Sakit gigi
karena geraham bungsu tumbuh? Wew, kalau nggak kapok, bukan aku namanya. Nyaris
setiap 2-3 bulan sekali (sejak 3 tahun lalu), aku pasti ijin sakit, demam
tinggi, satu pipi bengkak besar dan menjadi pengkonsumsi bubur bayi selama
lebih dari seminggu. Apa pasal? Seharusnya setelah sembuh, aku segera operasi
gigi, tapi aku bandel dan ‘lupa’ kembali ke dokter.
Bulan ini,
Mei 2012, aku menyerah dan mengaku kapok. Bukan karena aku nggak tahan sama
sakitnya, tapi lebih karena si demam sangat mengganggu aktivitasku yang
seabrek. Oke, karierku mulai beranjak ke jalan yang lebar dan itu berarti aku
harus lebih berhati-hati. Kecepatan kerja menjadi salah satu tuntutan. Dan
semuanya akan kacau balau kalau si geraham bungsu berulah tanpa peringatan.
Bulan ini,
Husky mengantarku ke Dokter Gigi. Oke, aku tahu dia makhluk malam yang memilih
apel sekitar pukul stengah 9 daripada sore hari. Aku bisa membuatnya keluar
rumah selepas maghrib dan mengantarku ke dokter gigi meskipun dia terus
menguap. Ketika aku keluar ruang periksa, kulihat dia tertidur dengan manis di
sofa ruang tunggu. Bayangkan, seorang cowok bercelana jeans yg sobek besar di
lutut, rambut disemir pirang kemerahan yang campuraduk dengan warna hitam
rambut alami, tertidur pulas. Huuuu.... maaf :(
Sepulang
dari periksa Gigi, kami makan chinesse food favorit di depan SMU BODA. Dia
tanya, “Mau makan apa?”
Kujawab dengan
menahan ngilu, “Fuyunghay, pake nasi setengah.”
“Fuyunghay
aja, nggak pake nasi.”
“Tapi aku
mau pake nasi. Nasinya setengah aja, “ rengekku.
“Nggak
boleh. Nggak. Nggak boleh pokoknya.”
“Maunya
pake nasi. Dikit aja....”
“Hayooo..nggak
usah. Nanti kamu nggak habis.”
Aku merenggut
ujung kausnya, “Habis kok. Bener...”
“Nanti aja
kalau fuyunghay-nya masih sisa tiga potong baru boleh tambah nasi. Oke?”
Aku
menyerah. Aku menurut sajalah daripada berdebat di depan Si Penjual. Dan, bisa
ditebak? Ketika Fuyunghay-ku habis separuh, aku merasa sangat kenyang. Perutku
penuh, dan aku cuma bisa cengar-cengir sambil mengiris makanan olahan telur itu
kecil-kecil. Husky yang melihat cengiranku tertawa penuh kemenangan.
“Nah kan,
bener nggak habis.”
“Hehehehe....iya.
Bantuin donk. “ kataku. Husky segera memindahkan beberapa potong fuyunghay ke
piringnya.
“Jadi,
sebenernya kamu sakit itu karena salahmu.”
Hehe, oke
seminggu sebelumnya aku memang terkapar dengan tak elit di kost karena e
karena...pola diet yang tak sehat. Aku mengurangi porsi makanku menjadi
seperempat bagian dari porsi makanku yang biasa. Aku berhenti makan malam.
Padahal, cuaca Jogja sedang tak bersahabat dan agenda kerjaku amat sangat
padat. Satu hari sebelum jatuh sakit, aku memaksakan diri beraktifiktas dari
jam5 pagi sampai jam 9 malam non-stop. Dengan tidur hanya 4 jam sehari, aku
merasa sanggup. Tapi ternyata....aku tepar juga. Tekanan pekerjaan membuatku
terus berpikir dan sedikit stress. Asam lambungku naik, dan program dietku
memperparah keadaan.
Husky
mulai cerewet dengan nada galaknya, “Nggak usah pakai diet-diet segala. Gendut
ya biarin. Kamu sakit itu karena kamu makan nggak teratur. Kamu jarang makan,
kamu jarang makan buah. Nggak mengkonsumsi vitamin. Kamu kurang istirahat. Kamu
terlalu maksa. Ngerti?!?”
“Iya...Ngerti,”
Aku mengkeret. Kalau udah begini, siapapun nggak akan pernah nyangka kalau
Husky itu brondongku. Mahasiswa akademi design yang baru semester 2, sedangkan
aku sarjana sastra yang lulus hampir dua tahun lalu. Yah, memang kedewasaan itu
benar-benar nggak bergantung usia.
Sometimes, Husky benar-benar jadi pria dewasaku
yang nomor dua. Dia yang nggak mengeluh ketika kuganggu jadwal tidur siangnya,
yang selalu datang di saat aku sakit. Meskipun akhirnya dia tetap tidur siang
dan aku duduk kebingungan di sampingnya.
Dia yang langsung memeluk ketika aku cemberut. Yah, meskipun dia nggak bisa memuji dengan manis. Dia nggak akan bilang, “Makan donk sayang, biar nggak sakit”. Dia akan bilang, “Makan sana!” tapi sambil tersenyum. Dia nggak pernah bilang, “Pacarku manis. Pinter deh udah dapet posisi manajerial di umur segini. Selamat ya, Sayang”. Dia justru bilang, “Nyatanya kamu bisa, kan berhasil di posisi itu dengan cara yang bersih?” (aku baru tahu belakangan kalau ternyata kalimat bernada keras ini dia maksudkan sebagai pujian).
Yang sakit sapa yang boci sapa :D
Dia yang langsung memeluk ketika aku cemberut. Yah, meskipun dia nggak bisa memuji dengan manis. Dia nggak akan bilang, “Makan donk sayang, biar nggak sakit”. Dia akan bilang, “Makan sana!” tapi sambil tersenyum. Dia nggak pernah bilang, “Pacarku manis. Pinter deh udah dapet posisi manajerial di umur segini. Selamat ya, Sayang”. Dia justru bilang, “Nyatanya kamu bisa, kan berhasil di posisi itu dengan cara yang bersih?” (aku baru tahu belakangan kalau ternyata kalimat bernada keras ini dia maksudkan sebagai pujian).
Ternyata,
sakit gigiku, juga sakit lambung membuatku bisa melihat satu sisi lain Husky yang makin mirip ayahku.
Thx God, for make me sick :D
Waa... emang selalu ada hikmah dari setiap peristiwa. hehe... :)
BalasHapuswkwkwkwk iyyya sist, cuma menangkap hikmahnya itu yg agak sulit -___-
BalasHapusjagalah kesehatan, namum ketika sakit kita jadi tau siapa yg benar2 sayang sama kita ya...
BalasHapusgimana nih... jaga kesehatan itu ternyata susah :(
Hapus