Kamis, 15 September 2011

Ketika Daffa Alalika menonjok naluri keperempuananku

Kisah meja Kerja part 5

Ketika Daffa Alalika menonjok naluri keperempuananku

Hujan turun dengan sangat derasnya. Membuatku ingin berdoa, “Ya Tuhanku, limpahkan rejeki berupa bakso hangat atau ramen panas. Karena jujur saja aku sedang menderita kelaparan yang berkolaborasi dengan ngantuk stadium akut.” tapi aku sangsi, Tuhan nggak akan menjatuhkan semangkuk ramen panas begitu saja. Tetap saja manusia seperti aku harus berikhtiar. Kalau begitu, kuganti doaku “Ya Tuhan, semoga nanti jam 4 hujannya sudah reda. Agar aku bisa dengan leluasa mengayuh Paus [Honda Beat Biru kesayanganku] ke rumah Daffa. Amin.” *mengatupkan mata dan tertidur...zzz...zzz....

Daffa, nama yang manis. Apalagi namanya Daffa Alalika, apapun artinya, nama itu terdengar unik dan bagus seperti orangnya. Putih, berhidung mancung. Dan bandelnya minta ampun. Bandel, kadang manja, kadang pemalu tapi kadang juga bisa sangat cerdas. Itulah dia, 

Beberapa minggu lalu aku seperti diberi tamparan keras, sekeras sandal kuda. Aku mendapat kabar bahwa murid kesayanganku itu gagal di ujian masuk SD. Sebenarnya hal itu wajar saja mengingat usianya yang masih lima setengah tahun dan kemampuan membaca serta menghafalnya masih pas-pasan. SDxx yang ia incar itu adalah salah satu SD Favorit di Jogja. SD yang menolak puluhan siswa jauh sebelum masa penerimaan siswa baru.

Malu? itu jelas. Inilah perasaan seorang guru ketika melihat muridnya gagal, walau aku tahu kegagalan Daffa bukan sepenuhnya kesalahanku. Daffa terserang demam sehari sebelum ujian masuk. Dan hal itu mengurangi sedikit rasa bersalahku.

Kegagalan itu sempat membuatku putus asa. Lantas aku menebalkan muka, menghadap ayahku tercinta yang sekaligus tetua Yayasan yang menaungi SDxx tersebut. 

Aku                        : Yah, Daffa ngedaftar SDxx lho.

Ayah                      : Oh ya? ktrima enggak?

Aku                        : gagal e.

Ayah                      : trus alternatif ke SD mana?

Aku                        : Bla…..bla….blaa….blaaa…..

Ayah                      : hmm..ya bagus.

Aku                        : Tapi waktu test kemarin daffa sakit demam, Yah. Dan aku yakin banget dia sebenarnya mampu. Kemampuan bacanya meningkat drastis 2 bulan belakangan. Dan aku yakin SDxx itu sekolah yang cocok untuk anak aktif seperti dia. Dengan sistem fullday school dan komunikasi antara guru dan murid yang friendly seperti itu bla…bla….bla…blaa…

Ayah [memotong omonganku yang persis sales]: Tapi kan udah gagal test masuk

Aku                        : Masih dikasi test ulang kok, Yah. Ada kesempatan kedua.

Ayah diam dan menatapku agak lama. Aku menebalkan muka,

Ayah                      : Maksudmu, kamu mau nitip nama?

Skak Mat!! Tepat sasaran!! Tidak perlu dijelaskan. Ayahku adalah orang idealis yang memilih masuk penjara daripada tunduk pada azas tunggal saat Orde Baru. Ayahku adalah seorang mahasiswa hebat yang lulus dalam waktu 8 tahun karena dia kuliah di IKIP Yogyakarta tapi jadi Ketua Umum sebuah Ormas Nasional di Jakarta. Orang seperti Ayahku pasti memilih naik motor butut dripada menggunakan uang subsidi pemerintah untuk membeli mobil mewah dengan dalih ‘Fasilitas’. Dari Ayahku pula aku bisa mengambil kesimpulan, ‘memilih menjadi orang idealis berarti harus siap kelaparan!’

