak mau ambil gaji di Yayasan? Ayah kan punya otoritas untuk itu’

Ayah      : ‘Jangan setengah-setengah. Kalau mau beramal ya beramal. Jangan terus beramal untuk cari penghidupan. Allah SWT yang akan menghidupi kita. Ayah bikin yayasan karena ingin berkontribusi di bidang pendidikan, untuk umat. Paham?’ [jangan bayangkan Ayah berbicara seperti itu sambil mengusap rambutku, Ayah sama seperti Babi, nggak bisa mengekspresikan kasih sayangnya]

Di lain kesempatan,

Aku        : ‘Katanya Lukisan yang didepan ditawar orang ya? Dijual berapa?’

Ayah      : ‘Nggak dijual….itu karya Ayah e cuma ada satu-satunya di dunia.’

Aku        : ‘Coba dijual kan lumayan’

Ayah      : ‘Ayah ngelukis kan buat dipasang di rumah. Buat Ayah nikmatin tiap sore duduk santai bareng istri, buat anak-anak juga. Karya seni lho, bentuk ekspresi Ayah. Jangan dikomersilkan donk. Kalau orang lain mau mengapresiasinya dengan materi ya monggo, tapi nggak akan Ayah lepas. Terlalu bernilai kalau cuma ditukar pakai uang. Karya seni itu untuk dinikmati, diri sendiri pun boleh, keluarga, kalau mau show up juga boleh tapi nggak dengan cara menjual begitu. Yang kita jual itu makna dan keindahannya’ [padahal lukisan ayah abstrak dan aku masih bingung mencerna maknanya]

Aku        : Kalau kepepet nih? Dijual boleh?

Ayah      : InsyAllah enggak, kalau toko kita diurus dengan baik, insyAllah nggak ada kata kepepet. [Aduh, nyindir secara halus niiih]

Itulah Ayah, kenyamanan dan kebebasan berekpresinya saat ini adalah balasan setimpal atas kerja kerasnya dulu. Selepas SD nekat bersekolah di Jogja dan melepaskan diri dari orangtua. Nggak lagi ada kiriman uang. Ayahku dulu tukang parkir, Ayahku dulu tukang ketik, Ayahku dulu penjual topi-topi OSPEK, Ayahku dulu kuli bangunan, Ayahku dulu Tukang Becak, dan aku lupa kerja serabutan apalagi yang Ayah kerjakan semasa muda. Pantas kalau tubuh Ayahku kurus dan hitam keling. Tapi ayahku seorang orator. Tapi Ayahku seorang mantan Ketum HMI. Dia kuliah di IKIP tapi memimpin rapat di Malaysia.

Sepertinya ketika aku tegas menjawab ‘NGGAK’ soal komersiliasasi karya itu, adalah hasil didikan ayahku. Walaupun prinsip dan ideologiku nggak sekuat Ayah. Dan sosok Ayah masih sangat jauh, ayahku yang berdikari itu.

Sekali lagi: astaghfirullah atas kebodohan dan ketidaksadaranku atas nikmat yang sudah Tuhan berikan (kecukupan dan keberuntungan serta kebebasan pikiran) serta Alhamdulillah atas kehadiran seorang kawan yang membuatku tersedar dari kebodohanku itu. Manusia memang tempatnya khilaf  T.T

Ps : menemui Tuhan di D’Moz café 01.00 WIB, masih malam, belum pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar