Selamat
Pagi, ya...selamat pagi. Kamu. Kamu. Dan kamu. Apa ada yang baru di pagi ini? Apa
ada yang indah di pagi ini? Juji masih rindu dengkuran belasan menit lalu.
Pertanda lelap meski hari tak lagi gelap.
“Kamu
sudah bangun?” Juji menoleh sembari melempar senyum kecut pada seonggok bulu di
atas tempat tidurnya. Gumpalan bulu itu meregang, menguap. Segar. Kucing ras
persia berwarna putih bersih itu kembali menggelung manja, membiarkan
pemiliknya sendirian terperangkap dalam duka.
“Ah...kau
ini, pemalas sekali.” Juji mendengus. Namun seuntai senyum menghiasi wajah
jawanya. Tak rupawan memang. Tak buruk rupa pula. Senyum itu satu-satunya
senjata untuk menaklukkan para gadis. Yang entah kenapa, cukup banyak yang kemudian
benar-benar jatuh hati padanya.
“Ini
hari senin. Dan baru tengah malam tadi aku pulang dari kantor. Menyelesaikan
rancangan Hanggar GMF yang katanya sih, terbesar di Asia Tenggara. Lalu kau
tahu, Bomb? Setengah jam lagi aku harus beranjak ke kamar mandi, tak sempat
berendam. Mandi bebek. Wek...wek....wek.... Selesai berpakaian, aku akan
mengambil kunci, berjalan lambat ke garasi sambil menggigit roti tawar. Benar-benar
roti tawar polos tanpa olesan selai atau margarin sekalipun. Ah ya, lupa! Aku akan
lupa menyiapkan sarapanmu kalau kamu nggak mengeong keras. Begitu, kan, Bomb?
Terdengar membosankan?”
Juji
mengelus kepala si kucing, membuatnya makin malas beranjak dari tempat tidur.
“Usiaku
hampir kepala tiga, tapi belum ada gadis yang bisa meruntuhkan hatiku.
Hahaha.... Aduh, apa kabar anakku? Sudah seberapa besar dia sekarang? Aku tak
bisa menengoknya. Petra sepertinya masih dendam. Tapi seharusnya dia tahu diri,
suruh siapa dia bisa ditiduri oleh banyak pria. Benar, kan, Bomb? Kalau waktu
itu aku menolak menikahinya, bukan salahku. Meskipun ternyata bayi itu benar
anak biologisku, toh aku tetap bertanggung jawab membiayai kebutuhannya. Aku cuma
malas mempermalukan keluarga besar atau menghabiskan hidup dengan perempuan
jalang seperti Petra. Biarpun bajingan, aku tetap ingin menikahi gadis baik.
Gadis baik, dan sederhana yang akan mengecupku setiap pagi sambil membawa
secangkir kopi.”
Si
kucing ngulet dengan cueknya.
“Kamu
nggak bosan menemaniku, kan? Kupikir cuma
kamu ini satu-satunya makhluk normal yang bisa menanggapi keluhanku dengan
serius.”
Bomb,
kucing pesek yang dibeli Juji setahun lalu itu menatapnya serius. Oh,
sebenarnya kita sendiri tak pernah tahu apakah kucing itu serius atau tidak,
tapi tatapan mata coklat yang tajam melegakan Juji. Juji merasa Bomb mendengar
curahan hatinya. Terlalu idiot untuk seorang arsitek senior yang sudah
merancang puluhan gedung berskala internasional. Begitulah, kadangkala kita
butuh bersikap idiot untuk bisa menikmati hidup yang semakin keras ini.
“Jangan
bosan. Jangan mati duluan. Aku bisa mati kesepian. Konyol, kan ya? Aku sudah bosan
dengan pesta-pesta. Orangtuaku semakin tua. Tapi lihat hati ini, kosong, Bomb.
Tak ada mimpi. Tak ada nama gadis terpatri di sini. Kenapa? Aku tak bisa jatuh
cinta? Aku bisa menuruti semua kemauan orangtuaku. Mulai dari bersekolah di SD
Internasional, SMP Negri favorit, ikut kelas akselerasi, mengambil jurusan yang
mereka arahkan, lalu masuk ke perusahaan yang mereka inginkan. Sudah, semua.
Harta benda bisa kuberikan. Tapi cuma satu itu yang tak bisa, pernikahan. Hell.... Bukan tak bisa, hanya belum bisa. Aku sedang
menghibur diri.”
Juji
mengangkat Bomb ke pangkuannya. Memeluk erat dan mencium hidung peseknya. Bomb
terlihat risih, namun ia membiarkan pemiliknya memeluk lebih erat lagi. Kucing itu
mencoba berempati.
“Aku
kan tak pernah suka meja makan yang kosong. Aku juga tak suka whiteboard yang diisi pesan-pesan konyol
dengan gambar titik dua kurung tutup. Aku tak pernah suka tumpukan tiket
pesawat di meja kerja ayah ibu. Oh ayolah, aku tak pernah suka yang begitu. Tapi
lihat sekarang, aku terjebak. Bahkan aku tak punya hari minggu!”
Bomb
mengeong.
“Kau
benar, Bomb. Ini waktunya mandi....”
-tunggu
besok pagi-
kwi koyo ngerti nasib e sopo..
BalasHapus