Aku nggak berani berharap banyak. Ibuku yang kebetulan menguping pembicaraan kami, urun komentar

“Kemarin ada rapat penerimaan siswa baru. Biasanya keluarga yayasan ditanyain, ada yang nitip nama atau enggak. Tapi Ayahmu nggak pernah datang rapat yang begituan.”

Aku mencoba tetap tenang.

Akhirnya ayahku angkat bicara, “Ini kan tentang pekerjaanmu. Kok jadi Ayah ikut campur?”

Oh mai God, ingin rasanya njebleske ndas ke Jokteng. Sama seperti setahun lalu ketika Ayahku membuat usaha produksi nugget kecil-kecilan. Aku mencoba mengajukan tender suplai daging sapi. Entah dasarnya aku amatir atau apes alias tidak beruntung, Aku yang anak kandung Ayah terdepak begitu saja. Dengan satu alasan, “Harga yang kamu tawarkan nggak cocok.”

Maaf maaf, walaupun mataku sipit dan sering disangka cina, sungguh aku bukan seorang cina. Dan kalau kalian membaca notes ini lantas beranggapan bahwa ayahku seorang cina, lebih tepatnya saudagar cina, Anda salah besar.

Ayahku adalah seorang jawa, yang agak pendek, kecil, dan hitam. Tidak tampak gagah, tapi kecil-kecil cabe rawit karena nyatanya dimana-mana selalu ditunjuk jadi Ketua mulai dari ketua kelas SD, ketua kelas SMP, ketua Osis SMA, ketua cabang, Ketua DPW, sampai Ketua Konsorsium.

Ayahku bukan cina, tapi sepertinya, idealisme telah melunturkan identitas jawa yang melekat padanya. Orang jawa itu khas dengan paseduluran. Apapun itu, akan didahulukan kalau itu saudara. PNS?? Oh itu saudara bupati A, itu kakak iparnya istrinya bupati B, oh itu anak kemenakannya pejabat C, oh itu cucu kakaknya eyangnya wakil bupati D. Apalah itu namanya, nggak membuatku heran. Nepotisme????

Dilema! Parah! Sampai akhirnya Ayah bilang, “Kalau memang kami anggap nggak mampu, terpaksa kami tolak. Ok?”

Pasrah. Aku sudah menyiapkan brosur sekolah SDxx Internasional untuk Daffa. Jaga-jaga seandainya dia gagal di ujian kedua.

Hingga akhirnya tiba suatu pagi ketika aku baru saja sampai kantor, ada SMS masuk. Dari Mamahnya Daffa.

-Alhamdulillah mbak. Daffa ketrima di SDxx-

Aku tersenyum. Lega. Setidaknya aku tidak perlu malu pada diri sendiri karena telah memprovokasi Ayahku untuk melakukan tindak nepotisme. Aku yakin bahwa sebenarnya Daffa mampu. Tapi terlepas dari semua itu, aku melihat cinta kasih seorang Ayah yang rela mengesampingkan idealismenya untuk menolong sang Anak. Aku langsung mengirim SMS ucapan terima kasih ke Ayah.

Dan minggu ini, Daffa nggak masuk sekolah beberapa hari karena sakit. Suhu tubuhnya naik turun tak beraturan. Tak pernah stabil. Hatiku dibuat kebat-kebit. Gimana kalau sampai masuk SD kondisinya begini terus?? Kalau dia sering nggak masuk sekolah dia bisa ketinggalan pelajaran. Melihatnya masuk rumah sakit setiap bulan membuatku stress dan ingin menangis darah.

Hadduh, menangani pendidikan anak begini saja aku belum becus. Hiks, harga diriku sebagai perempuan dan naluri keibuanku tertonjok!!! huhuhuhuhu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar