Senin, 19 September 2011

Waiting for the End

06082011 09.15 WIB

Yak, mati listrik sepagi ini dan kerjaanku nggak akan beres kalau nggak ada listrik. Untungnya, aku sudah sempat mendownload lagu ‘Kekal’ yang dinyanyikan Homogenic. Nice song! Aku jatuh cinta pertama kali pada lagu ini ketika menonton film cin[T]a. So, lagu ini menjadi satu-satunya lagu di winamp listku hari ini. Suka, sangat suka. Sebab mendengarnya, seperti menonton ulang film cin[T]a.

Sekitar dua satu setengah tahun lalu adik laki-lakiku datang dari Solo, menyodorkan sebuah flashdisk.

“Film keren banget, tentang arsitektur sih. Tapi cocok buat kamu. Film doktrin nih, pluralis,” katanya.

Aku tahu, meski aku hampir tak pernah curhat sambil berderai air mata, saudara kandung yang merebut jatah ASI-ku itu sangat memahami dilema jiwaku. Ehmm…kalau boleh dibilang begitu. Faktanya memang aku nggak pernah beruntung setiap kali menjalani hubungan istimewa —bahasa kimcilnya, pacaran— dengan lelaki. Selalu saja kandas dan hampir semua mantanku menjadikan Babi sebagai alasan. Cowok putih jangkung, dan Katholik.

“Tonton film ini,” beberapa teman juga merekomendasikan film yang sama untukku. Kupikir, aku menyukainya. Ini lebih baik daripada harus memukulku dengan helm begitu tahu aku punya pacar non-muslim. Ini lebih baik daripada menjodohkanku dengan seseorang yang tak kukenal. Aku memang butuh pencerahan, bukan paksaan.

Singkatnya, film ini berhasil mendoktrinku. Mungkin terasa sedikit berlebihan, sebab sejak awal aku bukan seorang pluralis yang menghalalkan pernikahan beda agama. Tapi beberapa teman menuduhku, mengkhawatirkanku, mencemaskanku.

“Kamu sayang Tuhanmu, atau makhluk ciptaan Tuhanmu?” (pertanyaan yang kuanggap bodoh karena jelas aku memilih Tuhanku)

“Kamu disuruh milih antara Tuhan atau dia.” (komentar yang nggak masuk akal)

“Kubunuh kamu kalau kamu sampai murtad.” (sahabat cowokku berkata dengan gaya keji)

“Sampai kamu pindah agama, aku nggak akan kenal kamu lagi.” (sebuah ancaman yang emosional)

“Kamu kenal dia berapa tahun? 5 tahun? 6 tahun? Orangtuamu sayang sama kamu berapa tahun? 22? Sebanding gitu?”

“Pindah agama karena pencarian sih aku tolerir. Tapi kalau pindah agama cuma karena pacar, tolol namanya. Iman kok buat mainan.”

“Apa adil mengejar kebahagiaan pribadi dan menyakiti lebih banyak orang? Keluarga besarmu? Apa nggak egois namanya?”

Aku bangga sekali punya teman-teman yang kritis dan walaupun terlihat brengsek, kuakui mereka beriman. Aku yang merasa masih bocah hanya bisa berdalih ‘Siapa yang tahu masa depan. Jalani aja, kalau toh jodoh pasti ada jalan.”

Tapi ternyata aku bisa lelah juga menjalani hubungan di zona nyaman dengan Babi. Dengan sikap super cueknya yang mendewasakanku, dengan sikap sabarnya yang mengajariku banyak hal, dengan sikap setianya yang selalu membuat hati ngilu, semuanya terlihat perfect. Kecuali satu hal, keyakinan. Cuma itu satu-satunya permasalahan dalam hubungan kami tapi sungguh sangat fundamental. Kami hampir tak pernah bertengkar, apalagi hanya karena masalah sepele. Untuk masalah cemburu, kuakui, sikap cueknya justru terasa sangat dewasa bagiku. Kami cocok satu sama lain. Dia bahkan bisa menjadi inspirasiku dan tokohnya berhasil memperoleh beberapa fans. Pemikiran logisnya yang sangat mendominasi diskusi-diskusi kami menjadi pelajaran berharga buatku. Sampai akhirnya, pemikiran logis itu pula yang membuatku memutuskan untuk berpisah.

Kami bisa saja nekat meneruskan semuanya dan bersabar menunggu sampai happy ending. Tapi, benar kata salah seorang sahabat kami ‘Apa lantas kamu mau membuang bertahun-tahun waktumu untuk sesuatu yang benar-benar samar? Sementara seharusnya kamu bisa mendapatkan banyak hal dari waktumu itu?’ dulu, aku berkelit, “Nggak ada yang sia-sia. Ini salah satu pembelajaran. Belajar toleransi.”

Pernah kudengar ceramah seorang ustadz (aku lupa di mana aku mendengarnya yang jelas hanya sepintas lalu. Sebab aku belum cukup sadar diri untuk datang ke pengajian), ’Rejeki dan jodoh tak perlulah kalian pusingkan. Keduanya sudah disiapkan olehNya. Kalian fokuslah memperbaiki diri kalian sendiri. Yakinlah, Dia sudah menjamin.’

Sedih? Itu pasti. Sakit? Jelas. Tidak bisa menikah dengan orang yang kita sayangi sudah cukup miris, apalagi jika sebenarnya kalian berdua benar-benar saling sayang. Berat memang, awalnya sangat berat. Tapi memang seperti inilah hidup. Nggak semua yang kita inginkan selalu jadi kenyataan. Tuhan punya rencana yang lebih baik yang tak sanggup dimengerti oleh otak terbatas manusia. Manusia cuma bisa menduga-duga dan mencoba percaya. Selalu berbaik sangka pada Yang di Atas. Aku yakin dan aku percaya dia juga yakin pada Tuhannya. Aku yakin dia, kami, akan baik-baik saja. Aku percaya pada akhirnya kami akan bahagia dengan takdir masing-masing.

Aku kuat dan dia juga lelaki kuat.


Kutipan di atas adalah jawaban kuis facebook yang dia ikuti. Cukup merepresentasikan pendangannya terhadapku. Aku suka, dan bangga karena di matanya, aku sudah jadi seorang wonder woman. Marilah menjadi lebay: Saat ini kami berdua ada di tepian jurang. Jurang besar itu bernama keyakinan. Dia akan segera melepaskanku, dan aku memang sengaja melepas genggamannya. Aku akan terjun bebas dan merangkak ke daratan seberang. Perkara luka dan cidera yang kudapatkan, aku yakin masih bisa sembuh. Dia pun begitu.

Lalu, meski kami akan berjalan berdampingan di sisi yang berbeda. Memang bukan lagi BoyFriend, but we’re best friend now 
 
Desember 2006

*Menunggu waktu untuk ikhlas



Tidak ada komentar:

Posting Komentar