Senin, 24 Oktober 2011

edisi otak yang hang karena kangen...

Yeah, ceritanya nih, aku dapat kerjaan dari kantor menyortir naskah dari para pemenang event Lomba Blog yang diselenggarain kantorku. Lomba Blog!! dan aku dengan sangat santainya asyik memilah-milih postingan mana yang bakal laku di pasaran. Setelah sekitar dua hari berkutat dengan dua blog yang seru abis, aku baru ngeh kalau aku punya blog ini!! Oh damn! T.T

Aku membiarkan blog-ku terlantar, dan membiarkan otakku dipenuhi sampah. Pantas saja akhir-akhir ini aku uring-uringan, membanting mouse, dan dengan kalap memesan dua porsi besar nasi goreng ikan asin plus Oven Baked Banana ala Dixie Easy Dinning.

Ternyata, aku sudah lama sekali nggak menulis. Pantas gejala depresi mulai merayapiku.

Ah, sebenarnya postingan kali ini bisa saja kuisi sampah otakku, tapi aku memutuskan untuk memposting kerinduanku akan sosok Ayah. Ya, sebab di saat aku suntuk karena pekerjaan yang menumpuk, yang terlintas di benakku cuma Ayah. Ayahku yang nggak pernah berhenti berkarya itu.

Ayahku itu pendek, kecil, berkulit hitam dan berwajah galak. Itu kata teman-temanku. Waktu kecil, ayahku selalu jadi ketua kelas meskipun badannya paling kontet di antara teman-teman yang lain (sepertinya urusan kontet ini menurun hanya padaku). Ayahku itu, nggak galak. Sebenarnya beliau itu humoris, tapi mungkin karena hidup beliau keras sejak kecil (keluarga Ayahku dulu sangat miskin, sampai-sampai kakekku hampir saja ikut program transmigrasi), jadi garis wajahnya terlihat kasar.

Kakekku seorang tentara, yang pernah menodongkan pistol ke Soeharto muda hanya karena Soeharto nggak mau disiplin. Kakekku adalah orang militer yang dekat dengan kekerasan, jadi ayahku suka kena pukul kalau pulang terlambat atau ketahuan mandi di sungai yang sedang banjir.

Kakekku adalah seorang tentara terpelajar, yang menguasi bahasa belanda lebih mahir daripada bahasa jawa. Pendidikan, itu nomor satu. Kakekku dulu nasionalis sejati, dan sampai usiaku TK, aku masih ingat, ada lambang X di salah satu pintu rumah kakekku. Lambang X yang digoreskan serampangan dengan cat merah. Besar. Dan itu artinya, rumah itu menjadi target PKI dan kakekku nyaris dibunuh. Ayahku nyaris menjadi yatim.

Kakekku memilih hidup miskin, sebab harga dirinya tinggi. Mantan anak buahnya, yang kini jadi pejabat di Ibukota, pernah mengiriminya sebuah Truck sebagai modal usaha. Tapi kakekku menolak. Bahkan ketika kakekku ditawari jabatan di Departemen Agama, kakekku menolak dengan alasan agama. Beliau tahu, nggak ada yang bersih di pemerintahan. Beliau takut tergoda, takut anak-anaknya makan hasil uang haram. Lantas beliau berkeras untuk merintis bisnis material untuk menghidupi keduabelas anaknya. Ayahku, anak ke-8, masih merasakan susahnya bertahan hidup di zaman Orde Baru. Melihat sikap keras kepala kakekku itu, aku jadi paham kenapa ayahku benar-benar menjadi idealis sejati.

Masa kecil Ayahku terdengar sangat miris. Beliau nggak bisa beli mainan atau layang-layang karena memang nggak punya uang. Ketika usianya 7 tahunan, beliau bekerja paruh waktu membuat kantong-kantong kertas. Uangnya dipakai untuk beli mainan sendiri. yang paling miris, beliau pernah makan nasi dengan telur asin yang dipotong menjadi 8 bagian!!!!! waktu aku kecil dulu, hobi sekali membuang bagian putih telur karena rasanya terlalu asin di lidahku. Pantas saja, ayah suka marah-marah kalau aku makan nggak habis atau ketahuan membuang susu di kloset.

Saking miskinnya, saat melamar ibuku, yang anak orang kaya itu, ayahku cuma datang membawa Al-Qur'an murah dengan kertas buram dan sekaleng biskuit Khong Guan. Aku tahu, kaleng biskuit itu bentuknya kotak besar. Ibuku menceritakan kisah mengharukan itu dengan tertawa-tawa. Ya, ibuku yang manja, yang menghabiskan masa remajanya untuk bermain dan belajar yang sampai usianya menjelang 40 tahun masih nggak bisa mencuci baju pakai tangan dan nggak bisa memasak dengan enak itu akhirnya mau menikah dengan Ayahku. Ibuku lho, ibuku yang playgirl dan hobi gonta ganti pacar (hooo...sifat ini sepertinya menurun ke dua orang anak perempuannya) mau menikah dengan ayahku yang waktu itu masih kuliah semester tiga. Memang sih, waktu itu ayahku adalah seorang ketua umum Pengurus Wilayah sebuah Organisasi Mahasiwa nasional yang namanya masih berkibar sampai saat ini (Coba tebak!!).

Itulah Ayahku! Ayahku yang sangat sangat sangat kubanggakan. Ayahku seorang yang cuek, nggak pernah bilang sayang ke Ibuku, apalagi anak-anaknya. Tapi beliau SANGAT SETIA dan MANJA. Kenapa manja? Sebab dengan sikapnya yang pendiam dan cenderung cool (tapi kalau orasi, jangan salah, bisa sangat berapi-api) itu Ayahku sangat manja pada Ibuku. Ketika beliau sibuk mengisi seminar keluar kota, ibuku harus ikut serta. Kecuali kalau memang harus ke luar negri sendirian, ibuku terpaksa ditinggal di rumah.

Itulah Ayahku. Anak-anaknya sampai heran, pelet apa yang dipakai ibuku sampai-sampai ayahku cinta mati begitu. Secara ya Ayahku kalau bikin kebijakan super duper tegas. Ada siswa yang melanggar peraturan, digundul paksa. Kalau nakalnya keterlaluan, keluarkan dari sekolah nggak peduli orangtua si murid datang ke rumah memohon-mohon smabil menangis dan menawarkan mobil baru (halooo..). Ayahku yang begitu itu, mau lho mijetin istri tersayangnya. Ayahku yang begitu, nggak marah lho kalau ibuku bangun kesiangan. Ayahku yang begitu, masih sempat lho masak nasi goreng untuk empat anaknya yang ribut siap-siap berangkat ke sekolah. Ayahku yang begitu...aku kangen T.T

Udah seminggu ini aku nggak pulang ke rumah. Kerjaan kantor dan parttime-ku menumpuk. Minggu lalu Ayah memintaku pulang untuk berdiskusi sebentar soal toko-tokonya yang akan beliau tinggal selama 1,5 bulan. Beliau akan berangkat ke Tanah Suci Makkah tanggal 28 oktober besok, padahal masih banyak acara Launching buku perdananya yang terpending. Nah kan, ketika aku pulang, rumah sepi. Nggak ada Ayah. Ayah di luar kota.

Ayah memintaku mengurus ketiga 'anaknya'. Anak? itu sebutan yang pantas untuk tiga toko material sederhana yang beliau rintis selama ini, plus satu toko induk yang menyatu dengan rumahku. Kenapa tiga? eh totalnya empat, kenapa empat? Sebab anak ayah ada empat. Itu kata beliau, dan sepertinya beliau sangat mengharap anak-anaknya bisa melanjutkan bisnis keluarga yang lekat dengan batu bata, genteng, pasir, dan batako itu. Padahal tiga dari anaknya (termasuk aku si sulung) adalah perempuan. Cewek manis pegang batako? kayaknya nggak match banget deh T.T

Sekarang...sekarang...aku memutuskan untuk bekerja di perusahaan orang, dan adik lelakiku juga memutuskan hal yang sama. Sekarang...sekarang...ketika ayahku sibuk promo bukunya dan mempersiapkan keberangkatan beliau ke Tanah Suci, 'anaknya' terlantar dan beliau mempercayakan semuanya padaku si sulung ini. Semuanya. Mengatur semuanya. Aku kembali akrab dengan berbagai macam harga batako, genteng, badongan, kerpus, batu alam dan yang berat-berat serta nggak unyu itu.

Sebal, awalnya aku ingin bertengkar sama Ayah. Aku sangat berharap beliau mengerti bahwa aku sudah bekerja dan punya kesibukan. Aku punya kantor (maksudku aku bekerja di kantor orang), dan banyak hal yang harus kukerjakan. Tapi hatiku melunak, kalau mengingat kerja keras ayahku membangun semua toko-toko itu. Ayahku dulu nggak malu mengangkut genteng sendirian, mengirimnya ke pembeli sampai-sampai ayahku dikira supir saking kucelnya. Rasanya pengen nangis. Biar gimanapun, toko-toko yang jauh dari kesan elegan itu yang membesarkanku sampai bisa sarjana begini.

Dan sekarang aku menjalaninya. Aku mulai beradaptasi lagi, mengitung stock barang, mengecek pembukuan. Kontak BBku mulai dipenuhi nama-nama suplier material dan pemborong. Aku mulai akrab dengan berbagai merk genteng. Aku mulai berinteraksi dengan pekerja-pekerja bangungan. Huhuhuhu, aku ingat. Dulu waktu zaman SMA aku bantu jaga toko. Ada pembeli genteng eceran, dan nggak ada satupun karyawanku di situ. Aku dengan pedenya mengangkat beberapa tumpuk genteng ke mobil si cowok muda yang kelihatan tajir itu. Sebel ya sebel, cowok muda itu sama sekali nggak membantu. Manja banget sih masnya.Takut kotor kali ya.

Ahh...Ayahku itu. Aku kangen banget. Dulu, aku berani kritik, "Tokonya nggak keurus. Ditinggal keluar kota terus sih. Coba deh mundur dari jabatan ketua biar bisa konsentrasi di bisnis Ayah. Kan kalau monitoringnya bagus, nggak bakal ada kejadian uang dibawa lari supir, korupsi, kredit macet."

Sekarang?? Ternyata jadi ayahku itu nggak gampang. Ayahku mendirikan Yayasan Pendidikan dan membuat sekolah-sekolah karena memang itu HOBInya. Karena memang beliau suka berorganisasi dan memutuskan untuk terjun ke masyarakat dalam bentuk yayasan sosial seperti itu. Itu hobi beliau sekaligus menjadi hiburan atas lelahnya mencari materi untuk hidup kami, keluarganya.

dan satu yang kupelajari dari Ayah, nggak perlu mengejar materi selama kebutuhan pokok tercukupi. bersedekah jiwa raga aja, mencari pahala.  

"Cari uang itu nggak usah ngoyo. Kalau udah bisa makan, membiayai pendidikan anak, ya cukup. Sisanya sedekahkan. Nggak harus sedekah materi. Kontribusi ide dan tenaga juga tetep dianggep sama Allah."

I'm proud of you, Dad!!!!

#eh, perempuan seperti ibuku, yang bisa dapat suami macam ayahku itu, beruntung banget yah!! pengen T.T

Tidak ada komentar:

Posting Komentar